Akhir
Juni tempo hari aku mendapati diriku membaca kelas baruku : XI S2. Dan betapa
remuk redam seluruh harapanku terhadap karir sekolahku ketika melihat teman
teman kelasku. Tuhan, mereka adalah anak anak yang kelebihan energy. Bahkan ada
di antara mereka murid murid yang bisa dibilang harus mendapat perhatian khusus
dari guru, entah itu secara moral atau penyakit batiniah. Dan hatiku semakin
pecah mengingat aku adalah anak yang kualitas nilainya segarda dengan mereka. Maka
siapalah diriku ini untuk protes ?
Senin
berikutnya aku berat hati melangkahkan kakiku ke dalam kelas paling pojok
gedung induk yang kondisinya sungguh berdebu. Kelasku begitu menyedihkan
lokasinya. Jauh di lorong dilupakan fasilitasnya oleh piha sekolah. Aku kurang
lebih masih belum bisa menerima kenyataan dingin ini. Beberapa wajah sudah
kukenal. Ada yang komrad musik keroncong. Ada seseorang yang berasal dari kelas
X yang sama. Ada atlit atlit beladiri. Blablablablablablabla kembali ke paragraph
satu tentang deskripsi yang kurang lebih begitu.
Dan
betapa tidak bijaknya sekolah memberi kelasku yang tidak bisa dibilang normal ini
wali kelas yang bisa diukur masih sangat muda. Kiranya harusnya kelasku ini
diberi wali kelas yang sangat tua yang kira kira bentakanya bisa mengendalikan
keributan kami -yang mengalahkan keributan 1998. Pak Mario adalah wali kelas
paling muda dari seantero sekolah. Aku ragu betul tidak aja aja. Kembali ke pertanyaan
retoris “siapalah aku ini ?”.
Kelasku
kiranya tidak bisa digambarkan dengan satu paragraph. Kuusahakan karena kalian
pasti benar benar ingin tahu betapa hancurnya komposisi kelasku. Tidak terlalu
hancur sih, aku terlalu hiperbolis.
Kami
adalah kelas yang disusun dari kaum kaum yang bisa dibilang komplit. Kelas kami
memiliki banyak pemegang aji di ekstrakulikuler, di antaranya : ketua klub
bahasa Inggris, tangan kanan pecinta alam, tangan kanan kegiatan paskibra,tangan
kanan rokat rokris, ketua PMR dan, ya ampun, ketua OSIS. Atlit pembawa nama
kota kami ke ajang provinsi bahkan ada 2 atau 3. Ada dua anggota keroncong
sekolah, pemain gitar yang sekarang murtad instrument menjadi biola dan pemain
gitar kecil cak. Mulai bagian ini kurasa akan agak sedikit memburuk, pertama
ada mereka mereka yang doyan sekali tidur di kelas. Ada juga yang memiliki
kelain neurolis yang ditangani tanpa kaedah para ahli pandaedogik sehingga
jiwanya kurang lebih agak goyah. Jangan lupakan mereka yang suka mengikuti
mangkir mangkir pada jam jam yang gurunya membosankan minta ampun. Tidak,
semembosankanya guru yang mengajar aku tidak cukup jantan untuk pergi dari
kelas. Apakah aku sudah bilang aku adalah laki laki termuda? Atau yang paling
parah paguyuban insan yang suka buang gas sesuka udel. Kami adalah contoh asli bahwa masyarakat lebih
suka mencari cari keburukan suatu individu karena kelas kami selalu dicap biang kerok
padahal dalam hal menyumbang prestasi kelas kami adalah donatur aktif.
Ah, masyarakat. Kami adalah pencerminan gap gap yang ada.
Kenakalan
kami mungkin tidak seekstrem yang sering digambarkan di sinetron sinetron yang
jauh lebih amoral dari kami. Selain kegiatan harian yang sudah sudah ada di belahan
bumi lain macam sekedar mencontek, membawa hape ketika ujian umum, tidur dalam
kelas, colut dan membolos pada hari hari pulang pagi, kelas kami kiranya jauh
di atas rata rata kenakalanya dari rata rata seluruh IPS di Indonesia.Kenakalan kami jika kutulis mungkin akan sangat tebal. Mungkin jika dibukukan saking tebalnya bisa dipakai sebagai kitab aliran sesat baru.
