Namaku
Putri, siswi IPS yang tidak bisa dibilang cemerlang tapi jika dibilang goblog
sepertinya terlalu berlebihan. Setidaknya nilai merah di raporku tidak ada lima
biji. Aku tidak bisa dikatakan cantik. Bisa dibilang aku kalah cantik jika
dibandingkan Indra. Rambut terurai sampai kerah sedikit kumal karena susah air.
Mata setengah ngantuk. Benar seperti wanita IPS kebanyakan. Aku tidak bisa
dibilang cantik. Aku tidak bisa dibilang pintar. Apalagi dibilang calon duta
besar. Itu Putri yang lainya. Bleh. Sudahkah aku menyebutkan bahwa diriku juga
agaknya sedikit bermasalah dengan moral ? Ah sudahlah.
Janganlah
kalian bosan. Ini lagi lagi cerita cinta. Cinta segitiga di lingkaran sahabat.
Cukup klise ? Ah, mungkin iya. Tapi bagaimana lagi, aku tidak ingin yang
mengetahui perasaanku hanya angin dan tuhan.
Aku
adalah anggota geng terkemuka di bumi pertiwi yang bernama TBC. Entah apa
kepanjanganya tapi sebut saja itu. Namanya juga anak IPS, jadi kami kiranya
tidak terlalu tahu apa itu Tuberculosis. Ada kata Tuber di Tuberculosis. Di
otak kami Tuber itu semacam terjemahan kata Turbo dari bahasa yang kini suku
penggunanya sudah entah raib ditelan bumi. Turbo berarti cepat. Cepat berarti
motor besar. Motor besar berarti hebat. Begitu.
Sebagai
wanita yang lahir tertua di antara wanita geng lainya, agaknya telah membuatku
merasa memiliki mereka sebagai adik sendiri. Apalagi Sari. Walau lebih tinggi dariku
tapi tidak ada cerminan dia jauh lebih tua dari aku. Mukanya tidak bisa
dibilang imut tapi memang terlucu jika kalian bandingkan dengan member lainya
yang, ya tuhan, tidak terperi gaharnya. Suaranya seperti kaleng kerupuk diseret
tapi memang ini adalah trademark miliknya. Suara jenakanya memang ampuh memecah
suasana. Apalagi pipinya yang maha tembem. Ah, punya Indra bukan apa apanya.
Pencair suasana nomor wahid.
Primordialismeku
di geng ini benar terwujud adanya. Walau kata masyarkat Etnosentrisme
membunuhmu tapi mereka tahu apa ? Kawan, janganlah kalian terlalu percaya
kalimat poster. Aku mendapatkan kasih sayang sebuah keluarga di dalamnya. Aku
memiliki adik adik yang cerewet dan sangat menyayangiku. Kakak kakak kang mas
yang jenaka dan asyik bukan main walau kiranya sedikit tak punya etika. Dan di
atas semua itu di sini aku bertemu dengan, ah seperti kata pujangga, bunga pengisi
taman bunga. Liliaceae ku. Bunga bunga tulip yang menguncup uncup malu di dalam
taman hatiku. Yang termanis dan tersayang, Rama.
Rama si
mata teduh. Rama si pelengkung senyum. Rama si hitam manis. Rama si jambul
tampan. Ah, Rama Rama dan Rama. Manis sekali wajahnya. Kawan, kuberitahu,
jikalau kalian berkesempatan bertemu denganya walau hanya sekelibat saja,
ucapkan selamat tinggal kepada cinta untuk pacar anda. Dia adalah bintang dan
bulanku. Entah apakah dia menganggapku matahari atau apa. Aku terlalu malu.
Tapi kurasa kami saling tahu rasa walau tanpa kata. Kurasa. Walau hubungan kita
hanya sebatas lirak lirik dan ngobrol ngobrol kecil asyik, itu sudah cukup
indah untukku. Ah, di dalam mimpi aku sudah dipinang olehnya dan memiliki anak
3. Dan jika mendengarnya bermain gitar, uuuuhhhhh. Fingerstylableh punya Indra
bagaikan suara babi diare sakaratul maut. Meledak ledak jantungku. Kembang
kempis dadaku. Terkencing kencing diriku menahan rasa cinta yang sampai kini hanya tersangkut di
tenggorokan.
Dia
adalah pangeran kuda putih geng kami. Tidak jarang kami para member perempuan memainkan
peran para wanita wanita setengah baya yang tidak tahu diri, memujanya dan
berharap akan menjadikan kami selir selirnya, menggantikan para suami kami yang
sudah tewas dulu dulu.
“Ih,
itu pangeran.” Begitulah cekikan awal yang tidak jarang terdengar.
“Aih,
manis kali itu bujang.” Sari adalah accompliceku dalam drama ini. Partner in
crime bahasa gahulnya.
“Rama~”
seperti cabe cabe di ibukota kami menyapanya.
