Tempo dulu, Indra kecil sedang semangat semangatnya
menyusuri jalanan kampong dengan sepeda wimcycle keluaran tahun 2000. Walau
gempal, ia lincah menghindari tai tai ayam yang bertebaran. Kepik kepik merah
kuning masih betah bertebangan di sepoi sepoi udara sore ba’da Ashar. Bapak
bapak yang tidak betah di rumah bertemu istri, masih dengan seragam seragam
kantor masing masing, kongka kongko di warung kopi, main catur dan ngobrol
cerdas tentang politik. Kucing kucing yang krisis identitas sedang kawin dengan
gaya anjing di belakang semak semak. Anak anak kecil penuh bedak berbondong bondong
ke Masjid kampong. Indra kecil sungguh bersemangat, walau ia tidak diantar oleh
orang tua seperti anak anak lainya, ia semangat sekali untuk masuk les mengaji
pertama kali, walau terbilang umurnya agak telat belajar mengaji.
Ustadz Amin, guru mengaji yang air mukanya seadem Kak
Seto TVRI, menanyai Indra kecil, “Dek Indra sudah juz berapa?”
Indra tanpa rasa malu menjawab, “Belum bisa mengaji, pak!”
Ustadz Amin termenung. Tentu, walau tempat les mengaji
itu dipenuhi bocah bocah cengengesan tapi kebanyakan mereka yang sudah kelas 2
SD paling tidak sudah baca Al Quran lancar.
Ustadz Amin membimbing privat Indra dengan pelan pelan,
bersama gerombolan Iqra’ 1 – anak anak TK yang masih menangis jika disalahkan perkara
membedakan huruf Ta’, Sa’ dan Na. Ustadz Amin kaget dengan kecepatan Indra
kecil dalam belajar mengenal huruf hijaiyah. Baru setengah jam, Indra sudah
sampai huruf Ghain. Lancar. Mulus seperti pantat bayi.
Namun, di tengah kekaguman Ustadz Amin, ia jadi lebih
kaget karena Indra bertanya,
“Ustadz, saya boleh tanya?”
“Ada apa, anakku?”
“Tapi janji, saya jangan ditampar.”
Ustadz terkekeh, “Tak mungkinlah. Adek pikir ini tempat
apa?”
“Ustadz, kenapa Al Quran susah susah ditulis dengan
bahasa Arab? Maksudku, aku belajar kitab lain dan tidak usah repot repot
belajar cara membaca huruf hijaiyah karena sudah ada bahasa Indonesianya.”
Indra menutup buku Iqra’, “Apakah belajar di TPA benar benar mengajarkan anak
anak Al Quran, ustadz? Mana bisa aku belajar artinya. Mereka yang berumur SMP
apakah juga hanya membaca huruf arabnya?”
Ustadz tersenyum. Jarang sekali ia bertemu anak didik
yang banyak tanya. Anak anak didiknya selama ini hanya sekedar bisa mengaji,
manut tanpa banyak interupsi. Anak didiknya yang baru ini sudah berani mendebat
topik yang cukup berat. Ia mengelus kepala cepak Indra dengan rasa iba. “Dek
Indra jago bahasa Inggris?”
“Lumayan, ustadz.”
“Bahasa Indonesianya house itu apa?”
“Rumah, pak ustadz.”
Ustadz Amin tersenyum melihat kemampuan linguistik anak
kelas 4 SD ini, “Kalau bahasa Indonesianya home itu apa?”
Indra berpikir sejenak, “Juga rumah, pak ustadz.”
“Katanya rumah tadi house….”
Indra memutar otak. Mata setengah ngantuknya semakin
sipit.
Ustadz terkekeh, “Begitulah bahasa, dek Indra. Home
memang bisa diartikan rumah, tapi jika dek Indra belajar bahasa Inggris lebih
dalam, home itu artinya secara kasar tempat tinggal. Namun, di sekolah dek
Indra diajarkan home itu rumah.”
Indra memicingkan mata meremnya, “Lalu, apa hubunganya
dengan pertanyaanku tadi, pak?”
“Itu tadi bahasa Inggris dasar. Bagaimana jika kitab suci
diperlakukan seperti itu? Ketahuilah nak Indra, bahasa ini sejatinya tidak bisa
diartikan secara penuh, hanya diartikan dengan makna yang paling dekat.”
“Jadi, kita harus belajar bahasa Arab agar bisa
mempelajari Al Quran dengan bahasa aslinya? Untuk menjaga keaslian bahasanya?”
Ustadz tersenyum lebar, “Cerdas sekali!”
