Tepat
pukul 12 malam ketika aku nglantur menerawang langit malam untuk mendapati
pemandangan delman dengan 4 kuda dengan warna berbeda beda dan kusirnya yang
gendut dan brewokan, berpacu bersama angin malam, membuat siluet di depan cahaya
bulan kuning. Setelah aku memutar otak akhirnya aku sadar ternyata Sinter Klaus
regional Indonesia memiliki kultur tersendiri. Ketika kotoran kuda sudah bertebaran
di mana mana, berarti ini tanda akhir Desember sudah tiba. Lalu, bayangan sang
Santa dihapus hujan deras.
*******
Ayam
tetangga terjaga lebih awal. Tanyakan saja pada kotoran kuda yang dicampur
hujan semalam. Ayam yang biasanya berisik mulai jam 5 sudah berkokok 1 jam
lebih awal. Berarti aku hanya tidur 4 jam.
Aku
bukan tipe anak yang doyan sarapan. Maka aku terkantuk kantuk ketika mengayuh
sepeda ke sekolah. Bahkan aku ketiduran sekitar 2 km ketika aku sedang gowes.
Untung saja aku tidak celaka. Hanya baju dan celana yang kena lumpur,
disponsori oleh cipratan ban mobil orang kaya yang sesuka hati mengambil jalur
sepeda.
Setibanya
di sekolah, aku merebah di 2 meja yang kugabung menjadi tempat tidur kecintaan
orang orang kesed. Dari tasku yang sudah penuh bercak lumpur, keluarlah solusi
dari segala kotoran kuda – guling kecil. Jangan banyak tanya kenapa aku membawa
guling ke sekolah.
Kepalaku
lepas landas ke pulau kapuk portable. Dan tepat sepernano detik sebelum kepalaku
menyentuh guling, guling sirna seperti agen MLM, membuat kepalaku yang cepak
terbentur kayu keras sekali hingga darah menghiasi lingiran meja. Aku teriak
dalam sengsara. Bertanya tanya, siapa gerangan yang mengambil guling maha
sakti?
“UNYUU~~”
Dawet, wanita dengan rambut kue maryam alami, berteriak girang di atas cipratan
darah. “Kamu njaitke sendiri? Motifnya lucu. Ukuranya buat adek bayi.”
Aku
masih megaduhi kepalaku sembari mengelap darah dengan pembalut – jangan banyak
tanya. “APAAN SIH! RESE GILA!”
“Aku
jadi ingat dulu sebelum Ibuku meninggal ia menitipiku dan adikku guling.
Katanya karena setelah kepergian Ibu, aku tidak bisa lagi dikeloni walau pada
saat itu aku sudah kelas 1 SMA. Aku masih anak kecil untuk Ibu, Ndra. Semua
orang adalah anak kecil untuk ibu mereka.”
Bangsat,
dia tersesat dalam dunianya. “Mana gulingku.”
Dawet
melempar gulingku seperti pitcher baseball internetional, lalu kepalaku pecah
berkeping keping. Maka, point of view cerita ini pindah ke Dawet.
*******
Aku
bukan wanita yang kalian akan puja, puji, cinta dan kuya-kan sekali lirik –
jika malah tidak akan sama sekali. Wanita tipikal jomblo yang ada di buku buku
teenlit alay dan buku buku milik Indra. Namun aku tidak seklise yang kalian kira.
Aku bukan Taylor Swift yang memonetariskan cinta anak muda. Bukan Indra yang
menganggap cinta tidak ada. Aku, Dawet Legi Putrisurya, wanita yang,
self-proclaimed, bersumpah untuk memberikan seluruh cintaku kepada keluargaku
nanti, kelak. Manusia yang lebih keibuan dari Galih Lambe Lamis dari cerpen Cintai
Aku di Purgatori Nanti.
Pagi
itu, recent update BBM, timeline twitter, homepage FB, dan eplek eplek social
media langsung dirubung oleh remaja, kawula kawula muda dengan bejibun foto
mereka, bersebelahan dengan wanita wanita paruh baya yang menua dengan
cantiknya. Karena pertanda akhir Desember telah tercium, benar saja hari itu
adalah Hari Ibu.
