Itil. Dingin dan tegang seluruh ujung bulu kakiku. Tegang
terakhir yang setegang ini adalah tegang ayahku ketika aku dislundupkanya dari
surga di kamar pengantin. Soal bahasa Jawa tak pernah sebasah ini. Seluruh
lembar jawab berlendir lendir susah. Aku dan abon abon paningset.
Kawan,
aku benar terbuka dari kain dan bulu. Jumat ini aku basah. Dalam raga dan jiwa.
Celana dan dalam celana, konotasi dan denotasi.
Pun
kawan kawan sudah tahu, aku adalah Jawa yang tak mengenal Puntadewa, Cina yang
tak pernah bertemu naga. Sedari dulu, sejauh aku memaksa tahu, aku sudah
seperti ini. Hanya mengenal cerita nenek moyang tanpa menepak kaki di negeri
sana, hanya mengikuti kultur tanpa tahu unggah ungguh. Maka, jangan tanya bagaimana
aku dan punyaku dalam soal Bahasa Jawa. Tak pernah 90. Pernah di atas 85, aku
tak kuat menahan mukjizat, pingsan.
UTS
Bahasa Jawa, singkat cerita aku ingin BAB. Ketika aku menulis lekak lekuk huruf
N, aksara Jawa tanpa tahu menahu aturan. Perutku memberontak, ingin rasa aku
meronta bersumpah serapah. Apa daya guru memandang, aku hanya bisa melakoni
nelangsa bersama sunyi. Sepi dalam ributnya kawan mencari bantuan contekan, mematahkan
pensil pensil 2B bersama peluh yang keluar tanpa izin.
“Indra,
kamu kenapa?” Guru yang tak kukenal namanya – peduli apa aku dengan nama di
saat genting ini – sok asik.
“Anu,
Pak.” Ngeeh. “Saya, tadi pagi.” Iaaaiiihhh.
”BELUM BE A BE!” Teriaklah diriku, tak peduli teguran guru selanjutnya.
“MAU
IJIN AJA DITAHAN TAHAN.” Guru sok asik tadi membalas sok teriak.
“SAYAAA
BELUM SELESAI PAK!” Ini adalah dilema terbesar hidupku setelah memilih antara
mie ayam atau bakso ketika ulang tahunku yang ke 16.
Tanpa
komando, aku memecah ketenangan. Berontak kakiku. Sepatu aku lempar entah
kemana. Aku lari sekuat jantung dan badanku yang keringatan pesing. Gedebag
gedebug gedung sekolah dibuatnya. Aku menuruni tangga menuju toilet seperti
layang layang bermanuver memotong lawanya. Ketika aku menukik menuju toilet,
semua keluar tepat pada waktunya. Seperti bom di film film action.
Aku
jongkok. Aku meneriaki bumi pertiwi. Aku memegangi ciduk. Aku patahkan
ganganggnya. Hingga akhirnya peluh dan asaku hilang bersama tletek tletek
hangat. Indah tak terperi. Seperti jatuh cinta pertama kali. Seperti terang
bulan coklat keju bersama susu segar frambose.
Kenikmatan
tadi hilang dalam mili detik. Menyadari sedari tadi celanaku tidak aku gantung.
Melihat celana pramuka super lebar hanyut bersama air kamar mandi. Kakiku
lunglai. Aku pucat pasi. Saat itu juga, aku terkulai lemas.
Lorong
gedung sekolah tidak pernah sepanjang ini. Bulu kaki mulai mengejang
kedinginan. Setiap aku langkahkan kaki, aku merasa hina, mengenakan celana ini.
Bukan, bukan celana basah. Celana ketat, legging yang selama ini aku kenakan di
balik celana celana lainya. Jangan banyak tanya.
“Basah
pak.”
Guru
sok asik tadi terkekeh menghina.
Aku
mengerjakan semuanya tanpa peduli nilai Bahasa Jawa. Tanpa peduli teriak tawa
dari teman teman. Tanpa peduli sorot mata adik kelas dari segala juru mata
memandang. Tak peduli. Siapa yang terkekeh, peduliku tak akan ada ganjaranya.
Seperti aku peduli pertama kali. Seperti saat aku peduli untuk yang pertama dan
yang terakhir. Peduliku tak selamatkanku dan basah tangisku.
Indra.
BTW THANKS BUAT IMAM PANAS BUAT INSPIRASI PARAGRAF 1NYA. AKU LALA.
No comments:
Post a Comment