Belum berjarak 24 jam sejak aku
dicemooh sebaai remeh temeh siswa IPS. Tapi kawan, Tuhan itu Maha asyik. Tuhan
telah menata konstelasi rencanya dalam blue print yang sakralnya tak tanggung
tanggung. Semua organ dalam tubuhku meledak ketika kudapati diriku mewakili
kotaku untuk maju ke tingkat provinsi, dalam ajang olimpiade ssssssssaainnsss.
Bukan, bukan sains, tapi sssssssssainnsss. S dibaca 3 harakat.
Motivasi
hidup adalah hal yang essential di abad modern ini. Bahkan tidak seidikit pula
orang orang yang menjadi motivator untuk menghidupi keluarga mereka. Mereka
yang menjadi motivator adalah orang orang tua yang penuh dengan optimisme jika
tidak bisa dibilang sebagai tua bangka oportunis.
Kawan,
tidak perlu ibuku mengiming ngimingiku laptop baru untuk membuat diriku yang
malas tak terkira ini mau belajar. Kurang lebihnya tidak masuk jurusan IPA
bukanlah hal yang cukup mecambuk jiwaku. Mau bagaimana lagi, sejak kecil aku
selalu diajarkan nrimo ing pandum. Menerima apa adanya. Walau sering kutemui
juga orang yang selalu menerima apa adanya adalah orang orang yang susah makan
dan tidak pernah tidur nyenyak karena dikejar hutang sana sini.
Sebenci
bencinya aku terhadap kawan kawanku, itu semua terhitung aku gelut dengan Niko
dan Diva karena perkara ngureg ngureg silit, kawan, primordialisme itu tetap
ada. Mungkin primordialisme itu sekarang sudah ranum menjadi etnosentrisme atau
kemungkinan lebih buruknya lagi sekarang sudah beranak pinak menjadi keluarga
besar chauvinisme. Ah kawan, bukan cuma dokter yang pake cincong ilmiah,
sosiolog juga punya diksi maha sexy untuk diucap. Tanpa banyak cakap, seperti
alasan tawuran tawuran di jalanan ibu kota, motivasiku simple : sakit hati.
Ini
semua berawal dari stigma anak anak jurusan IPA yang sesuka udel mereka bisa
murtad jurusan masuk ke fakultas IPS macam ekonomi. Kawan, pernahkah kalian
melihat anak anak IPS kuliah kedokteran ? Karena aku ini adalah orang yang
mensekiankan penggunaan otak, tanpa banyak cincong aku mendaftar pendaftaran
peserta olimpiade sssssssssaaiinnsss. Jika aku mendaftar tim fisika,
matematika, biologi, kimia yang notabene adalah IPA murni aku akan mati sebelum memegang bedil, maka aku mendaftar babagan
IPA terapan : astronomi dan komputer.
Ketika
hari pendaftaran astronomi, ketika aku melihati soalnya, mencret mencret hebat
diriku. Kawan, nolnya banyak sekali. Akutansi pun tidak pernah angka angkanya
tembus satu milyar. Keringat dingin mengguyur tubuh gembrotku. Aku benar
seperti babi menunggu penjagalnya. Pak Mun yang kebetulan guru fisika semasa
kelas X, datang menjawil pundakku. Penjagalnya datang. Aku disekak mat oleh
soal. Aku kalah. Aku runtuh dihunus ini itu bahasa IPA. Aku mundur perlahan.
Terkulai lemas.
Di hari
selanjutnya, kawan, motivasi itu benar hebat efeknya. Aku belajar sampai
ambeien semalaman suntuk. Olimpiade komputer itu bukan hal dasar macam
mengetika bleh bleh bleh. Olimpiade komputer itu berisi pemrograman pascal, matematika
diskrit dan hal hitungan lainya. Motivasi membakar keputus asaanku. Peduli
setan. Orang yang kalah sebelum bertanding itu sampah. Diriku mengerjakan soal
seleksi seperti halnya mengerjakan tes IQ. Susah susah gampang nggateli. Walau
tidak sekali aku diremehkan anak IPA itu, aku tetap saja ngudel, keras kepala
mengerjakan soal. Toh, makin tersinggung, makin semangat diriku.
Senin
itu, ya ampun, aku diterima menjadi tim olimpiade sekolah yang terdiri dari 6 murid. Aku
seperti eminem yang berkulit putih di kalangan orang orang berkulit hitam-IPS sendiri. Tidak,tidak minder, makin kurang ajar malah
diriku. Toh, nyatanya aku bisa sampai titik ini, kenapa harus malu ? Stereotype
itu aneh seaneh anehnya aneh. Aku akan maju olimpiade sssssssssaaiinnsss pertengahan
bulan depan. Demi nama anak IPS.
*******
Malam sebelum lomba aku bergidik sendirian.
