Aku dicaci rindu. Tidak sejauh itu, namun memang jauh. Bukan karena jarak yang membuat jauh,
namun sikapmu padanya. Nya yang ia, lelaki yang sedang tampan tampanya
memelukmu ketika kau sedang lebih cantik daripada biasanya karena aku rindu.
Ada apa dengan kita? Engkau bilang engkau tidak sepergi
itu. Jauh sekali dirimu di sana, hujan datang namun tidak satupun puisi lahir
untukku. Kau cemburu karena aku direbut jarak. Namun, kekasih, jika kita
berbicara agama lagi, betapa aku lebih cemburu terhadap Tuhanmu yang benar
benar kau cintai itu?
Jogja sungguh indah, kekasih. Aku masih saja tidak bisa
naik motor. Ketika kau sedang manis manisnya manja di dalam mobil sedan hitam
bersama lelaki beruntung yang kau sebut teman itu, aku masih dibelai mesra oleh
angin malam yang tidak secantik dirimu.
Di bawah lampu taman yang selalu berpijar malu ketika
malam datang, aku sendirian di bangku Balairung. Sedang dicaci rindu dan menyumpahi
bajingan sepertimu yang tega membuatku cemburu.
Kampus semakin sepi. Menemaniku yang sendiri. Hanya suara
biola yang dulu selalu engkau rindu dari aku dan angin malam minggu yang
menyapu daun daun jatuh yang membuat aku masih sadar waktu.
Dan kali kedua ini aku melihat karya surga dari mata
seorang hawa, di atas sepeda yang sama reyotnya seperti milikku. Hawa yang
datang dari sisi lain kampus. Ia ingin menjabat tanganku dan dengan manisnya
bertanya,
“Kamu Indra yang kemarin bermain biola di sungai kampus
itu, ya?”
Cerita Pojok Kelas mustahil untuk berakhir, kawan.
Indra.
No comments:
Post a Comment