Memang
mereka berbeda agama. Bukan hanya Aldho dan Bunga yang memiliki cinta yang
berakhir tragis. Tapi memang cinta milik Aldho dan Bunga adalah yang paling
tragis. Tapi bukan hanya mereka yang berakhir dengan tangis.
Roy dan
Winda bertemu di musim panas di bulan Juli. Bukan, kami hidup di Indonesia,
kami tidak menganut empat musim, musim panas adalah metaphora. Kenapa musim
panas ? Mereka mengenal perbedaan anutan sejak awal, tetapi masa bodohlah.
Sungguh optimis bagai musim panas.
Kiranya
ini tidak begitu tragis. Ini hanyalah kisah klasik friendzone. Kehancuran
sepasang sahabat pria wanita karena si wanita terlalu lelah menunggu yang
berakhir si wanita punya pacar sendiri bleh bleh bleh. Atau mungkin begitulah
garis besarnya. Tangis sudah menguap sebelum mengalir lembut di pipi mereka
sehingga memang tidak ada air mata jatuh. Secara teknik betul. Tetapi luka
tidak mengembang bersama tangis.
Kisah
ini berawal di musim panas bulan Juli. Memasuki bulan ke dua tahun ajaran baru
memang saat yang pas tebar pesona. Tidak jarang interseksi ada di dalam lokal,
kelas sendiri.
Roy agaknya laki laki tertampan
di kelas. Bukanya rasis tapi jika kalian disuruh memilih antara ras Jawa
Tengah-an yang maha kumal dan pesing dan kotor dan hitam dan bau dan pesing dan
kotor dan dan dan duuarrrr, dengan Cina-Arab dengan ukuran hidung seperti
terkena kanker tetapi sehat walafiat, alis mata yang tebal maha sexy, air wajah
bawaan periang dan apakah aku sudah menyebut dirinya cukup berada dalam hal materialistik
? Dan ya ampun, dia adalah atlit taekwondo, kira kira kalian pilih yang mana ? Jangan dijawab, ini hanya
membuatku semakin minder.
Winda jauh dari cantik. Tapi
apaboleh buat, yang bisa melihat itu mata, bukan cinta. Dan jangan suruh aku
melanjutkan mendeskripsikan dia. Bisa bisa blog ini dibubarkan adanya karena
penulisnya digugat di meja hijau karena pencemaran nama baik. Kiranya
pencemeran nama baik dan pemaparan fakta di abad 21 ini susah dibedakan.
Musim
panas Juli berangsur cukup lama. Roy dan Winda duduk bersebelahan, memprioritaskan
tukar menukar diri mereka dalam hal tugas dan PR sehingga mereka agaknya
dikucilkan kelas, bulan madu ke kantin
bersama, suap suapan, tugas ini itu satu kelompok, tralalala trililili dan
bunga bunga daffodil di taman bunga indah indah indah lainya.
Walau
Roy dan Winda membuat para pasangan angsa agaknya iri, ada satu hal yang jarang
atau tidak pernah lebih tepatnya kami saksikan. Mereka tidak pernah
berboncengan. Roy selalu pulang tepat waktu. Kami bahkan tidak pernah melihat
Roy menaiki sepeda apa, motor apa, mobil apa atau barangkali kuda apa. Dan
heyyyyy, Winda seringkali gonta ganti, dari motor ini, itu, ini itu, (apa aku
sudah bilang laki laki yang mengantarkanya juga berbeda ?) dan yang paling
surprise adalah Yamaha Fixion.
“Itu hanya
kakakku”, bohong Winda. Dengan semua silogisme pernyataan ini, bisa kita tarik
bahwa orang tua Winda memiliki fertilitas setingkat kelinci jika kalau kita
sebut doyan pesta pora terlalu tidak etis atau mungkin mulut Winda sebenarnya
bukan mulut tapi dubur banteng.
