Jogja, atau setidaknya UGM tempatku menjadi mahasiswa,
adalah embodiment dari apa yang mereka bilang bahwa Indonesia adalah negara
yang plural. Kawan, sulit untuk tidak terkesan rasis, manusia tetaplah manusia
apapun yang mengantarkan kemanusiaan itu. Mengkambing hitamkan toleransi,
kemanusiaan seakan menjadi lebih dari satu kemanusiaan. Namun, kemanusiaan mana
yang benar benar memiliki nilai kemanusiaan secara fundamental sampai ke akar
akanya yang, bisa jadi, tidak ditulis di Magna Charta?
Adalah dia yang membuatku menanyakan itu. Mempertanyakan rencana,
tidak berlebihan jika kita sebut candaan, Tuhan. Menjadi seorang yang bolehlah
kalian bilang mengkafirkan diri – menanyakan rencana Tuhan yang kata pemuka pemuka
agama: tertata.
Ia lebih seperti istri untukku. Lebih dari pacar yang
suka manja manja lucu di pundak dan pangkuan pacar – bahkan ranjang jika mereka
salah didikan. Walau tidak ada kontrak yang dicari oleh anak anak SMP yang baru
kemarin sore mimpi basah – status pacaran, hubungan tanpa status kami bisa saja
membuat kelinci musim kawin gagal punya keturunan. Apalah arti ganjal bio
Instagram dan Twitter jika kopi tidak pernah terasa lebih nikmat tanpa dia?
Kawan, bukan tidak ada kontrak. Namun, mustahil
ada kontrak.
Bedangik gendut yang suka membacotkan propaganda anti
cinta beda agama di pojok kelas itu memang tidak berlebihan. Namun, bukankah
Tuhan menyentuh hambanya dengan cara yang berbeda? Tuhan mengetahui apa yang hambanya tidak ketahui.
Harta bisa dicari – cinta beda strata ekonomi bisa dibayar
lunas. Ratusan, ribuan atau bahkan jutaan orang, maaf kata, murtad dan mualaf
setiap harinya karena cinta beda agama. Namun, kawan, sekali kau terlahir
sebagai pribumi dari rahim Ibu yang tidak berdosa, kau akan dikubur dengan dosa
dosa dan pahala pahala, dari entah agama apa kalian dilabeli, di dalam liang lahat
masing masing sebagai pribumi juga.
Di
suatu Sabtu yang dipeluk malam tidak hore itu, aku melihat jernihnya cinta di
dalam gelas kopi hitam. Angin mendesis mengiringi pengamen biola yang ada di
pojok warung kopi – bermain sangat halus dan syahdu namun tidak bisa bermain di
orchestra karena buta partitur. Bukankah Gusti Allah memang membuat hidup
sepahit dan semanis ini?
Lalu, di antara sedapnya alunan biola pengamen, terdengar
lembut suara wanita yang ingin rasa anak anakku kelak mendengarnya dari karya surga yang bisa mereka panggil Ibu,
“Selamat malam, Indra.” Chun Li dengan sepasang mata yang
selalu rendah hati menyapa malam mingguku yang pahit dan manis.
Ye wu shang hao, wo
ai de ren - selamat malam juga, kekasih.
Indra.
No comments:
Post a Comment