Friday, January 23, 2015

Bob, si Pengedar Ganja



            Tengah malam ketika pelacur pelacur dikejar yang berwenang mengejar, ketika jangkrik jangkrik, denotasi dan konotasi, berkeliaran di lingkungan pengap Desa Kecil Sekali, kulihat manusia hitam, bukan kulitnya tapi pakaianya, dikejar manusia manusia muntab berobor obor tanganya dan berapi api matanya. Aku tak peduli, aku tetap saja menyeruput kopi di bawah tenda wedangan. Rehab dari hidup.
            Ada manusia pembawa karung yang mungkin berisi sampah, lari terbirit birit mencari tempat sembunyi. Apa daya Desa Kecil Sekali adalah desa yang tidak akan bisa dipetakan tata letaknya bahkan oleh Colombus sekalipun. Akhir cerita, lelaki pembawa karung tadi, sebut saja Bob, tertangkap dengan basah kuyup karena kubangan air di jalanan Desa Kecil Sekali tidak jauh berbeda dengan palung marina. Namun, puji tuhan, dalam hati Bob, karung tadi selamat dari percikan air.
            Naas, warga sudah datang dengan nafsu amarah mereka. Khas manusia manusia Indonesia yang suka menjadi vigilante, atau bahasa awamnya, hakim swadana. Barisan depan tampak seperti orc orc gahar dalam buku J.R.R Tolkien, dengan garpu jerami khas tahun 1700an. Di belakangnya ada manusia slinger dari film medieval tahun 1800an, membawa batu batu siap lempar, membuat kepala nyeri hanya dengan melihatnya. Di barisan paling belakang ada gerombolan manusia bak penyihir dan api yang menyala nyala di tanganya, hanya saja ini obor.
            Bob sudah keluar dari palung desa, namun apadaya, badan sudah menggigil dingin dan otot tak kuasa menggerakan badan. Lalu salah satu manusia raksasa tadi menginjak perut Bob.
            “Bangsat! Apa apaan kau? Ganja? Wajahmu seperti wajah bajingan tak pernah ibadah!”
            “Asu buntung! Mau kau rusak lagi moral bangsa yang sudah rusak ini?”
            “Kontol kobong! Bajingan! Anjeng! Soal drill sosiologi! Tai anjing!”
            Dan makian terus berlanjut hingga wajah Bob tidak bisa dianggap wajah manusia. Mengerikan bukan main.
            Ketika perkusi badan si pengedar ganja dan kaki warga sedang bergemuruh liar, salah satu obor warga membakar karung kering tadi di luar sepengetahuan mereka. Tumpukan cannabis membara merah. Asap putih meledak dalam sunyi. Menyeruak jalanan desa yang becek. Orang orang terkencing kencing meninggalkan mayat pengedar ganja tadi sendirian di tengah kobaran daun ganja satu karung. Maka, malam di Desa Kecil Sekali itu, berlalu sangat happy. Termasuk aku yang teler dalam tenda wedangan. Menghirup berlinting linting kebahagiaan gratis.