Tentu
setelah membaca deskripsi yang kurang lebih seperti ini yang agaknya aku
sedikit lebih lebihkan kalian harusnya tahu goncangan kultur yang aku alami
waktu aku pertama memasuki kelas. Tentu aku tidak bohong, aku tidak mendaftar
menjadi anggota dewan. Pada hari pertama saja aku sudah disuguhi meja tepat di
depan meja guru dan aku duduk sendirian. Tentu kami mengalami penyakit moral di
mana duduk di kursi meja di depan meja guru, akan berdampak terhadap kenyamanan
yang akan berkurang sekian persen.
Kurang
lebih aku masih tidak bisa menerima kenyataan ini selama tiga minggu. Tentu, siapa
yang akan betah setiap hari payudaranya dicubit sampai merah atau bahkan
celananya dibakar dengan korek api sampai benar benar bolong gosong terbakar
atau parahnya dihujat guru seantero sekolah. Iya, tiga minggu.
Pada
minggu ke tiga, jika tidak salah hari Jumat. Aku mengetahui apa yang dimiliki
anak IPS dan, kebanyakan, anak IPA tidak. Aku menjadi tahu kenapa tuhan
memasukanku di sini. Di kelas yang kelakuanya maha rusak ini, aku mempelajari
apa yang selama ini tidak diajari kurikulum kurikulum. Jikalau aku masuk ke dalam jurusan IPA mungkin
aku akan tetap menjadi individu yang egois dan tidak bisa adaptasi, sehingga
aku akan tetap memelihara semua sikap idealis dan pragmatisku. Pada
Jumat itu, komrad kelas kami yang mengalami gangguan neurolis kumat dan semua
kelas geger dibuatnya.
Ia
kumat, seluruh isi perutnya keluar, seluruh meja digunakan sebagai pelampiasan,
aku dibuat merinding karena aku tahu dia tidak sedang kesurupan. Jikalau dia
kesurupan mungkin aku bisa membantu tapi tidak ada roh nakal yang mengusik
kelas. Maka betapa ngerinya bahwa kekalutan kelas ditimbulkan roh yang tidak
tenang tetapi masih hidup.
Dan semua padangan dan hipotesis
dan seluruh suudzonku tentang kelas ini pecah. Mereka bukanlah anak yang plain
nakal. Mereka
adalah anak yang memliki solidaritas tinggi dan kreatif hanya saja sekolah
memang bukan tempat untuk mereka sehingga di mata masyarakat mereka hanyalah
pemuda yang menyiakan masa mudanya. Ketua kelas kami langsung memegang
kepalanya yang menggeram geram seperti meminta sesaji. Pucuk si tukang tidur
langsung menyingkirkan semua meja yang sekiranya akan fatal jika kekalutan ini
berlanjut lebih lama. Nicko si brewokan tanpa komando langsung mencengkeram
badanya yang menggelinjang. Siswa siswi lainya mencari guru guru yang sekiranya
ahli spritiual dan wali kelasku yang akhirnya datang terlambat. Aku dan
beberapa siswa sisanya hanya bisa menyingkirkan semua tas yang sekiranya jika
dibiarkan di tempat akan berbau tengik gara gara muntah. Pada waktu itu aku
rasakan harmoni yang belum pernah aku rasakan seriwayat hidup hidupku. Maka, ah Tuhan,
terimakasih kau tidak membuat nilaiku cukup tinggi agar aku bisa belajar
sesuatu yang tidak bisa didapat dari sekedar menghitung dan mencatat dan menghapal
dan blablablablabla yang selama ini aku prioritaskan.
Aku
merasa berdosa selama ini tidak mensyukuri kelas ini. Rencana tuhan memang maha
sempurna.
************
Nama
nama kelas dan singkatan singkatan kelas yang sedikit alay memang sekarang
adalah fenomena yang sudah menjamur di masyarakat. Kelas kami pada umur satu
bulan belum memilikinya. Kami berunding. Dan aku juga mencoba sedikit nakal dalam
hal ini karena aku tidak ingin terbayang terus rasa kecewa tidak bisa masuk
IPA. Aku masukan segala imajinasi dan kiranya hal hal yang sedikit nakal yang otak ini bisa hasilkan. Aku
senang aku sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan. Aku tidak bisa terus terusan menjadi singa jika sekarang
sudah di lautan bersama ikan ikan lainya.
Dan
inilah awal dari lahirnya kelas para protagonis SMA ini. Setting cerita cerita
yang bukan sudah sudah. Kami para komrad IPS. Kami berbeda.
…..Tetek Soda
…..Teman Teman Kompak
Sosial Dua
Indra.
No comments:
Post a Comment