Sejauh
tangan menarik halaman handphone tetap saja bernuansa sama. Dengan caption yang
tidak jauh berbeda. Cintai Ibumu. Love,
mom. Dan begitu begitu seterusnya hingga keritinglah jempolku. Aku muak.
Bukan dalam arti aku membenci Ibuku. Aku muak dengan cara mereka menodai cinta
Ibu hanya untuk caper like instagram dan retweet twitter. Atau karena mereka
memang belum menghargai cinta Ibu?
Sebenarnya,
kawan, aku sendiri tidak mengerti arti Hari Ibu. Almarhumah ibuku adalah ibu
yang selalu kucintai setiap hari dan tidak sedikitpun perhatian itu berubah
setiap harinya. Maka
tidak perlu ada Hari Ibu untukku dan adikku untuk sekedar ‘lebih
memperhatikanya’. Dan kadang aku bertanya, apakah di mata tuhan,
haruskah aku memposting foto foto, memamerkan foto ibuku, untuk menyatakan aku
menyayanginya? Tidak, kawan, tidak. Tuhan Maha Tahu.
*******
Ini
sudah lewat jam 11 malam. Aku duduk di semen di dalam pemakaman, di dekat
tempat tidur Ibu. Aku tidak membawa kembang, Ibuku tidak suka kembang. Sebagai
pengganti kembang aku membawa buku kecil kuning – diary dan guling peninggalan
Ibu.
“Mamah,
Dawet datang.” Aku mengelusi payung pemakaman, makam Ibu belum bernisan. “Mamah
dulu minta Dawet cerita kan? Dawet punya baaaaaanyak cerita.” Aku melihati
cover buku kuning. Lampu lampu oranye sudah memenuhi desa. Hangatnya desa sudah
menyeruak dinginya malam natal.
“Mah,
Dawet sekarang anak IPS. Iya, Dawet masih nggak bisa lancar matematika, mah. Jangan
marah, ya? Teman teman Dawet seru, mah. Dawet ingin mengenalkannya kapan kapan.”
Lengang didengus angin malam dan kalong. “Dawet sudah nggak kesepian.”
“Mah,
Dawet sekarang jadi anak OSIS. Dawet bukan anak manja lagi. Dawet sudah
dipercaya sekolah memegang, ya Tuhan, posisi Sekertaris OSIS. Keren kan, mah?”
Malam
itu berlangsung sangat panjang. Aku bercerita kepada sunyi. Ditemani guling
agar aku tidak kesepian. Tak peduli ada tuyul menjawili pipiku apalagi hanya
sebatas manusia serigala berkeliaran. Aku sedang curhat bersama Mamah nomor 1
di seluruh dunia.
Mamah
adalah Ibu paling juara seantero antariksa. Semasa hidup, kami memang tidak seramai
Indra dengan Ibunya, teapi senyum Ibu ketika aku lulus SMP dengan nilai yang
tidak karuan tingginya itu berarti lebih dari jutaan konstelasi kata kata
sayang. Ibu adalah wanita yang penuh emas. Tidak kaget Tuhan memanggilnya lebih
cepat. Wanita seperti Mamah bukan wanita kualitas dunia. Ia adalah wanita garda surga. Menyelundupkanya ke bumi dan menjadikanya Ibuku adalah serpihan
sekecil upil dari nikmat surga. Ajakan tersirat agar aku bisa juga menjadi penghuni Taman Eden.
Di
tengah tengah bulan gendut dan kuning di langit langit ungu, terlihat lagi
siluet lelaki gendut dengan kereta kudanya. Natal sudah tiba.
“Mamah
Dani, selamat Natal. Dawet kangen Mamah.”
Lalu
gemercik lonceng dari rumah rumah warga berdering. Aku kira salju turun di
Indonesia. Ternyata mataku hanya basah lagi. Aku kangen Ibu.
Indra.
No comments:
Post a Comment