Setelah
sholat isya’ tepat waktu, Mama
Pur selalu membolehkan TV di rumah dipakai hingga jam 8 malam. Susah
menikmati
TV dengan santai bersama sekian banyak anak yang tidak berhenti
cengengesan dan
bau keringat bahkan setelah mandi. Apalagi Atmaja. Aduh, lelaki gendut
itu
selalu bau apalagi setelah TPA. Pasalnya ia setelah mengaji malah
berlari lari dengan Aziz bukan siap siap Shalat Maghrib. Anak lelaki
memang selalu banyak tingkah dan bau!
Setiap
jam melihat TV saya biasanya membaca komik Monika atau Donal Bebek koleksi Mama
Pur. Beberapa lembar dicorat coret Dek Rizal. Beberapa juga ada yang dirobek
Dek Aisyah. Tapi tak apa. Saya masih bisa terkekeh melihat epos Monika menjahili
balik Alien jahat yang ingin membuat jahil di muka bumi. Perkara ada cerita
yang tidak tuntas karena lembaran tidak lengkap cincailah saya bisa karang
sendiri.
Namun untuk malam yang agak lebih hore
dari biasa itu, ketika anak anak laki laki sholat taraweh – lebih tepatnya main
mercon, Mama Pur memegang kuasa TV. Ia melihat acara Talk Show yang dipimpin
oleh lelaki pesulap. Saya juga bingung bagaimana pesulap bisa menjadi host
acara talk show tapi itu hal trivial.
Ada
seorang wanita cantik di layar
TV. Cantiknya tidak dapat ditutupi kerudung abu abunya. Lipstiknya
berwarna
anggur yang malu. Pasalnya wanita ini baru saja menulis buku tentang
penantianya yang sepanjang 11 tahun baru dikaruniai anaknya yang bernama
Sarahza.
Saya anak TK jadi tidak tahu apa apa tentang penantian anak. Apalagi
anak anak
panti. Anak anak panti tidak ada yang punya orang tua, duh. Jangankan
menantikan anak. Di dalam pikiran anak anak kelebihan energi itu cuma
ada formulasi cara agar bisa kabur dari sholat tarawih 20 rokaatnya
Ustad Amin.
Saya terlahir sebagai wanita. Seperti
wanita normal selalu terlahir sebagai perasa. Bahkan mulai sejak dini. Mama Pur
menyimak dengan khusyuk mbak mbak yang bernama Hanum itu. Aku ikut melihat
dengan Mbak Aminah. Mama Pur diam diam mulai mengeluarkan air mata. Mungkin ada
sangkut pautnya dengan karirnya sebagai pengasuh.
Saya tidak menangis di depan TV.
Entah kenapa tidak berani aku menangis di depan orang lain. Setelah gosok gigi,
di ruangan sempit berisi 4 anak perempuan yang sama sama belum dewasa itu, aku
melihati langit langit yang ungu karena uraian lampu dari dapur panti. Saya sudah
besar. Sudah SD. Kalau berangkat sekolah tidak usah diantar Mbak Aminah. Namun
tanpa penjelasan logis saya mengingat kata kata penantian anak yang membuat
Mama Pur menangis tadi. Saya juga ikut menangis. Tapi sudah menjadi prinsip
saya bahwa tidaklah boleh anak besar menangis apalagi di depan orang. Saya
tahan sekuat mungkin agar tidak menangis. Namun apa daya, masih keluar suara
sesenggukan. Suara anak yatim piatu. Lalu Dek Aisyah terbangun.
“Mbak Nur kenapa kok nangis?"
Saya mengambil napas sekaligus ingus
yang sangat banyak.
“Ndak, kok, Dek.”
Saya hanya seorang anak yatim piatu.
Entah siapa orang tua saya. Saya tidak pernah bertemu. Tapi kata Mama Pur saya
dititipkan ibu kandung saya sendiri. Namun rasanya hidup di panti membuat saya
terlanjur begini. Saya tidak bisa paham dengan saya yang tidak jelas maunya apa
ini. Yang jelas saya hanyalah Nur Lasini, bukan Sarahza.
No comments:
Post a Comment