Tidak ada narkoba yang bisa menenangkanku. Tidak ada tembakau yang bisa
meringankanku. Aku mual. Ayanku rasanya ingin meledak, mati tepar dalam keadaan
mulut berbusa. Aku, anak IPS yang sepele ini, akan maju olimpiade
sssssssssaaiinnsss. Aku grogi. Aku anak IPS, IPS dua lagi, yang jauh dari kata
pintar, apalagi ilmu sains, harus maju membela sekolah dalam ajang yang
gengsinya tidak tanggung tanggung tingginya. Separuh hati aku menyesali
kengeyelanku dan ke-terlalu-optimisan-ku. Separuh hati aku kecewa terhadap aku yang separuh hati. Aku
galau. Aku tersesat. Semua alam terasa semakin gelap dan kelam. Aku lemas
sepanjang malam, dihantui oleh tawa kuntilanak, tuyul berkeluyuran, jenglot
pecicilan, pemrograman C++, Java, pascal, bahas HTML dan matematika diskrit.
Aku semakin tersesat. Tersesat sehilang hilangnya raga dan jiwa.
*******
“gimana le, tidur malam nyenyak ?”, Guru
pembimbing berbasa basi. Sepertinya kantung mataku kurang berteriak “NGANTUK
CUK”.
“Nyenyak
pak”, aku berbohong.
Semakin
panjang pengarahan pak guru, semakin gelap mataku ditutup kantuk. Seingatku aku
sudah mendapati diriku duduk di ruang olimpiade, merasa asing. Aku benci atmosphere
anak anak sombong ini. Melihat matanya saja seakan diajari teorema teorema
segitiga tetek bengek. Model rambut mereka mencibir aku yang buruk rupa ini.
Pawakan tubuh mereka keliatan sekali mereka mereka ini menerapkan kaedah 4
sehat 5 sempurna. Rasa jengkel meletup letup.
Ketika
seorang penjaga yang bawaan mukanya garang – sepertinya mantan pembunuh tapi
entahlah – menyuguhi aku dengan racun yang harus keteguk (baca : soal
olimpiade), aku mencoba sedikit dingin. Kuintip sedikit soal nomor 1, separuh jiwaku mati. Aku merinding.
Aku mati di titik klimaks tantangan. Aku malu. Orang yang lebih busuk dari
orang yang tidak bisa mengerjekan sesuatu adalah orang yang sok sokan bisa
sesuatu. Aku takut membuka soal nomor 2. Bisa bisa aku mati karena setahuku
separuh itu setengah, dan setengah tambah setengah itu satu. Aku bukan kucing.
Aku
hanya mengerjakan 8 soal yang kiranya sebatas otak IPS. Aku menangisi diriku
yang hina dan sok ini. Aku tertidur dalam ngeri ngeri soal sssssssssaaiinnsss.
Aku mawas diri kenapa aku tidak bisa masuk IPA tempo hari dulu.
“Mas,
bangun.”, aku dibangunkan bapak bapak brewokan tadi.
Sontak
aku gelagapan, “Ah, ah iya pak.”. Lalu sok sokan memegang ballpoint tanda agar
dibilang pintar. Ah, hina sekali aku ini.
Dilihat
bet XI S2 di pundakku. Aku menggerakan tangan tanda risih. Bah, matanya tetap
saja melihati betku.
“Mas,
IPS ya ?.” walau terdengar sopan, matanya mencibir. Ingin sekali aku colok
matanya.
“...
iya, pak.”
Bapak
bapak tadi pergi dari membangunkanku dengan menyimpul senyum rasa menang. Optimis
anak didiknya maju ke tingkat provinsi bisa dilihat dari air mukanya. Jengkel betul aku.
Kawan,
yang kalian butuhkan hanyalah motivasi untuk memaksimalkan potensi diri. Aku
ingat kenapa aku nekat masuk ke tim olimpiade sssssssssaaiinnsss : sakit hati dan
rasa ingin membawa nama IPS dari jurang cemooh. Maka, terbakarlah emosiku.
Emosi tadi menuangkan rahasia ilahi dalam otakku yang kurang lebihnya kopong
ini. Pemograman bertingkat if-or-while-damn seperti mengerjakan tambah kurang
saja. Aku membara. Ketika pseudo-pascal yang njelimet dan beranak pinak cabang proses programnya aku coba kunyah kembali, ada energi misterius yang membuatku mengerjakan soal soal ini seperti halnya menjawab soal ulangan harian biasa. Walau aku tersinggung, bapak bapak tadi adalah patriot IPS,
terima kasih pak, tanpamu tidak akan ada energi misterius yang meledak di dalam kalbuku. Aku keluar dari ruang olimpiade dengan sedikit busa di mulutku dan
mengerjakan 35 dari 60 soal. Lebih baik dari mati tanpa mencoba.
*******
Bacalah paragraf pertama.
Indra.
No comments:
Post a Comment