Untuk
seseorang yang, kelak, akan menjadi mahasiswa Akuntansi UGM 2016.
***
Dengan
kondisi finansial yang begitu mengenaskan, Papa hanya bisa sekedarnya memanjakan
4 anak perempuanya. Rumah yang berisi 6 anggota keluarga dan berbagai hewan
kotor macam tikus dan kecoa ini tidak berlebihan jika dikatakan kumuh. Hanya
ada satu motor di rumah – Astrea dari jaman Fir’aun belum sunat. Motor yang
sudah kelihatan rombeng rombeng bodinya ini dipakai Papa untuk kulakan di
pasar. Seringkali motor ini dihujat karena bronjong hijau yang menempel di
bagian belakang motor seringkali membuat beset mobil milik orang penting kantor
pemerintah kota. Untuk komuting, ada dua sepeda yang tidak kalah rongsoknya. Sepeda
yang tidak berbunyi decit decit ketika dikayuh dipakai oleh kakak nomor dua. Aku
pakai yang suara besi karatanya menganggu pengguna jalan. Sering kali aku harus
mengantar adikku yang paling kecil ke TK dengan sepeda itu. Mama selalu setia
menunggu Papa dan kulakanya dari pasar di warung yang terbuat dari kanopi seng
dan meja pipa bekas jadi tidak perlu kendaraan.
Aku
jauh dari betah di rumah. Kakak pertamaku selalu sibuk dengan kuliahnya – kami beruntung
pemerintah mau memberi beasiswa bidikmisi. Kakak keduaku tidak pernah ngobrol
denganku – aku juga tidak mau berbicara dengan orang yang memiliki napas berbau
alkohol. Pernah kakak kedua pulang ke rumah dengan keadaan mabuk lalu Papa
menghajar habis habisan anaknya yang lulusan SMA yang tidak jelas mau jadi apa
ke depanya. Adikku hanya bisa mewek. Kadang aku jengkel karena Papa dan Mama
masih sempat kepikiran punya anak lagi. Pernah aku ditampar karena menanyakan
itu. Orang tua lebih tahu.
Kondisi
yang begitu mengenaskan ini selalu membuatku semangat belajar. Aku ingin keluar
dari rumah ini dan hidup sendiri di Jogja. Pemerintah ingin memberi beasiswa
bidikmisi untuk orang orang sepertiku – jangankan sepertiku, orang kaya saja
ada yang memiskinkan diri untuk bidikmisi. Aku juga bisa nyambi jaga toko atau apalah untuk menyambung hidupku di Jogja
kelak. Terlebih lagi, ada seorang kakak kelas idolaku yang sekarang juga
sekolah di Jogja. UGM pula.
********
Tahun
ini, isi rumah benar benar berubah. Kakak pertamaku sudah diterima kerja jadi
wanita kantor di Semarang. Kakak kedua hamil di luar nikah. Adikku sudah bisa
naik sepeda. Aku diterima di Fakultas Ekonomi di UGM. Mama sepertinya sangat
berat melepas anak perawannya untuk jauh – padahal Jogja Solo hanya berjarak 60
Km. Papa lebih pusing memikirkan kakak kedua.
Di
hari Senin yang mendung itu, di kelas T-101, kelas yang sangat dingin karena AC
membuat suhu kelas menjadi 16 derajat celcius, aku melihat papan putih. Aku
langsung duduk paling depan. Bajuku adalah yang paling kumal dan tidak
fashionista tapi peduli apa aku. Aku duduk di kursi impian ribuan remaja
Indonesia. Papan putih di depan kelas seakan menjadi symbol bahwa masa depanku
benar benar kutulis mulai saat ini. Belum lagi Kakak yang aku idolakan berada
di satu kampus denganku. Semua itu cukup membuatku kuat mental untuk mencari
penghidupan sendiri – walau sesekali Ibuku mengiri amplop dengan isi 150 ribu
Rupiah ke kontrakanku yang sederhana namun nyaman. Semua alasan ini membuatku
nyaman nyaman saja berada di kampus yang mayoritas anak anaknya dituntut oleh
kelompok sosial masing masing untuk tampil cantik.
Dosen
gempal dengan raut wajah yang seakan menantang mahasiswa mahasiwa baru di dalam
kelas ini untuk melanjutkan S2 atau S3 ke luar negeri mengucapkan selamat pagi.
Kuliah perdana dimulai. Aku tidak pernah lebih nyaman dari ini.
Aku pulang.
Ttd.
Seseorang yang
sedang sibuk sibuknya belajar SBMPTN 2016
Indra.
No comments:
Post a Comment