Warung
mamah selalu penuh kepul asap rokok. Walau pengap dan sengak karena tidak
jarang para begajul yang nongkrong di situ pipis sembarangan di samping
warung, mamah pantang menyerah buka warung. Walau kadang tetek mamah dicolek
oleh para bangsat, mamah tetap dengan senyum terpaksa mempiutangkan bayaran
nasi telur dan rokok barang satu dua linting per ekor anjing. Mamah adalah
pemilik warung super strong.
Papah
adalah orang yang hanya bisa kulihat dari foto. Sejak aku belum lahir, kata
tetangga ia pergi merantau ke Sumatra. Ia berpesan bahwa di Jawa terlalu galak
untuk kaum proletar macam kami. Kabar burungnya, Papah sudah kawin lagi di
sana.
Saya
sendiri adalah anak yang lumayan pintar kata tetangga. Untuk seorang anak yang
harus mengabdi diri pada warung untuk bisa makan nasi sayur tiap hari dan
sesekali suwiran ayam seminggu sekali, ranking 15 dari 29 anak adalah hasil
yang memuaskan. Mamah selalu membanggakan aku bisa mengalahkan anak Pak RT yang
berangkat sekolah – walau masih SMP – naik motor ninja warna biru, dan setiap
pulang sekolah harus ikut bimbel dan setiap Sabtu sore les piano.
Walau
umurku dan mamah hanya berjarak 15 tahun, mamah sudah mulai sakit sakitan. Yang
membuatku semakin tidak nyaman sekolah dan ingin segera cari uang sendiri
adalah kebiasaan mamah setiap sholat Maghrib berjamaah beliau selalu mewelingku
bahwa jangan cepat cepat ingin kawin. Mamah bilang untuk golongan proletar
macam kami, masih banyak lelaki yang lebih suka maksiat daripada makaryo. Mamah
menginginkan aku untuk bekerja di kantor yang karyawan karyawanya mengenakan
seragam. PNS kalau bisa agar dapat pension. Anggapnya, orang orang yang
berseragam punya wibawa. Aku padahal tidak pernah pacaran. Memang, aku punya
rasa untuk kapten tim basket sekolah namun apa daya wajahku yang hitam methel
kalah menawan dibanding dengan nona cantik keturunan Tiong Hoa juara olimpiade
sains nasional. Pasti bukan aku yang keluar di mimpi basah si kapten.
Pada
suatu malam bakda Isa’, mamah terkulai lemas. Biasanya rumah 3x4 ini dipenuhi suara ngaji mamah hingga jam 8 malam. Namun kali ini, Mamah hanya
terkulai lemas. Badanya lebih panas dari aspal siang hari.
“Mamah
sehat? Mamah ingin Panadol? Marni punya uang hadiah lomba baca puisi kemarin. Marni
beli panadol di warung Koh Dan Cuk, ya?”
Mamah langsung menarik tanganku, “Sini dek, Mamah ingin mewejang lagi.” Lalu hidung meler Mamah tersendu sendu.
Mamah langsung menarik tanganku, “Sini dek, Mamah ingin mewejang lagi.” Lalu hidung meler Mamah tersendu sendu.
Kali
ini aku rela saja diwejang mamah. Wajah mamah kali ini sedang resah resahnya. Semakin
cantik wajah resah mamah, semakin menggebu rasaku ingin segera lulus SMP, lalu SMA, lalu masuk
STAN, lalu kerja di Jakarta atau Semarang – berseragam! Lalu aku dirangkul
erat. Badan gendut dan bau keringat mamah menyeruak lapuk kasur tetapi entah
kenapa aku mencium bau yang benar benar membuatku ingin menangis. Mamah seakan
tidak ingin melepasku lagi.
“Maghrib
ini mamah batuk berdarah lagi.” Suara batuk mamah semakin terdengar seperti
merobek tenggorokanya. Aku mulai membik membik. Aku memegangi erat daster bunga
bunga mamah. Wajahku menyembunyikan tangisnya di bawah ketiak sengak mamah. “Dek,
kalo besok mamah tidak bisa jaga warung, dek Marni jaga sendirian, ya? Nanti pasti
Bu RT membantu kamu.” Semakin menjadi jadi tangisku. Terdengar aku menyerot
ingusku bolak balik. “Sekarang kamu tutupin pintu terus siapin buat sekolah
besok ya, dek. Mamah ingin tidur.”
Lalu
mamah tertidur langsung pulas. Badanya 2 kali lebih panas dari 10 menit lalu.
Aku langsung keluar melakukan apapun yang anak SMP umur 13 tahun bisa lakukan -
cari bantuan Pak Satpam, menggedor pintu rumah Koh Dan Cuk, mengetukki
kentongan sekerasnya, teriak teriak di tengah kampung. Hujan tiba tiba turun,
gemuruh bledeg mencoba menutupi teriakku. Peduli apa, aku tetap teriak sampai
suaraku tidak kuat keluar lagi. Akhirnya, Pak RT dan Bu RT mengunjungi rumah kecil kumuh kami dengan mobil Panther hijau tahun 1997.
Badan
panas mamah menjadi dingin di Puskesmas. Tepat tengah malam. Bu RT memelukku
erat – namun air matakku sudah tidak ada lagi untuk dikeluarkan.
Bersambung.
Indra.
Lanjutke pak penasaran
ReplyDeleteHmm, oke
ReplyDeleteHmm, oke
ReplyDelete