Aku bukan umat yang merayakan Malam Minggu, jadi malam ini aku putuskan untuk mbelayang
ke minimarket dekat Desa Kecil Sekali. Dengan kantong beraroma bawang,
kuberanikan diri memasuki imperium koleksi barang dagang dengan pendingin
ruangan yang maha agung.
Ranjang belanja sudah berisi kudapan agar aku makin gendut. Karena aku manusia
yang ingin banyak tahu, aku melanglang minimarket ke daerah makanan kaum kaum
stakhanovis, ke rak bagian coklat. Sejenak aku merinding setelah mendapati di
rak coklat ada bayi tanpa busana sesuka udelnya gantung diri. Oh ternyata cupid, oh
ternyata sudah masuk bulan Februari, oh ternyata Valentine lagi. Bangsat.
Aku masih beku dalam kejut. Sesaat kemudian aku disadarkan oleh pukulan keras
di pundak lalu aku berontak dan teriak sejadinya, “BUKAN AKU PEMBUNUH BAYINYA.”
Gatot terbahak, pembawaanya yang tinggi dan tampan membuat mbak mbak staff
minimarket terpesona lalu lunglai dan lemas ketika gigi putih gatot bersinar
bak bulan purnama Apogee di awal bulan Maret.
“Ngapain ke bagian coklat, cuk? Oh, kali ini kau benar mau menyatakan cintamu,
Ndra? Akhirnya. Selama ini aku selalu menganggapmu kaum homoseksual namun
ternyata kau benar menyukai gadis biola di warung Mbok Jemrabut itu, ya?”
“Banyak omong, Tot.” Aku melirik tas belanja Gatot, bejibun coklat batang
dengan pita merah. “Omong omong, kau tidak takut pacarmu yang entah nomor
berapa itu diabetes hanya karena merayakan Valentine?”
“Hah? Valentine? Tak kusangka kau mengenal kosa kata ‘Valentine’, Ndra.” --- Fellas,
segarink garinknya suatu gurauan asal anda tampan dan kaya saja, maka di mata
wanita anda akan lebih lucu dari Sule.
“Sudahlah. 4 coklat? Bukankah itu berlebihan? Bukan masalahku sih.”
“Aku tidak punya masalah komitmen seperti dirimu, Ndra. Ketika aku jatuh cinta,
aku nyatakan. Jika aku putus cinta, masih ada banyak ikan di laut. Oleh karena
itu, 4 coklat ini untuk seluruh 4 pujaan hatiku. Atau begitulah kata pepatah
yang ada sejak jaman Firaun belum sunat. Banyak ikan di laut. Sedangkan kau,
jelas jelas kau dan anak Mbok Jemrabut itu saling cinta. Gadis biola itu selalu
grogi ketika kau makan di warung Mbok Jemrabut. Langsung merah pipinya.
Langsung fales lengkinganya. Kenapa kau repot repot belajar alat musik yang susah
bukan main -Biola- kalau bukan karena cintamu kepadanya? Dia tidak punya teman lagi
yang bisa diajak ngobrol. Dia terlalu gendeng. Isi otaknya hanya ada partitur.
Beethoven, Mozart, Paganini. Bleh. Aku bahkan kaget dia doyan ngobrol unyu
denganmu. Mungkin karena kau sama gilanya. Bangsat, padahal dia cukup cantik,
namun ketika kugleyer motorku dia sok budeg. Sedangkan kau, sudah asik berduet
gitar biola. Kadang bukan wajah dan tumpakan yang berarti, Ndra. Kau adalah
satu dari sedikit laki laki yang bisa mengerti perempuan macam gadis biola itu.
Oleh karena itu selama ini aku selalu mengira kau gay – kau bahkan belum pernah
menyatakan cinta kepadanya di Valentine tahun lalu.”
Aku menghela napas. “Aku tidak punya masalah komitmen seperti yang kau dan
komplotanmu gosipkan.” Aku memegangi pita merah di tumpukan coklat yang
dibentuk menjadi ornament hati raksasa. “Pernahkah kau setidaknya berpikir
untuk bertanggung jawab?”
“Apa?” Gatot sedari tadi nyekikik menghadap handphonenya. “Apa tadi? Maaf, dia chat.”
“Entah. Aku pulang, Tot. Happy Valentine?”
