“Soal PPKN ini ingin mengajarkan
apa, bu guru?” Indra muntab karena jawabanya disalahkan.
“Mas Indra, tugas rumahan anak laki
laki lebih tepatnya memperbaiki sepeda bersama ayah – maka dari itu jawaban A.
Sewajarnya, memasak adalah tugas rumahan anak perempuan.”
Indra, dengan rasa tidak menerima
yang menggebu gebu, memberontak, “Mungkin benar di masyarakat patriarkis. Tapi
tidak semua keluarga begitu, bu guru. Apakah dengan ini ibu guru bermaksud
mencap keluarga saya sebagai keluarga disfungsional karena saya anak laki laki
selalu membantu ibu memasak di rumah?”
Ibu guru tua tidak ingin ambil
pusing dan berlagak sok tuli lalu melanjutkan koreksian, “Yuk, anak anak.
Lanjut soal nomor 4: Membuang sampah di-
Indra tidak mau dengar lagi. Ketiak seragamnya sudah menguning. Pertanda hari semakin siang. Tidak ada anak keals 4 SD yang suka kelas setelah jam makan siang.
Indra tidak mau dengar lagi. Ketiak seragamnya sudah menguning. Pertanda hari semakin siang. Tidak ada anak keals 4 SD yang suka kelas setelah jam makan siang.
Terdengar samar di bagian belakang
kelas “Hihihi Indra dasar anak banci. Laki laki kok masak hihihi” dan omong
kosong serupa namun Indra tidak mau rugi pikiran untuk mendengarnya.
Setengah jalan menuju rumah, sepeda
Indra terpleset – pasir bangunan keparat! Tubuh gempal Indra tidak kuasa menjaga
keseimbangan alhasil menggelinding lah badan gendut itu. Para tukang yang
terduga menjadi dalang pasir berserakan tak tahu aturan di jalanan desa itu
malah terbahak. Namun, Indra tidak fokus terhadap tertawa para tukang yang
asyik merokok itu. Rantai sepeda Indra lepas. Pusinglah Indra.
“Aduh ini gimana. Bengkel masih
jauh.” Keluh Indra. Seragam Indra semakin menguning karena keringat dan debu
dan panas.
Indra duduk bersila meratapi apa
kesalahanya - mungkin karena ia membentak ibu guru tadi siang - serambi
melumuri tanganya dengan oli. Tidak. Tidak membuat perubahan terhadap rantai
itu.
Lalu teman teman laki laki Indra terlihat
dari jauh. Memang hanya Indra yang biasanya tidak ikut sepak bola setelah
pulang sekolah.
“Weh, itu si banci kok duduk!”
Teriak teman 1.
“Rantainya putus, kali?” Teman 2
menyahut.
Mereka mendatangi Indra dengan wajah
penuh belas kasihan. Indra tetap merengut.
“Ciye anak suka memasak nggak bisa
memperbaiki rantai sepeda lepas, ya?” Teman 3 membenahi rantai Indra. Indra
tetap merengut.
Setelah selesai Indra langsung
merebut sepeda reyotnya dan langsung dikayuh secepatnya meninggalkan teman
temanya. Tanpa kata terima kasih karena tidak mau disebut lagi banci.
****
“IBUUUUKKK” Indra memasuki rumah
langsung ke dapur penuh rasa malu dan marah.
“Ya ampun, le. Mbok masuk rumah
‘assalamualikum’ dulu.” Ibu sedang memasak sop. Karena aroma kaldu yang benar
benar dari rebusan tulang, Indra langsung relax – lupa ingin marah. “Le, itu
mbok bawang bombai, kacang panjang, wortel, kentang dicuci terus dioncek-i”
“Ya, buk.” Sendiko dawuh. Indra
paham – pasti tumis cumi cumi!
Rumah ini selalu berwarna hijau.
Hijau muda. Entah. Padahal catnya putih. Tapi di mata Indra, rumah ini ya
berwarna hijau muda. Dan warna hijau muda itu yang selalu menemani Indra
melakukan pekerjaan rumah. Indra diasuh menjalankan tetek bengek rumah tangga.
Kamu itu anak mbarep, kata Ibu. Harus bisa apa apa sendiri. Indra sebenarnya
tidak melihat adanya relevansi. Tapi selagi itu menghadirkan tumis cumi cumi di
meja, Indra manut manut saja.
Setelah mencuci sayuran yang sudah dikupas,
Indra duduk di pinggiran jemuran. “Bu’, kenapa anak laki laki lain ndak diajari
masak sama Ibu mereka? Bahkan Ucok yang ibunya punya warung makan anaknya ndak
pernah megang pisau sama sekali.”
Ibu memanaskan beberapa tetes minyak
dan menumis bawang putih, cabai, bawang merah, kecap ikan, garam dan sejumput
gula ke wajan. Baunya nyemerbak. “Apa kamu ndak mau diajari masak, tho, le?”
