Siang ini hangat. Tak basah seperti Jumat. Matahari terik, tapi hangat. Aku masih berpeluhkan asam garam. Aku menuju sungai lethek jauh di sana, menyuapi Rahwanaku agar tak
muntab. Bersama harmonika dan biola. Kekasih kekasihku. Metafora kekasihku. Di
sana, aku mak bendunduk dibedil peluru suci jauh dari kayangan. Aku terbang
melayang melewati lumut lumut dinding sungai. Menyibak jemuran jemuran sprei
rumah warga. Melangkahi layangan yang sedang berseteru. Hingga akhirnya aku kembali
ke bibir sungai tadi, melesat loncat dari dasar kali. Sendirian. Telanjang dari lainya. Hanya sendiri,
bersama aku, harmonika dan biola. Tak sadar kekasihku yang dulu pernah aku
cintai dan mungkin saja sekarang masih, juga telanjang duduk di sampingku. Aku
menangis.
“Sudah?”
Aih, suaranya tak pernah bosan kudengar.
“Apanya?”
Jujur aku juga lupa apanya.
“Cara
agarku jadi mencintaimu.”
Aku
langsung terangkat lagi oleh energi misterius dari langit. Menuju langit.
Semakin panas kepalaku dibuatnya, semakin tinggi aku terbang hingga akhirnya
aku membuka mata, mendapati aku duduk lagi di pinggir sungai, berseragam.
Aku
menapak tilas lagi janji dan tangisku di istana pikiranku. Mencari apanya dari
pertanyaan sudah dari linduranku. Ah, dulu aku berjanji untuk melewati romantisnya
pemain gitar gondrong aliran musik cadas yang ia sebut estetika abstrak itu. Tapi,
baru saja aku mempersembahkan alunan musik Paganini untuk sampah sampah yang
bersemayam di bawah lumpur sungai. Apakah aku masih kalah romantis dengan
headbang rambut kumal ketombean itu?
Aku
memanas, meniti detik demi detik sampai kepalaku mengepulkan asap di bawah terik
yang makin panas hangatnya. Kepalaku meledak hingga akhirnya aku melihat
barisan hawa.
Kulit
coklat di dalam kerudung. “Tak perlulah perhatian berlebihan untuk romantis.
Humoris adalah romantis yang penuh seni. Dan Imam, aku tak mau ayah anak anakku
bejat.”
Konvensional.
Tradisional. Tipikal menantu idaman. Lalu Anin hilang mengepul serambi
menyanyi.
Kini wanita yang modis, gingsulnya
adalah anomali, cantik dengan sendirinya. “Kekasih, inginlah diriku untuk
disayang waktu diriku jatuh sakit. Kekasih, kekasih juga adalah mereka yang
masih anak anak untukku. Bermain game, menghabisi senja bersama sepak bola.”
Modern. Lalu Mara masuk ke dalam
sungai yang tiba tiba airnya jernih, lalu hanyut saat ia menari, mengikuti
ritme arus, menuju laut luas. Artistik.
Wanita Tiong Hoa yang tertutup
kerudung. “Dilan, Indra. Dilan. Bacalah Dilanku Tahun 1990. Jadilah Dilan untuk
kekasih.”
Penuh literasi. Dhia tiba tiba
tubuhnya menjadi kertas lalu terpotong dengan sendirinya, terbang bersama angin
magis.
Aku terjemberebab kaget. Suasana
seperti lebih panas dari tadi. “Gitar, bunga, canda.” Ia menyibak rambutnya
yang satu helainya saja bisa memecah akal sehat anak Adam. “Nakal hanya untukku
seorang, kekasih.”
Lalu Lentera menjadi api api
ungu. Menjadi kabut lalu hilang, meninggalkan essence lavender.
Wanita terakhir menunggang
sepeda berkeranjang. Ia hanya tersenyum dari sepedanya. Aku langsung mafhum. Lalu
Lusiana mengayuh sepedanya menyusuri jalan, namun matahari tiba tiba tutup
tirai menjadi langit malam dengan bulan purnama. Dirinya penuh sihir. Tiba tiba
alunan roda berubah seiring waktu, mengarah ke bulan purnama. Mengecil lalu
hilang dari pandang mata. Seperti dongeng.
Malam tiba tiba menjadi semakin
pekat. Aku ditarik oleh bulan. Kembali telanjang bersama dirinya.
“Sudah?”
Aku langsung ambil kuda kuda.
Menyekik figure wanita itu. Aku tekak hingga muntah dirinya dengan kenangan kenangan dan kepalanya meletus, mengluarkan kepul kabut hitam. Lalu aku membuang mayatnya ke balik rimbun eceng gondok dan teratai ungu.
Seingatku,
aku kembali lagi ke tempat paling awal, berseragam, memegang erat bow biola. Aku
mengambil posisi tengah biola, lalu bersoliloquy.
Aku adalah romantis untukmu.
Tahukah?
Lalu di detik malam yang siang
itu, aku hilang rasa untuknya. Sekarang hidupku hampa. Tanpa rasa cinta. Tak
ada Sarpakenaka di jiwaku. Aku menangis lagi. Sekerasnya. Tak tahu menangisi
apa. Sekarang semua semakin hilang. Nasib.
No comments:
Post a Comment