Wanita
yang lebih cantikku hanya Ibukku. Tentu. Aku sering dipanggil sebagai bedangik
wanita karena tidak jarang aku difitnah tidak sengaja memberi harapan palsu
kepada manusa manusia pathetic yang mengira sopan santun sebagai sebuah harapan
dengan wajahku yang mungkin lebih cantik dari pacar pacar kalian. Aku cantik
dan tidak perlu pengakuan lagi.
Kukira
sebenarnya cinta tidak sesakit itu. Sampai aku mengenalnya. Nya yang entah
keluar dari perut bumi mana. Nya yang tiba tiba datang membawaku liburan sesaat
ke dufan dalam angan, mengajakku berputar manis naik Karousel, mengayunkan
perasaanku seperti Kora Kora lalu meninggalkanku ketika aku di puncak Tornado. Hilang seperti dilontarkan Rollercoaster. Pergi jauh tinggi meninggalkanku yang masih menangis sendirian di puncak wahana.
Sungguh
lucu Tuhan bercanda. Aku sedang bosan bosanya tiduran, kelon dengan gitar. Lalu
sepermili detik sebelum aku lelap tidur siang, ada SMS tanpa nama kontak tidak
sopan bertanya, “Masih kenal aku, nggak?” Prologue pun terjadi.
Ia
adalah dia. Dia yang adalah seorang sahabat untuk yang terduga kekasih yang
pernah menjadi sahabatku. Datang tanpa membawa angin dan kiranya tidak membawa
motivasi yang jelas pun karena aku sudah agaknya lupa siapa namanya. Yang
terduga kekasih tidak terlalu penting namanya.
“Masih.
Ada mau apa?” Kujawab dingin pesan. Sengaja.
Lengang.
Panjang. Lalu HP bergetar lagi.
Bangsat,
benar kata internet internet. Cara mendekati seseorang adalah mendekati
hobinya. Aku adalah Rangga dan dia adalah Cinta hanya saja berbeda kelamin. “Udah
liat film Cerita Pojok Kelas?”
“Kamu
juga baca novelnya?” Ya ampun, tidak semua laki laki suka membaca. Ia sudah
mendapatkan rasa ingin tahuku. Benar saja kenapa wanita lebih memillih lelaki
badboy. Lelaki badboy lebih misterius untuk ditelusuri, bukan macam self
proclaimed good boy macam Indra yang hanya bisa menyumpahi selera kaum wanita.
Cinta memang berjalan sesuka udelnya.
“Aku
nggak ada temen nonton filmnya nih.”
*******
Kulihat
lelaki dengan caping memboncengku di atas sepeda jengkinya. Aku tidak sadar aku
sendiri sudah dengan pakaian berjarik, membawa selirang pisang dan kepala
senden di baju putihnya yang bau keringat. Sebuah kesempurnaan bahagia orang
jaman bahuela. Aku nikmati efek dari hallusinogen cinta sesaat ini. Lalu mbak
mbak bioskop dan dia membangunkanku
dari efek narkoba.
Ia
menyemil sisa popcorn di elevator. “Filmnya bagus banget. Aku tadi sampai
nangis tahu kalau cintanya Aldho hanya bisa sah di mata hukum, bukan di mata
tuhan.”
“Eh,”
Aku ngehe, tidak tahu jalan cerita, aku tiba tiba terlalu nyaman, otakku tidak
berfungsi optimal. “Iya iya.”
Aku
masih deg degan. Tidak tahu dengan tubuhku. “Anu, cepat pulang, yuk?”
“Sun
dulu lah. Ahak ahak ahak”
Lalu
kutampar mesra pipinya. Aku mabuk.
Begitulah
bagaimana cinta datang. Entah bagaimana dia pergi.
********
Hari
begitu cepat. Sepulang sekolah aku masih di kelas, melihati layar handphone
yang tidak kunjung bergetar.
“Kamu
nggak pulang, Cin?” Kunti, seorang sahabat menangkap basah aku sedang melihati
daun yang jatuh dari jendela kelas.
“Ah,
anu, belum say.”
“Kamu
OK? Entah kenapa satu minggu ini kamu selalu ‘tersesat’.”
Bagaimana
ia tahu, aku membatin. Atau, benarkah aku tersesat dalam duniaku sendiri?
Mungkinkah aku terlalu lama sendiri dan kedatanganya tiba tiba membuatku semakin
gila sendiri? “Masa sih?”
“Gegara
si dia ya? Aku diem diem ngecek HPmu
tadi. Sengaja. Nggak merasa bersalah sedikitpun.”
