Biarkan aku kurus
Biarkan aku dibuat lapar rindu
Agar kelak bisa aku sembunyi di balik ilalang
Agar kelak bisa aku melihatmu mandi di ladang
Biarkan aku dibuat lapar rindu
Agar kelak bisa aku sembunyi di balik ilalang
Agar kelak bisa aku melihatmu mandi di ladang
Kita sudah dewasa – sebagaimana maha di depan siswa. Kita,
setidaknya aku sendiri, mengira kita dituntut, tertuntut untuk menjadi dewasa
oleh waktu yang selalu jual mahal. Bangsat sekali perilaku si nona. Seenaknya
membuat saya tiba tiba tua dan lulus SMA. Ulah siapa lagi yang membuat saya
bahagia diterima di Universitas Gadjah Mada? Saya yakin siapapun yang melakukan
itu adalah orang yang sama membuat kekasih saya menjadi jauh di sana. Jauh dari
saya. Kawan, simak saja saya bercerita. Dari
ruang tunggu stasiun Lempuyangan, 19.55.
Sudah bulat tekad hamba. Sudah bulat sejak belum bisa
naik kendaraan. Untuk sekolah ke Jogja agar bisa jadi orang besar seperti
superstar di berita.
Ada zat yang orang orang panggil Tuhan. Ada yang
menyembahnya. Ada yang selalu skeptis padanya. Saya sendiri bukan domba yang
hilang arah apalagi seorang pelayan Tuhan namun satu yang perlu saya tanyakan:
kenapa Tuhan repot repot membangun megah cinta saya kepada seorang hawa titisan
surga?
Semakin tua umur saya setelah mimpi basah, tekad ke Jogja
menjadi tidak terlalu bulat. Karena saya terpaksa maklum cita cita yang tertata
tidak bisa harmonis dengan cinta.
Di suatu tengah malam ketika saya bersujud – mencoba mengetuk
rumah Tuhan dari gerbang sajadah, saya termenung untuk sia sia mencari jawaban
dua paragraf di atas. Di suatu tengah malam lain ketika saya sudah tinggal
sendirian di Jogja, saya malah semakin rindu kepada semua – keluarga, iman, dan
dia. Lalu saya jungkir balik di kasur hingga lelah, berharap tertidur tanpa
gundah dan gulana yang kerap datang.
Rindu saya memuncak. Saya ingin pulang ke kampung di mana
ada Ibu dan Bapak yang rindu anak pertamanya. Di stasiun Lempuyangan, menunggu
kereta terakhir menuju rumah, saya semakin gila karena tiba tiba saya melihat
sosok hawa yang selalu saya rindukan di kamar kosan sedang duduk cantik membaca
buku tentang ada dan tiada, Being and Nothingness, Jean-Paul Sartre.
“Adinda, ini saya Indra!” Begitu keras terdengar hingga
orang orang risih dibuatnya.
Lalu terang lampu tiba tiba terlihat gemerlapan dari mata
saya hingga badan saya seperti dihempas menuju alam nyata. Aduh, begitu malu
saya. Memanggil wanita yang tidak ada apa apanya jika dibandingkan seorang yang
saya cinta.
Saya duduk seraya mata mata orang yang juga rindu rumah
melihat saya dengan gemasnya– mungkin mengira saya sedikit gila. Jam di
handphone mengatakan sudah 19.55.
Panggilan kereta membuat saya terjaga. Namun, lagi lagi
saya melihat wanita dengan rambut yang terurai sama cantiknya seperti dia.
Ingin kupanggil, namun ia terlanjur membuat saya kecewa dengan menoleh ke kiri –
memperlihatkan bahwa dia bukan dia.
Meninggalkan stasiun Lempuyangan, saya semakin jadi rindu
dan membenci jarak. Jendela kereta
diketuk oleh hujan muda. Terjaga saya karena menikmati siksaan rasa. Rasa pahit
yang tiada kunjung raib. Lelah hamba melacuri rindu gara gara nasib. Semakin
deras hujan menua. Semakin hilang saya dibuat. Semakin pagi malam hari, semakin
cantik nona di benak hamba. Untuk nona yang sedang sendiri di sana, apakah nona
juga sama sama merasa sepi? Hamba di sini menabung hari. Pertemuan kita menjadi
mahal karena nasib.
Lalu, sesampai di Solo, kota yang membuat saya tidak berhenti
jatuh cinta, kepada apapun yang duduk manis di dalamnya, remuk redam harapan
saya. Mengingat yang diharap ada belum pulang dari kota rantauanya yang jauh di
sana.
Nasib.
Indra
Cant handle that feeling too
ReplyDeleteCant handle that feeling too
ReplyDeletenice mas
ReplyDelete