Ada harum manis, seperti pemen, pada
dirinya. Aroma permen mangga manis menemani kerling mata yang enak dipandang – yang
tidak kalah manis tentunya! Kulit kuning bak daging buah mangga golek. Pipi
menggemaskan seperti gempal buah mangga apel. Cantiknya bukan main-main! Selama
ini saya tidak sadar ia secantik ini hingga sampai saat ini.
“Pernahkah kau berpikir bagaimana
rasanya menjadi sawi?” celoteh dari bibir mungilnya selalu lucu untuk didengar
namun hanya sedikit yang benar-benar mengerti maksud di belakang pertanyaan
yang sering membuat saya terjaga setiap tengah malam.
“Ndra?” ia mendapati saya melamun.
“Hmmm?” menggumam adalah reaksi
natural manusia kebingungan.
Ia marah, “berapa kali lagi dirimu
melamun? Pulang saja, po?” Ia mengancam.
“Saya selalu melihat bahwa hubungan
romantis manusia dengan sayuran adalah hal yang menarik. Seringkali saya
membayangkan saya bercinta dengan wortel. Atau kecambah. Ku tak yakin.”
“Benar!” ia menyetujui dan disetujui.
“Jadi apa sebutannya? Vegetasiophile? Vegetasiseksual? Tidak enak didengar. Apa
yang enak dengan sufix -seksual? OH! Sayurseksual?” Ia terbahak. Saya terbahak
agak lebih kencang. Menutupi perasaan yang meletup-letup muncul sejak sekian waktu
setiap malam memikirkan dirinya.
Ada jeda yang panjang. Hanya ada
suara nyamuk dan motor lewat di depan teras. Saya menikmati lengang yang panjang.
Setiap detik lewat tidak ada berhentinya jantung saya berdegup lebih kencang dari
standar orang sehat.
Ia mengejutkan diriku, tangan
hangatnya tiba-tiba memegang tangan saya yang sudah dari tadi melewati batas
mejanya. “Ndra?”
Saya kaget. Ia sedikit kaget melihat
saya sangat kaget. “Apa?”
“Apa-nya apa?” ia mencoba
menyembunyikan penasarannya. “Dingin tidak sih?”
Apa yang ingin ia sampaikan?
Tangannya memegangi tangan orang
gempalku. “Dingin, Ndra.”
“Tidak salah.” Saya menyembunyikan
hasrat ingin salah tingkah.
Saya lengah, tangannya memasuki
jaket lengan saya. “Mampir bentar, kakak! Adek dingin!” Namun terlihat di wajahnya
ada pertanyaan besar. Ia merasakan ada bekas luka. Seperti luka gores. Lumayan
panjang. “Ndra?”
Aku langsung menarik jaket. “Apa?”
“Ndra?” ia bertanya lagi. Tidak jelas
bertanya apa. Padahal jelas saya tahu apa yang ingin ditanyakan.
Aku merasa tidak nyaman. Ada rasa takut.
“Pulang saja, yuk?” aku menyerah.
“Oke.” Ia menjawab. Menghargai
privasi saya. Saya menjadi merasa bersalah.
Di malam Jogja yang agak lebih
dingin dari biasanya, ia tidak banyak bicara seperti biasanya. Membuat saya
berpikir keras, apakah ada yang salah? Tentu ada yang salah! Perjalanan
malam itu adalah perjalanan paling panjang sependek 20 tahun saya hidup. Waktu
berjalan lebih lama di pikiran saya dengan ia diam.
Di depan teras kosan, ia bertanya lagi. “Ndra?”
Saya tidak kuat melihat wajahnya.
“Helmnya dibuka, Ndra. Sini mampir duduk-duduk
di ruang tamu dulu. Laki-laki boleh masuk sampai situ, kok.”
Saya duduk di kursi karyu. Ia duduk di
sebrang meja.
“Ndra?” oh betapa saya benci
sekali dipanggil itu saat ini.
Ia menunggu. Saya hanya melihat sekitar.
Tidak berani menatap mata manisnya.
“Ya, sudah, jika dirimu tidak mau
jujur.” Ia bergegas berdiri, hendak menghantarkanku pulang. Mulut saya masih
saja beku.
Di depan gerbang, jalanan sudah
sepi. Jam 10 malam barang kali.
“Aku menyileti tangan beberapa minggu
lalu.” Mulut saya berkata pelan. Namun ia tetap saja kaget bukan main.
Air wajahnya berubah. Ia tiba-tiba
terlihat seperti seorang ibu yang cemas. Kapan terakhir kali saya melihat Ibu? “Kenapa
kamu tidak cerita?” ia bertanya. Perasaan khawatir sangat terpancar dari cara
ia menarik kain jaketku agar memperlihatkan lukaku.
Aku hanya melihat lantai. Tidak
berani melihat wajahnya lagi.
Tangannya mengangkat kepalaku,
memaksa melihatnya. “Jangan begitu, lagi, ok?”
“Dwik?” aku memanggil.
“Iya?”
Aku mendekatinya dan mendekapnya. Aku
merasakan ada harapan hidup muncul lagi dari dada saya yang kerap dingin akhir-akhir
ini.
“Saya sudah ke psikiater. Saya minum
beberapa butir merlopam.” Suaranya pecah.
“Ndra.” Suaranya sangat membuat saya
tenang. Ia mengelus punggung saya. Air mata saya jatuh.
“Saya ingin pulang. Tapi saya rasa
saya sudah tidak ada rumah.”
“Tangiskan saja, Ndra.” Ia berbisik.
“Agar lega.”
“Tapi, tapi,” aku mulai menyerut
ingus. Aku sangat rapuh di depan wanita yang akhirnya membuat saya ingat
bagaimana indahnya jatuh cinta. “Akhir-akhir ini diriku tidak lagi memikirkan
bunuh diri. Sekarang setiap pagi, saya akhirnya sholat Shubuh lagi dan setelah
salam aku memikirkan - malam ini pakai baju apa ya? Aduh pakai parfum apa ya? Pergi
makan ke mana ya? Saya merasa saya pulang, Dwi. Saya di rumah.”
“Sst, sst. Sudah sudah” ia menenangkan.
“Kamu hari ini capek, kan, setelah motoran mencari wawancara, berapa lagi jarak
pulang-pergi ke Kecamatan Turi? Kamu capek, Ndra.” Ia menepukki punggungku lembut
hingga tangisanku mereda.
Aku menarik tubuh. Dua tangan
mungilnya saya pegang. Suara pecahku aku coba utuhkan. “Dwi, berlebihan kah
jika diriku minta dirimu untuk menemani diriku agak lebih lama lagi?”
Ia
terkejut. Tiba-tiba wajahnya memerah, seperti mangga gedong gincu. Ia balas memeluk
saya. Sangat erat. Tidak mungkin ia tidak merasakan gemuruh detak jantung saya.
Kepalanya ia angkat agar mata kita bertemu. Ia tersenyum, melihati raut muka
saya yang terlewat bahagia dan terharu. Tidak perlu kata untuk menjawab pertanyaan
saya. Sudah cukup, saya sudah tahu jawabannya.
Saya tidak ingin waktu berjalan. Sepertinya,
hidup yang sempat hampir saya akhiri, layak untuk saya hidupi agak sedikit lebih
lama lagi.
Indra.