Kuncoro itu memang nyentrik
orangnya. Rokoknya tidak pakai gabus filter. Kalau minum alkohol tidak suka
aneh aneh-lawaran bening tanpa buahvita
leci. Pernah tidak naik kelas empat kali. Kutebak pasti sudah tidak perjaka
sejak SMP kelas tiga. Entah siapa bapak ibunya. Apalagi Tuhanya. Tahu tahu aku
kenal Kuncoro dari teman sepermabukan. Tahu tahu aku makin sesat karena Kuncoro
adalah sosok guru spritual untukku setelah 2 tahun kuliah di Jogja.
Memang Kuncoro ini seniman. Rambut
gondrong. Mandi jarang. Tetapi kaya. Namun, walau kaya ia tidak keliatan
terlalu memikirkan uang. Ia adalah seniman. Bukan lulusan D3. Apalagi sarjana.
Di kepala Kuncoro adanya ya hanya melahirkan seni. Senantiasa tirakat agar
magnum opus segera diilhamkan. Masalahnya
oleh siapa?
“Daku oleh alam dilahirkan untuk
membuat sesuatu yang daku saja belum tahu apa itu, boy. Setelah karya kunci
hidup itu saya buat, saya rela mati, boy!” Memang sesinting itu Kuncoro. Hidup
segan mati belum mau.
Guna
menjalankan rukun seniman yang Kuncoro imani, Kuncoro sedang mengadakan pameran
seni. Bukan sembarangan. Pameranya di gedung 4 lantai. Masuk saja perlu bayar
uang. Di dalam pameran seni itu banyak wanita cantik. Berpakaian serba semriwing.
Pameran seni memang chick magnet. Saya diberi tiket gratisan oleh Kuncoro
karena 19 tahun saya hidup saya hanya menggunakan bibir untuk mencium tangan guru.
Belum pernah bercumbu. Kuncoro iba.
Lantai
1 sangat megah. Kuncoro mereplika banyak lukisan populer. Starry Night oleh Van Gogh dibuatnya dengan sentuhan Jogja. Ia membuat
Monalisa berkerudung dan membawa
bedil. Konsep terkenal Michael Angelo yang mempertemukan Adam dan Tuhan
diadopsi Kuncoro untuk mempertemukan Presiden Soeharto dengan personil Daft
Punk.
“Bagus
bagus ya, Kun.”
“Kamu
jangan gampang puas, boy. Level ini masih level paling cethek.”
“Masak,
Kun?”
“Kamu
liat wanita wanita itu yang sedang foto di depan lukisan Oatmeal Instant warna
biru?” ia menunjuk sekelompok wanita yang sepertinya kuliah semester 4. “Mereka
kalau saya ajak main, hanya selangkangku yang puas, boy. Itu duniawi.”
Kuncoro
bicara seks lebih fasih dari Sartre. Aku mengangguk angguk saja. Bukan porsi
saya untuk menyela. Saya pegangan tangan saja tidak pernah kok ingin mengkoreksi
Kuncoro?
Lantai
dua banyak karikatur karikatur yang menyimpan banyak pesan subliminal. Agak
lebih kompleks dari kartun minggu pagi di Jawa Pos atau ilustrasi ilustrasi di
prosa prosa Sudjiwo Tedjo. Di lantai ini ada ruangan serba biru yang penuh
dengan wanita yang jauh lebih cantik dari wanita lantai satu.
“Kalau
ini sepatu pantofel dicat biru ini artinya apa, Kun?”
“Oh
itu representasi kehidupan PNS yang biasa biasa saja tetapi bahagia.”
“Oh.
Kalau yang buku TTS warna biru itu apa, Kun?”
“Itu
menggambarkan kehidupan PNS setelah pensiun tetapi bahagia.”
“Kalau
galon aqua yang dicat biru itu apa, Kun?”
“Itu
sarjana kemarin sore daftar CPNS, boy.”
“Kok
galon, Kun?”
“Kamu
belum sampai, boy, levelnya.”
Benar juga.
“Kalau
kursi biru, itu, Kun?”
“Itu
kursi panita, boy.”
“Oh.”
Semakin ke atas semakin nyeleneh.
Lantai tiga, medium seni yang dipakai Kuncoro semakin minimalis. Semakin girang
pengunjung. Selfie semakin deras. Wanita wanita semakin aksi pose fotonya.
Aku liat bonsai yang ditusuk
gunting.
Aku liat rokok yang salah satu
ujungnya berbentuk bibir Angelina Jolie.
Aku liat komputer dengan kitab suci
menjadi pengganti monitornya.
“Semakin nyeni ya, Kun.”
“Jelas. Hanya orang yang sudah
pernah tinggal kelas setidaknya 3 kali yang bisa menikmati ini.”
“Begitu ya, Kun.”
Di jalan menuju ke lantai ke empat,
Kuncoro menghadangku.
“Begini, boy. Lantai empat ini
lantai yang sangat sakral, boy. Kamera dilarang di bagian ini, boy.”
“HPku low bat sejak lantai satu, Kun.”
“Aku peringatkan, boy. Hanya orang
yang pernah mati suri yang paham karya lantai empat. Kalau kau bingung tanggung
sendiri.”
“Kamu pernah mati, Kun?”
“Pernah. Sudah sempat dikembalikan mayitku
ke Jombang. Setelah hidup ku minggat lagi ke Jogja.”
Lantai empat ternyata out door.
Sebuah rooftop. Bahkan tidak ada panitia. Hanya ada krikil. Bukan krikil indah
seperti batu permata. Hanya krikil. Hitam. Bentuknya tidak jelas namun ya
krikil generik.
“Ini karya seninya mana, Kun?”
Kuncoro takjub bukan main. Ia
menunjukkan jarinya ke krikil di tengah rooftop.
“Itu krikil?”
Kuncoro bersikeras menahan bendungan
air mata bahagia. Kuncoro bangga bukan main dengan karya seninya yang sangat nyeni
ini. Ia terlihat sangat jauh tenggalam dalam dunianya sendiri. Kebanggaan
Kuncoro jauh lebih besar dari tante tante Cina yang menghadiri resital piano klasik
anaknya yang sudah dileskan di Purwacaraka sejak zigot.
“Kok tidak ada tulisan penjelasan
karya seni seperti lantai lantai sebelumnya, Kun?”
Kuncoro serambi megap megap
menjawab. “Penjelasan membunuh karya seni, boy.”
“Oh.”
Ku melihati sekitar rooftop. Tidak
ada pengunjung lain. Hanya aku, Kuncoro dan krikil dekil yang entah dari konstruksi
bangunan mana krikil itu berasal. Tidak ada wanita cantik.
Indra.
No comments:
Post a Comment