Seingatku
malam tidak pernah sedingin ini. Jauh di belahan bumi lain, ada sepasang anak
SMA saling menghangatkan diri. Entah itu dengan cara sopan seperti minum coklat
hangat dengan sendau gurau saling tukar cerita ataupun dengan cara amoral
dengan saling mencumbu lembut.
Sedangkan
aku yang kuanggap kalian tidak butuh tahu siapa apa diriku ini, nelangsa
dikunyah sepi. Hidup kedinginan dan kesepian ingin mati tetapi tak kunjung
mati. Begitulah kira kira penggambaran bagaimana hidup kaum remaja jomblo. Ada
yang hanya saat malam minggu atau akutnya ada yang setiap malam seperti ini.
Aku di
sini, di dalam kamar los yang dingin walau sudah kuselimuti tebal tebal setebal
kerak bumi ini, menyadari birunya rindu. Parahnya status pacaran saja belum
kami emban. Sepertinya jika kutulis kami itu terlalu memaksakan egoku. Nyatanya
dia tahu perasaanku saja belum. Jangankan tahu perasaan, mengobrol tatap muka
saja aku sudah mandi keringat dingin. Lirik mata kita sudah saling bicara.
Menyakitkan sekali kebohongan pernyataan kalimat sebelum ini.
Di
dunia modern ini, aku masih saja menanyai bulan “Apakah kau di sana yang juga
melihat bulan ini merindukanku?”
Di
dunia modern ini, di mana sarana berpesan ribut saling berebut pasar pengguna,
masih saja ponselku diam tanpa pemberitahuan.
Dengan
biola dan angin malam, aku melagu tembang kangen. Merindukan dirimu yang kini
sudah bersama dirinya yang gondrong dan serba hitam dan cadas, dan tidak pernah
menganggap diriku yang setiap malam nelangsa bersama biola dan menulis prosa
ini ada. Iya, dirimu, cintaku yang sudah kulupakan namanya.
Indra.