Siang ini hangat. Tak basah seperti Jumat. Matahari terik, tapi hangat. Aku masih berpeluhkan asam garam. Aku menuju sungai lethek jauh di sana, menyuapi Rahwanaku agar tak
muntab. Bersama harmonika dan biola. Kekasih kekasihku. Metafora kekasihku. Di
sana, aku mak bendunduk dibedil peluru suci jauh dari kayangan. Aku terbang
melayang melewati lumut lumut dinding sungai. Menyibak jemuran jemuran sprei
rumah warga. Melangkahi layangan yang sedang berseteru. Hingga akhirnya aku kembali
ke bibir sungai tadi, melesat loncat dari dasar kali. Sendirian. Telanjang dari lainya. Hanya sendiri,
bersama aku, harmonika dan biola. Tak sadar kekasihku yang dulu pernah aku
cintai dan mungkin saja sekarang masih, juga telanjang duduk di sampingku. Aku
menangis.
“Sudah?”
Aih, suaranya tak pernah bosan kudengar.
“Apanya?”
Jujur aku juga lupa apanya.