Roy
mungkin sedikit tidak peka karena jika dibilang bodoh dan buta bakal
menyinggung dirinya. Masa bodoh gosip ini itu. Roy adalah milik Winda. Winda
adalah milik Roy. Kira kira begitu di otak Roy. Tapi mungkin dia sedikit terbentur di
kepalanya sehingga dia lupa bahwa Roy dan Winda hanyalah sebatas teman.
Kami
semua tidak tahu. Kami tidak tahu kapan matahari akan terbit dari barat. Kami
tidak tahu siapa yang suka diam diam kentut di kelas. Kami tidak tahu siapa yang
mencuri handphone Indra waktu pembangunan gedung induk. Tapi ketidak tahuan
kami yang paling utama adalah kita tidak tahu rasa sebenarnya milik Winda
terhadap Roy. Seringkali Roy hanya melengus dengan hidung gigantiknya. “Boleh
saja kalian fitnah dewi ku ini tetek bengek bau sampah tapi kalian tidak tahu
romansa kita berdua” mungkin begitu maksud Hidungnya.
Tapi
kawan, yang abadi hanyalah kuasa Tuhan. Ketika memasuki bulan yang berakhir
–ber, rasa skeptis Roy makin menggelinjang liar. Dan keparatnya Winda seperti
masa bodoh dengan laki laki cina-arab itu. Ini adalah masa pecah (baca :
break). Ini mungkin adalah hibernasi atau mati suri. Terlalu cepat jika
dikatakan sakaratul maut. Apalagi musim dingin.
*******
Ah,
tanggal 31 Desember. Sudah pasti aku hanya kongko kongko di Rumah, bermain
biola, menangisi dia yang pergi tanpa sempat kuberitahu rasaku sehingga aku
mati sendirian dalam keadaan belum pernah menyatakan cinta pertama yang begitu
berkobarnya bahkan hingga saat ini. STOPPPPP :’(((((( Ulangi.
*******
Ah,
tanggal 31 Desember. Apa yang dilakukan kedua sejoli ketika malam tahun baru ?
IYA ! Mencoba saling menghangati masing masing tubuh di tengah dinginya malam
seribu bintang. Dengan motor bebek dan jaket denim menjadi kuda hitam liar di
ramainya, padatnya kota. Ah, manis sekali. Manis bagai madu. Indah masa muda.
Dan titik klimaksnya adalah jutaan kembang api warna warni maha cantik yang
indahnya tak terperi, lalu diiringi degung bel pertanda ganti tahun. Ah, manis
sekali kawan. Madu.
Begitulah
yang dirasakan Winda di pergantian tahun baru itu. Ketika ia digenggam erat
dilindungi dari dinginya malam, hangat dan aman. Mencari bintang mana yang
paling terang di panggung langit malam. Menjadi anak kecil dalam tubuh remaja.
Saling cubit. Saling rayu. Dan diakhiri dengan kecupan manis di kening, tepat
bel pergantian tahun berdengung. Satu detik yang sangat panjang sekaligus indah
untuk Winda.
Dan
jika kalian cermati, di paragraf atas sama sekali aku tidak menuliskan Roy.
MEMANG KARENA BUKAN ROY LELAKI YANG TEMPO ITU MEMILIKI WINDA DI HATINYA HAHAHAHAHAHAHA.
Hufft. Aku kejam dalam linguistik dan sastra literature.
Ini
adalah sakaratul sesungguhnya. Winda menjauh dari Roy. Roy sudah tidak mau
tahu. Kelas bingung karena revolusi ini. Tidak ada hujan, tidak ada badai,
kelas IPS 2 bagai laskar anak bebek yang salah satu pletonya terlindas motor
entah kemana sekarang ceceran otak dan mayitnya berada. Walau tetap ramai padat
sepadat pantatku, agaknya ada sesuatu yang lebih sepi dari kuburan di sini. Roy entah
duduk di mana yang penting Winda berada jauh darinya. Begitu sepi dan dingin mereka berdua.