“Ya, mau.”
“Nah. Ya, sudah.” Ibu mulai
memasukan cumi cumi yang sudah dirajang dengan ciamik. “Le, saringan cumi cumi-nya
dicuci.”
Indra menyalakan kran. “Bu’, hari
ini aku dipanggil banci sama teman teman.”
“Terus? Kamu berantem hari ini?”
“Ya, ndak.”
“Terus?”
“Ya aku cuek.”
Ibu menyirami tumisan di wajan
dengan kecap. Aromanya semakin tidak sopan. “Ya, sudah cuek saja.”
“Tapi, besok kalau aku ndak punya
pacar gimana, bu?”
“Kamu itu masih kelas 4 SD!” suara
spatula diketukkan di wajan adalah tanda Ibu mau mencicipi “Masih lama ngurus
jodoh!”
“Bu, tapi aku anak laki laki tapi
ndak bisa memperbaiki rantai sepeda.”
“Ya nanti minta Ayahmu ngajarin.”
“Tapi kan Ayah selalu pulang malam.”
Indra tanpa disuruh sudah terbiasa menyiapkan piring dan mangkok untuk
menyajikan masakan Ibu.
“Ya, besok pas liburan.” Ibu
mengambil sendok makan lalu mengambilkan sesendok cumi cumi untuk aku icipi,
“Kok ada yang kurang, ya?”
Aku menyicipi. “Tak tambahi merica,
ya, bu.”
“Ya ini sekalian selesaikan. Ibu mau
tidur. Badan Ibu sakit semua. Sepertinya mau menstruasi.” Ibu mengoper spatula
ke Indra. Indra lanjutkan sendiri.
******
Rasanya adzan Subuh saja belum
berkumandang. Namun terdengar gelas pecah. Pasti kucing. Setidaknya itu pikir Indra. Masalanya, akhir akhir ini sering
sekali gelas pecah pada dini hari. Namun, karena malas, Indra lanjut saja
kembali tidur.
Jeda 10 menit, pintu kamar Indra
diketuk. Bukan kucing. Tapi Ibu. Berpakaian seperti ingin pergi. Subuh subuh.
“Ibu’ kenapa jam segini pakai jaket
jean dan kacamata hitam segala? Ada tetangga yang kemalingan, po?”
“Le,” suara Ibu parau. “Ibu mau
pergi dulu.”
Indra masih setengah sadar, “Kemana?”
“Ke Rumah Eyang. Di kulkas ada bahan
buat kering tempe. Habis sholat subuh masak kering tempe buat sarapan adik sama
ayah, ya, le.”
Indra manggut manggut saja. Ibu
langsung balik kanan keluar rumah. Keluar pagar. Tanpa ada suara motor – Ibu
berarti mencari bus dini hari. Sendirian. Pagar dibiarkan ternganga tidak
dikunci lagi. Aku bingung. Ingin ku kejar ibu tapi hawa dingin dan rasa malas
masih menempeli tubuh. Ada apa? Setelah
mengunci pagar Indra masuk ke dalam rumah. Mengambil wudhu.
***
Baru kali ini Indra memasakkan
sarapan untuk orang rumah. Dan biasanya Indra juga memasak berdua dengan Ibu.
Namun, setidaknya karena sudah lama menjadi banci
dapur, Indra mafhum bagaimana membuat hidangan sederhana macam kering
tempe.
Ayah keluar dari kamar dengan wajah
cemberut. Jam dinding menunjukkan pukul 05.30. Di meja sudah ada tumis kering
tempe khas ibu dan rice cooker berisi nasi mentik wangi yang harum. Ayah masih
tidak keluar suara. Indra membangunkan adiknya yang masih TK lalu bergegas
mandi. Ayah, masih diam, mengambil sepiring nasi dan mengambil lauk kering
tempe khas Ibu – yang dibuat Indra.
“Jauhhh kau pergiiiiiii
meninggalkannn dirikuuuuuu—“ sesi karaoke pagi dirusak oleh ketukan pintu.
“Le, ibu ke mana?”
“Katanya ke rumah eyang.”
“Naik apa?”
“Nggak tahu. Tadi sebelum adzan
subuh langsung pergi jalan kaki. Paling cari bis.”
“Ini yang masak kering tempe siapa?”
“Aku.”
Jeda lama. Maka ku nyalakan lagi
shower. “Di siiiiiniii akuuuu mee-“ Diketuk lagi pintu.
“Le,” suara Ayah terpecah. Baru kali
ini Indra mendengar Ayah yang biasanya keras dan dingin bersuara parau. “Hari
ini ndak usah masuk sekolah dulu. Habis ini kita ke rumah eyang. Menjemput
ibu.”
Apa ada yang salah dengan kering
tempe khas ibu yang Indra buat?
Indra.
sad lyfe :(
ReplyDelete