Indra lalu menjawil Ustadz Amin, “Pak Ustadz, sehabis TPA
saya boleh diajari cara shalat?”
********
Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian……
Sore itu, Indra tidak langsung pulang. Memang ia sudah
ijin ingin ikut shalat Maghrib berjamaah. Indra kecil diajari oleh Ustadz Amin
dasar dasar shalat. Walau belum begitu lancar dan cukup memalukan untuk anak
SD, ia sudah diberi instruksi yang cukup jelas. Ikuti saja gerakan yang lain. Baca
bacaan yang tadi sudah diajarkan sesuai urutan shalat. Di rakaat ke2 jangan
lupa duduk tahiyat awal. Dan jangan lupa, ketika imam shalat selesai membaca Al
Fatihah, jawablah dengan amin.
“Amin? Nama bapak?”
Ustadz sabar menjawab, “Amin itu bisa diartikan ‘semoga
dikabulkan’.”
Lalu adzan Maghrib berkumandang. Muadzin setengah baya
menyeru dengan lantang, tegas namun merdu. Anak anak yang tadi masih jegegesan
gojek langsung masuk rumah masing masing, seketika sepi. Kucing yang tadi kawin
tidak tahu tempat hilang suaranya. Kepik kepik langsung hinggap di semak semak,
khusyuk menyimak adzan. Bapak bapak yang tidak bahagia tadi langsung menyeruput
habis kopi mereka dan bergegas menuju masjid kampung. Indra terkesima akan
dahsyatnya adzan Maghrib. Dalam hati, Indra merasa iri terhadap mereka yang
sejak kecil sudah diajarkan agama Islam.
Benar, kawan. Sesungguhnya, manusia itu benar benar dalam
kerugian. Dan Indra mafhum betapa rugi dirinya selama ini.
Imamnya adalah Bapak Azhari, ia lebih tua dari Pak Amin.
Mukanya jauh dari Kak Seto TVRI. Ia lebih seperti Pak Raden namun versi setelah
kalah judi bola. Walau sama sama dari satu stasiun televisi, namun jenggot
Pak Azhari sungguh memancarkan wibawa yang tidak main main gagahnya yang tidak
dimiliki Kak Seto.
Pak Azhari merapikan saf shalat. Sontak para jamaah yang
sudah menggerombol di dalam masjid menjawab “Samina wa athagna”. Indra yang
tidak tahu apa apa, ikut ikut saja.
Ketika Pak Azhari bertabiraktul ikhram, bergetar seluruh
raga Indra. Allahu akbar.
Pak Azhari masuk Al Fatihah. Ketika basmallah, lantunan
tegas nan merdunya mulai memenuhi ruang shalat. Indra susah payah menjaga
kekhusyukan seperti yang sudah diwelingkan Pak Amir tadi. Indra mengigit bibir
bawahnya.
…..Wallad
Dhaaaliin.
Indra mencoba menggerakan bibirnya yang gegabah, namun
Indra sudah terlanjur lunglai. Gema “Aaaaaamiiiiiinnnn” oleh para jamaah
membuat jiwa Indra yang kotor bergetar. Indra tercengang. Sekuat tenaga yang
masih ada Indra menjaga agar ia tidak rubuh, ia ingin menyelesaikan shalatnya.
Terdengar samar sedu anak SD yang baru saja mengenal agama.
Ketika salam diucapkan, Indra hanya bisa termenung. Indra
langsung sujud lagi setelah bersalaman dengan Pak Amin di sebelahnya. Indra
menutupi air matanya yang jatuh tidak tahu izin. Lalu, Indra kecil langsung
pulang, mengambil sepeda berkaratnya, namun tidak dinaiki sepeda itu – ia tidak
kuat. Pak Amin dari belakang melihatnya, tersenyum dan mendoakan semoga anak kecil yang malang itu cepat disentuh hatinya.
Kepik kepik seakan menjadi jangkrik. Suara meong kucing
kawin berubah menjadi orek orek kodok. Ada satu dua kuntilanak berkelabat. Ada
pula jenglot berkeliaran. Indra menyusuri malam sendirian, anak kecil gempal
dengan mata setengah ngantuk itu menuntun sepeda reyotnya.
Walau raganya masih getir, dalam hati, Indra bersaksi tegas,
Aku bersaksi, tiada
tuhan selain Allah
Dan aku bersaksi, Nabi Muhammad
adalah utusan Allah.
…..kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
”Ampun, sudah ada iklan sirup
Tarzan?” Indra yang sudah beranjak remaja terbelalak melihat layar TV. Indra
menyimpul senyum, selamat datang Bulan
Ramadhan.
Indra.