“BANGSAT
YA!” Aku memukul keras mata Kunthi hingga kacamatanya pecah.
Kunthi
masih terkekeh dengan hidungnya yang sudah membiru haru karena memar. “Cek deh
twitternya. Pacar orang kok kamu deketin.”
Mendengar
itu, aku terkencing kencing. Lalu tiba tiba aku menangis tanpa sebab. Aku lupa
aku masih bersama Kunti. Aku lari dari kelas, langsung cari angkot, pulang.
Kunti
mencoba mengejar namun apa daya karena kaca matanya rusak ia salah naik angkot
mengejarku.
*******
Aku
melihati timeline twitter. Benar saja. Dia memang mempunyai kekasih lain. Atau
lebih tepatnya dia memang memiliki kekasih. Kata siapa aku kekasihnya? Sedikit
buram. Mata sembab memang susah untuk melihat jernih.
Kekasih,
kenapa?
Kenapa
repot repot kau ajak aku mencari aku yang sudah lama tak bersamaku?
Kenapa
kau repot repot kau ajak aku melihat film roman?
Kenapa,
kekasih?
Aku
merenung. Hari mulai gelap. Aku tidak bisa menangis di kamar, bisa bisa orang
rumah tahu bahwa aku, wanita yang kuat ini telah hancur lebur kokohnya. Hanya
perkara bangsat yang entah dari mana datang membiusku dengan cinta semanis aspartame,
lalu meninggalkanku ketika perasaanku kena kanker.
Sungai
lengang. Aku masih menunggu. Menunggu Bulan terbit di siang hari.
Aku
menangis dan sungai membawa air mata. Aku menangis dan malam menutupi mata. Aku
menangis dan angin membisukan isak.
Karma,
kawan, karma. Begitulah. Aku sering kali membuat orang lain jatuh cinta
kepadaku. Tak sengaja membuat orang lain jatuh cinta. Namun apa daya, cinta
datang lebih terlambat dari datang bulan. Beginilah, aku memang egois. Tidak
mungkin lelaki sesempurna dia tidak ada yang memiliki. Dia adalah lelaki yang
patut diperjuangkan. Tidak mungkin lelaki sesempurna dia mencari wanita. Yang
ada dia diperjuangkan wanita lain mati matian. Dan, kawan, aku kalah start.
Aku
lebih cantik darinya.
Aku
lebih pintar darinya.
Aku
adalah sosok superior dibandingnya.
Namun,
jika cinta mengenal logika, Einstein seharusnya memiliki istri lebih banyak
dari WS Rendra.
Cinta
tidak butuh otak.
Aku
selalu membanggakan aku yang dulu.
Aku
selalu merendahkan lelaki lelaki menyedihkan yang kerap kali memberiku coklat
ketika valentine datang.
Aku
selalu mencibir kaum adam yang tidak tahu diri itu.
Aku
selalu menghina mereka mereka yang tidak sengaja aku remukan hatinya. Yang
tidak sengaja membuat mereka jatuh ke dalam jurang yang sama dalamnya denganku
sekarang.
Namun
kenapa? Kenapa sekarang? Di malam ketika aku menjadi wanita yang kukira menjadi
wanita paling beruntung.
Nonton
film hanyalah hobi. Mungkin saja pacarnya memang tidak terlalu suka nonton
film. Aku saja yang terlalu PD. Wanita yang lebih berhak diajak dolan ketimbang
pacarnya? Omong kosong. Ada jutaan alasan kenapa aku kalah dari dirinya. Aku
KO. Sudah dipingsan di ring. Dikencingi pula. Kalah telak.
Aku sudah merasa menang hanya karena nonton film bersama. Kenyataanya, aku diskakmat. Mereka jangan jangan sudah bertunangan. Mereka sudah merencanakan nama bayi. Mereka sudah mencari tempat bulan madu. Sedangkan aku baru berduaan dalam waktu 120 menit. Bangga? BULLSHIT.
Aku menangis semakin dalam.
Aku
menangis hingga waktu terasa menguburku dalam dalam.
HPku
berdering.
“Selamat
ulang tahun?”
Jam
sudah lewat tengah malam.
Aku
menangis lagi. Kenapa kau masih saja peduli? Kenapa kau masih ingat ulang tahunku?
Lalu,
kudengar samar, ada suara biola dari sungai yang diselimuti hitamnya malam, bermain
lantunan “Selamat Ulang Tahun” kepadaku.
Aku
masih tidak tahu bagaimana cinta bekerja.
Indra.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete