Kancil
Kancilan dan Gajah Perak
Oleh
Dwipa Embul
Pampam
memang selalu begitu. Walau badanya gempal, ia punya paling banyak energi.
Mungkin itu merupakan akibat dari jajanan jajajan yang tidak sehat dan bersaus
oranye. Sering sekali ia menculik dua atau tiga kawanya untuk kabur dari kelas
mengaji sore. Kabur dari mengaji itu sudah kejahatan yang sah sah saja dihukum disirami
air dingin oleh Ustadz Amin sampai bingung. Membolos kelas mengaji lalu mencuri
buah mangga punya Mbah Wiryo di RW 2? Bisa bisa jika tertangkap basah kami
dimasukan ke dalam bedug masjid lalu dipukul keras keras hingga setelah keluar
dari bedug kami berjalan seperti ayam kena asam urat.
Namun kali ini sialnya aku berhasil dicuci otak oleh
Pampam. Provokasi terhadap harga diri saya sukses besar jika kebanggaan saya
sebagai petualang sudah disangkut pautkan.
“Kancil Kancilan si lincah takut, ya?” Pampam menantang.
“Kami akan menjadi penjinak Gajah Perak!”
Rayi, si kecil yang selalu menjadi anak buah Pampam, ikut
mengompori “Malu warga desa memberimu julukan Kancil. Kancil asli saja berani
menginjak kepala buaya!”
Ingin ku tempeleng kepala Rayi namun Ustad Amin selalu
bernasihat untuk mengasihi orang orang berpenyakitan moral. Pampam dan begundal
begundal pengikutnya contohnya.
Yang membuatku muntab dan akhirnya khilaf terseret ke
dunia jahat yang didalangi Pampam adalah kalimat Jangkung: “Sudah sudah! Jangan
kompori si Indra lagi!” Ia melerai si kecil Rayi. “Onta Kancilan lebih memilih
mengaji daripada mengikuti ekspedisi merah kita!” Menurut mereka, siapa yang
mereka panggil Onta Kancilan?!
Saya sekarang mafhum kenapa tempo hari Bu Kuswanti pernah
berpesan bahwa penyesalan selalu datang terakhir. Ya, karena memang penyesalan
memang selalu datang terakhir, bung!
Berdasarkan insting pelandukku, kira kira sudah ada 2 jam
dari ba’da sholat Ashar. Berarti kira kira sudah satu setengah jam kita naik gunung
meninggalkan masjid sembari melupakan tanggung jawab seorang pelajar TPA. Sudah
hampir 100 menit, tidak ada tanda tanda dari rombongan Gajah Perak yang
dijanjikan di awal ekspekdisi merah.
“Serius, Ndra!” Pampam mulai terengal engal. Susah naik
gunung dengan badan gempal. Namun ini Pampam. Kaca tidak dapat memantulkan
wajah dindingnya sehingga ia tidak pernah mawas diri dan hal itu berakibat ia
menjadi sok memiliki ide untuk menyelidiki mitos Gajah Perak. “Kata Mas Sumanto
begitu! Kemarin ketika ku jajan mie ayam ia bercerita bahwa di atas Air Terjun
Grenjengan pernah ada Gajah Perak yang akan menampakan dirinya setiap bulan
purnama.” Begitu justifikasi ide gilanya. “Ini kan tanggal 15. Pasti ada!”
Kapasitas berpikir Pampam hanya memperkeruh suasana.
Mas Sumanto adalah
penjaga taman baca desa. Berdasarkan analisis saya, Pampam adalah individu yang
tidak bisa membedakan antara fiksi dan non fiksi. Jelas jelas Mas Sumanto
menceritakan Gajah Perak dalam konteks dongeng fiktif! Namun, ku bukan di
posisi untuk boleh marah apalagi mengumpat. Pasalnya, aku juga cukup dungu
untuk mengikuti ekspedisi merah ini sekaligus terpancing amarahnya hanya karena
perkara julukan Kancil Kancilan dirubah menjadi Onta Kancilan.
“Sekarang aku tidak peduli nasib kalian. Ku ingin pulang.
Sebelum maghrib aku harus sampai rumah!” aku menggetak 3 bromocorah kecil itu,
berbalik badan lalu ternganga: di gunung tidak ada lampu dan langit sudah
menunjukan waktu akan menuju waktu maghrib.
Rayi undur diri dari rombongan ekspedisi “Pam, aku juga
ikut pulang. Aku ingin lihat Waktu Indonesia Bercanda saja di rumah.”
Jangkung salah tingkah “Ah, iya, Pam. Aku juga ingin
lihat Saint Seiya saja.” Sedikit Jangkung tahu, Saint Seiya sudah tidak tayang
di TV Indonesia.
“Aduh kalian bagaimana sih!” Pampam mengelak. “Ya sudah
ekspedisi dibatalkan!”
Lalu mereka ikut balik badan dan menyaksikan pemandangan
serba gelap yang aku lihat.
Rayi kecil yang cengeng mulai bersembunyi di balik
badanku. “Ndra. Ayo cepat pulang”
Jangkung menambahi “Iya, Ndra. Kata orang dewasa, kalau
Maghrib jin jin jahat keluar dari kerajaanya.” Benar kata Ustad Ustad: lebih
baik diam jika tidak punya perkataan yang baik.
Pampam diam saja. Malu.
“DUH
GUSTIIIII” begitu umpatku, mengeluarkan amarah.
Hampir
setengah jam berlalu. Jika kami naik satu setengah jam di jalan yang menanjak,
maka berdasarkan perkiraan dan insting pelandukku kami butuh waktu satu jam
untuk sampai di desa. Masalahnya, adzan Maghrib sudah berkumandang. Suasana
makin kelam. Rayi sudah menangis tanpa disembunyikan. Jangkung dan Pampam tidak
punya solusi. Suara semak semak bergoyang karena tupai juga tidak membantu
mencerahkan suasana.
“Sudah
jangan menangis!” aku mencoba membuat Rayi tenang. “Menangis tidak membuat kita
lebih cepat sampai Desa.” Setidaknya Rayi hanya menjadi sesenggukan.
Karena
pencahayaan sangat minim, aku memimpin perjalanan pulang dengan hapalan jalan
sehapalku. Seratus langkah setelah adzan maghrib dikumandangkan, terdengar
keras seperti batu besar longsor. Badan gendut Pampam terpeleset bebatuan.
Setelah ditolong, apesnya, kaki Pampam terkilir.
Jauh
di lubuk hati, di balik rasa rasa penyesalanku, aku ingin menangis. Namun, jika
aku menangis, siapa yang akan memimpin biang biang kerok ini? Hanya itu yang
membuatku masih teguh mendengar Rayi menangis, menyimak keluh Jangkung,
membopong badan gendut Pampan, sembari harus menyelesaikan beberapa ratus langkah
lagi sebelum sampai desa.
Di
kejauhan aku melihat ada nyala cahaya jauh di jalanan pulang. Teman temanku
sudah tidak punya daya. Aku berteriak keras, “TOLONGGG” Namun cahaya hilang.
Kelelawar
mulai terbang kesana kemari menari dan tertawa. Beberapa puluh langkah lagi aku
melihat ada cahaya lagi. Aku ingin menangis karena dayaku sudah tidak ada.
Namun cahaya kali ini semakin besar. Semakin besar cahaya aku dengar suara
gemuruh mesin. Semakin besar deru mesin dan cahaya, dayaku sedikit terisi lagi.
Pampam sekarang yang berteriak: “USTAD AMIIIIIN”.
Kami
membuat resah seluruh TPA. Akhirnya kami dicari dan kami ditemukan di setengah
jalan menuju gunung. Di balik rasa lega, ada juga rasa malu. Aku sedikit
menangis namun aku mencoba mengelap air mata agar terlihat kuat. Kami dibonceng
satu motor bertiga oleh Ustad Amin dan Pak Riyanto marbot masjid. Pulanglah
kami dengan banyak rasa bersalah dan rasa malu yang lebih banyak lagi.
Setelah
sholat maghrib di masjid, ibu datang menjemputku. Aku sudah merasa takut akan
dihukum habis habisan karena ketahuan naik gunung alih alih mengaji. Namun ibu
mendekapku dan menangis: “Cah lanang, besok jangan nakal lagi, ya nak.” Rasa
takutku menjadi bahan bakar tangisku. Aku malu. Lalu tahu tahu aku ikut
menangis kencang. Tidak peduli lagi persepsi Pampam, Rayi dan Jangkung. Aku
minta maaf habis habisan pada ibu dan berjanji tidak akan menyalah gunakan
waktu untuk membolos lebih lebih berkeliaran di alam liar di sore hari.
Setelah
tangisku reda aku dan ibu mohon pamit ke Ustad Amin dan Pak Riyanto.
Ketika
aku naik di boncengan motor Ibu, aku mendengar ada gelegar dahsyat dari arah gunung.
Bulu kudukku berdiri serentak. Aku spontan menoleh ke belakang. Motor sudah
dinyalakan ibu. Sepertinya ibu dan yang lain tidak mendengarnya. Namun, ketika
aku menoleh ke belakang, aku tidak bisa berbicara apa apa. Ada sosok besar.
Puluhan meter barang kali tingginya. Di belakangnya ada tiga anak gajah yang
mengikutinya. Warnanya putih keperakan. Setelah menyadari warnanya aku membatu.
Motor ibu sudah melaju. Pandanganku tidak bisa lepas dari koloni kecil gajah
perak. Gajah terbesar seperti menyapaku. Gelegar suara gajah seperti gemuruh
petir berkumandang lagi. Lalu empat ekor gajah balik badan dan kembali pulang
naik ke atas gunung. Semakin jauh terpisah dari motor ibu yang sudah melaju.
Mulutku ternganga.
No comments:
Post a Comment