“Happy Valentine, mblo. Mungkin kau tidak akan mendapatkan ucapan itu dari
wanita tapi sudahlah.” Ia nyengir lagi lalu dilanjut cengir dari emot hati di
layar handphone yang sebesar gaban itu.
*********
Kawan, bulan purnama redup. Mengenang satu tahun meledaknya Kelud. Kelabu samar
samar di balik awan abu abu. Susu kotak yang kubeli tadi sudah habis setengah
kotak. Aku melihati pantulan samar bulan di air keruh sungai. Berharap melihat
remang wajah si Gadis Biola.
Kita, adalah
sepasang sepatu. Selalu bersama, tak bisa bersatu.
Valentine? Tahun lalu penuh dengan abu. Maksudku, benar abu. Benar benar abu
vulkanik.
Kita mati bagai
tak berjiwa. Bergerak karena kaki manusia.
Valentine datang seminggu lagi. Namun aku bukan lelaki yang cukup bangsat untuk
menyatakan rasa cinta kepada si Gadis Biola.
Aku sang sepatu kanan, kamu sang sepatu kiri.
Aku adalah lelaki egois. Aku adalah lelaki bajingan. Aku punya cukup nyali
untuk mengakui itu. Namun....
Ku senang bila
diajak berlali kencang, tapi aku takut, kamu kelelahan.
Ketika aku memainkan duet di tengah malam yang tidak terduga itu, aku,
setidaknya menurutku, kehilangan egoku. Aku merasa aku bisa menjadi suami
untuknya. Bukan pacar yang isinya hanya menuruti isi celana dalamnya, namun
suami, menjadi ayah anak anaknya. Menjalani sisa hidup setelah lulus kuliah
hingga akhirnya keliling dunia setelah pensiun.
Ku tak masalah
bila terkena hujan, namun aku takut kamu kedinginan.
Ketika aku meminum kopi hitam di malam yang dingin, bukan kafein yang menghangatkanku
dan membuatku terjaga, namun kenangan ngobrol berdua yang ditemani dua gelas
kopi kecillah yang menyalakan perapian pada malam yang juga tidak terduga itu.
Memang tak bermodal, tapi tak bisa dibeli harga setinggi apapun.
Kita sadar ingin
bersama….
Namun setelah aku menjalani candaan Tuhan yang tidak lucu ini, aku merasa
bodoh.
Tapi tak bisa apa
apa…
Semakin aku mencintainya, maka seharusnya semakin aku menjauhinya.
Kita sadar ingin
bersama…
Kawanku, aku mendapati satu pelajaran yang ingin rasa kalian semua dapat
pelajari dari kebajingananku menjalani cintaku ini. Ketika
kau membuat seseorang mencintaimu, maka kau juga harus sanggup menerima cinta
itu.
Tapi tak bisa apa
apa…
Tanpa kata, kami saling sadar ingin bersama. Namun, sepatu kawan, sepatu.
Kami tak bisa bersatu. Jika aku menyatakan egoku ini kepadanya, pisaunya akan
semakin dalam. Jika aku hanya menjadi pacarnya, hanya untuk bermain main
denganya, menuruti keegoisanku, maka resmilah aku menjadi bajingan nomor satu
sejagat raya. Kawan, aku adalah gajah. Bukan karena badanku yang gempal, namun
aku adalah manusia yang susah lupa.
Terasa lengkap
bila kita berdua, terasa sedih bila kita di rak berbeda.
Aku selalu rindu padanya. Ketika hujan datang, puisi lahir untuknya.
Entahlah jika dia melakukan hal yang sama. Peduli apa. Kami tidak bisa apa apa.
Di dekatmu, kotak
bagai nirwana tapi saling sentuh pun kita tak berdaya.
Jika aku benar mencintainya, seharusnya dia tidak tahu tentang perasaan ini.
Aku tidak ingin membuatnya jatuh cinta kepadaku karena aku tidak bisa
bertanggung jawab menerima cintanya. Tapi bangsat, mataku tidak bisa diajak
kompromi untuk berbohong dengan hati nurani.
Kita adalah
sepasang sepatu, selalu bersama, tak bisa bersatu….
Aku sang sepatu kanan…
Dia sang sepatu kiri…
Valentine—Love, Life and Lies.
Indra.
No comments:
Post a Comment