*******
HAH !
Kita mendapati Winda mengalami LDR kota dengan si kuda hitam malam tahun baru
itu. Iya, putus dalam dua minggu. Simple. Ini adalah urusan pacar memacar
paling remeh temeh yang pernah kutemui. Bahkan setidaknya adikku yang kelas 6
SD hubunganya bisa berumur sekita 2-3 bulan. Tapi 2 minggu untuk umur SMA ? Sudah kubilang,
cinta pada pandangan pertama itu bukan cinta tetapi hanya nafsu belaka.
Sampah. Busuk tak terkira busuknya.
*******
Akhir Januari
itu, aku, Zeni dan Intan menginterogasi Winda bagai hakim memberi keputusan
mati kepada defendant di kelas. Kenapa kami ? Karena kami paling melankolis dan
lowong waktunya.
“Oh,
nyesel ?”, aku beretoris.
Winda
bungkam. Tentu. Pertanyaan retoris memang tidak untuk dijawab. Jika ia jawab
malah kudamprat.
“Kalo
udah punya pacar gitu sahabat dilupain.” Intan menyambung. Walau matanya
setengah ngantuk tapi untuk Winda itu sudah cukup menghunus hatinya yang pecah
berantakan karena putus hubungan dengan si kuda tadi.
Dengan
alay khasnya, Zeni menyambung “eH, t4Pi KAN r0y 3m4n6 cUm4 54H4b4T. 1y4 ng6ak
w1n ?”. Tentu dengan gaya yang membakar sabar itu, Winda semakin muntab dan
murka.
“Lho,
kok kalian gitu sih seakan aku pernah suka Roy. Aku cuma simpati sama dia.”
Kami semua berak di celana mendengar pengakuan Winda yang membangungkan jin jin
penunggu sekolah. Angin diam menyimak pengakuan ini. Burung burung sepi. Pohon
mlinjo samping gedung tumbang. Tandon air meledak ledak. Kaca kaca pecah. Foto
Bapak SBY dan Budiono berubah ekspresi. Dan Roy yang kala itu sedang main capsa
di pojok kelas dengan Reyner, Dedy, Gea mendengar dengan jelas. Musim dingin
tiba.
*******
Kawan,
teriris hatiku melihat kontras musim panas 7 bulan lalu dengan musim dingin yang
berlangsung agaknya sampai sekarang. Walau dulu kami benci, tapi kami
merindukan canda tawa mereka seperti anak TK itu. Jarang sekali atau bahkan
tidak pernah lagi aku melihat Roy tertawa sampai hidungnya merah dengan Winda.
Bukan, aku tidak simpati pada Winda.
Kawan,
Roy adalah komrad cinta sejati. Ia mafhum betul cintanya nyata. Ketika kami
menggosipi Winda ia hanya melengos optimis. Kawan, jika kalian merasa berkorban untuk cinta
kalian, cinta kalian itu bukan cinta. Roy adalah contoh nyata cinta
itu tidak perlu berkorban. Atau lebih tepatnya Roy tidak merasa berkorban.
Itulah arti cinta sejati yang kudapat darinya.
Cinta sejati bukan
berarti dibalas dan diberi cinta sejati. Dan kalian harus bisa membedakan saat
kapan ia memberimu cinta dan saat kapan ia memberimu simpati yang sedikit
lebih. Susah memang, tapi begitulah cinta berlaku atau setidaknya
yang selama ini aku temui adanya. Sampai sekarang aku juga masih bingung cara
kerja cinta.
Roy
telah kehilangan musim panasnya. Sekarang lengosanya dingin dan pesimis. Aku
dulu tidak bisa mebayangkan hidung jenakanya itu bisa membuat bulu kudukku
merinding. Alis tebalnya menantang lantang. Air mukanya dingin.
Musim
dingin sudah datang.
Indra.
No comments:
Post a Comment