Ah,
andai saja ia benar tahu rasaku. Tapi agaknya aku cukup beruntung karena Sari
juga multifungsi menjadi tameng jikalau nanti, suatu hari nanti, teman teman
bejatku menjodoh jodoh menye menyekanku dengan Rama. Walau itu memang ide semua
drama ini tapi agaknya aku tidak cukup tega. Tidak cukup nyali tepatnya. Bisa bisa
meledak kepala dan mati bahagia aku.
Walaupun
Mus dan Ales adalah contoh nyata bahwa hubungan roman dalam gengku itu ada,
tapi kiranya aku, ah aku, aku takut betul. Walau di otakku kami sudah punya 3
anak dan hidup dengan dana pensiun di mahligai rumah tangga yang indah dan
sehat jasmani dan rohani, tapi untuk bilang cinta saja ulu hatiku ngilu, perutku
kram, bernafas saja susah. Ah, cinta memang luar biasa.
*******
Hari
itu adalah ulang tahun Punta. Kawan, Punta adalah perempuan seni harga mati. Ia
mengidap obsesi kompulsif terhadap dangdut dan campursari. Karena tidak ada
ekskul dua musik tersebut, maka ekstrakuliler keroncong pun jadilah. Semua akan
dilakoninya asal itu semua berbuah ia boleh berbisik teratur ria di depan
khalayak umum. Jadi, tidaklah suatu hal yang membuat kita kaget jika di hari
sweet seventeenya Punta menggelar dangdut-all-night-long di rumahnya. Semua
kelas 11 diiundang ! Benar gila obsesinya.
“Jangan
kebanyakan banyak motor cah. Itu panggung di kampung. Tahu dirilah kalian”
begitulah Punta bersabda.
Kami
mendengar larangan banyak motor itu membuat kami memutar otak. Tolong jangan
sangkut pautkan dengan “statement anak IPS tidak punya otak”, itu hanya mitos. Kami
mensortir unit motor yang akan dipakai. Kami terpaksa berboncengan.
Alam lah yang menjadi saksinya. Aku seakan
mati bahagia karena tersetrum. Aku, entah bagaimana prosesnya masa bodohlah
itu, terjatah semotor dengan Rama. Jika kalian bilang paragraf ini kurang
spesial untukku, begini kawan, aku menyimpan rasa semua indahnya hidup untuk
dituliskan ketika aku diboncengkan Rama. Kuulangi sekali lagi, AKU DIBONCENGKAN
RAMA. <<<<< BACAAAAAA
Ketika
malam tiba, aku kenakan segala macam tetek bengek yang tercantik dan termahal
yang kupunya. Sepatu converses ori yang kubeli susah payah dengan puasa
berbulan bulan tidak jajan. Celana jean merek berada yang pasti kalian kalian
belum pernah dengar jadi sengaja aku tidak tuliskan di sini. Juga hasil puasa. Kaos
nyetil cantik warna kuning untuk mengimbangi imutnya jean akuh. Ah, seperti
artis ibu kota saja aku.
Di base
camp geng kami, ah aku munafik sekali dalam hal fashion. Walau aku tidak
merokok tapi setelan nyetil ngejreng bukanlah aku sekali. Di dalam hati aku
mengutuki diriku sendiri. Ah, ingin sekali aku pulang kerumah. Aku terkencing
kencing cemas karena aku yang selalu mengenakan jaket denim serba jantan ini
tiba tiba menjadi imposer Nike Ardilla.
Tidak
terlalu lama aku mengutuki kemunafikanku. Rama, ah, boleh mereka mereka bilang
norak, dia seperti pangeran celtic dari dunia yang tidak pernah ada hanya saja
ia menunggang motor bukan kuda putih. Aku grogi. Bagi mereka yang mengalami
stres jangka panjang karena memendam cinta dan jarak solusinya hanya sebatas
menaiki sadle motor tentu menjadi alasan yang cukup valid kenapa sekarang
dadaku gegap gempita.
Aku,
setempo perjalanan, menyandarkan kepalaku di jaket Rama. Jauh dari kata wangi
tapi peduli apa. Aku sedari tadi salah tingkah. Kawan, Cinta itu benar hebat
pengaruhnya. Aku tidak peduli pada dinginya angin malam. Di belakangnya,
hangatnya jauh lebih hangat dari matahari. Apakah aku terlalu hiperbolis ?
Kawan, aku tidak terlalu memperhatikan sekelilingku. Aku terlalu kalut dalam
taman eden. Aku dan Rama menunggangi kuda putih maha gagah, menyusuri tenang
dan indahnya padang bulan. Melayang layang mengajak terbang para ilalang. Tanpa
kata kata. Teman temanku, silahkan saja kalian pergi duluan. Tinggalkan kami
berdua sendirian. Tinggalkan saja. Biarkanlah aku hanyut dalam kasmaran.
No comments:
Post a Comment