Aku pun
tertegun melihat seorang kekasih yang pernah kucintai semasa SMA.
Aku
melepas harmonika dari bibirku. Aku tak bisa menyembunyikan senyum. “Mudik.” Aku
mengambil nafas panjang, mencari basa basi. “Kau sendiri dari mana?”
Senyumku
menggetir. Semakin pahit mulut ini setelah dia turun dari motor lalu ikut duduk
di bibir sungai. Kesunyian yang nyaman berlangsung sangat panjang.
Aku
memecah kenyamanan semu itu. “Kekasih,” sedikit lama aku memikirkan kata kata “relakah
kau berkerudung untukku?”
Ia
hanya melihat matahari yang terpantul di aliran sungai. Matanya berkaca.
“Maaf,
Ndra. Aku sudah dipeluk agamaku. Aku tidak bisa memisahkan pelukanya.” Ia memegangi
harmonika kromatik yang rusak penambah kresnya. “Aku kangen suara biolamu.” Ia
menaruh harmonika lalu mengusap matanya agar tak lagi aku usapkan – ia sudah
tegar sekarang. “Tak usah basa basi. Kadang aku juga bingung, Ndra. Aku masih tidak tahu bagaimana Tuhan membuat guyon
semacam ini.”
“Apakah
benar Tuhan pernah membuat candaan keji seperti ini?”
“Entah.
Aku tak ingin berdosa untuk mempertanyakan itu walau sepertinya pertanyaanmu itu akan selalu mengganggu
malam malamku selanjutnya.” Ia menggigit bibirnya.
“Tidak
ada yang kebetulan, sayang. Kebetulan adalah kebenaran yang tak terbaca
pertandanya.”
Ia
terkekeh lalu mencubit pipiku yang tak berubah sejak dulu. Lalu sepi mengisi
lagi.
Ia
kemudian gantian memecah hening. “Apakah kau akan mencintai perempuan lain,
Ndra, jika kita selalu terpisahkan seperti ini?”
Aku
tidak bisa langsung melihat matanya. “Aku pembohong. Kau tahu itu. Aku
pernah bilang kepada mantan kekasihku waktu SMP dulu untuk tidak mencintai
wanita lain selain dirinya. Buktinya aku mencintaimu sekarang. Jadi aku tak
tahu.”
Gigitanya
memerahkan bibirnya yang sudah merah. Aku merasa berdosa telah membuat mata itu
basah. “Bagaimana jika suatu saat nanti aku bisa halal untuk kau imami?”
“Untuk
bisa aku imami?” aku terkekeh renyah tak menyangka itu keluar dari mulutnya. “Aku juga tidak tahu. Mungkin juga bisa
saja aku mencintai lelaki." Angin berhembus membelah pantulan matahari di sungai. “Jika
itu benar suatu saat, kita memeluk agama yang sama, terjadi kelak, lelaki atau perempuan yang akan kucintai
selanjutnya akan memanggilmu ‘Ibu’. ”
No comments:
Post a Comment