Wednesday, June 17, 2015

Edisi Ramadhan - Demi Waktu


Demi waktu……
            Tempo dulu, Indra kecil sedang semangat semangatnya menyusuri jalanan kampong dengan sepeda wimcycle keluaran tahun 2000. Walau gempal, ia lincah menghindari tai tai ayam yang bertebaran. Kepik kepik merah kuning masih betah bertebangan di sepoi sepoi udara sore ba’da Ashar. Bapak bapak yang tidak betah di rumah bertemu istri, masih dengan seragam seragam kantor masing masing, kongka kongko di warung kopi, main catur dan ngobrol cerdas tentang politik. Kucing kucing yang krisis identitas sedang kawin dengan gaya anjing di belakang semak semak. Anak anak kecil penuh bedak berbondong bondong ke Masjid kampong. Indra kecil sungguh bersemangat, walau ia tidak diantar oleh orang tua seperti anak anak lainya, ia semangat sekali untuk masuk les mengaji pertama kali, walau terbilang umurnya agak telat belajar mengaji.

            Ustadz Amin, guru mengaji yang air mukanya seadem Kak Seto TVRI, menanyai Indra kecil, “Dek Indra sudah juz berapa?”
            Indra tanpa rasa malu menjawab, “Belum bisa mengaji, pak!”
            Ustadz Amin termenung. Tentu, walau tempat les mengaji itu dipenuhi bocah bocah cengengesan tapi kebanyakan mereka yang sudah kelas 2 SD paling tidak sudah baca Al Quran lancar.
            Ustadz Amin membimbing privat Indra dengan pelan pelan, bersama gerombolan Iqra’ 1 – anak anak TK yang masih menangis jika disalahkan perkara membedakan huruf Ta’, Sa’ dan Na. Ustadz Amin kaget dengan kecepatan Indra kecil dalam belajar mengenal huruf hijaiyah. Baru setengah jam, Indra sudah sampai huruf Ghain. Lancar. Mulus seperti pantat bayi.
            Namun, di tengah kekaguman Ustadz Amin, ia jadi lebih kaget karena Indra bertanya,
            “Ustadz, saya boleh tanya?”
            “Ada apa, anakku?”
            “Tapi janji, saya jangan ditampar.”
            Ustadz terkekeh, “Tak mungkinlah. Adek pikir ini tempat apa?”
            “Ustadz, kenapa Al Quran susah susah ditulis dengan bahasa Arab? Maksudku, aku belajar kitab lain dan tidak usah repot repot belajar cara membaca huruf hijaiyah karena sudah ada bahasa Indonesianya.” Indra menutup buku Iqra’, “Apakah belajar di TPA benar benar mengajarkan anak anak Al Quran, ustadz? Mana bisa aku belajar artinya. Mereka yang berumur SMP apakah juga hanya membaca huruf arabnya?”
            Ustadz tersenyum. Jarang sekali ia bertemu anak didik yang banyak tanya. Anak anak didiknya selama ini hanya sekedar bisa mengaji, manut tanpa banyak interupsi. Anak didiknya yang baru ini sudah berani mendebat topik yang cukup berat. Ia mengelus kepala cepak Indra dengan rasa iba. “Dek Indra jago bahasa Inggris?”
            “Lumayan, ustadz.”
            “Bahasa Indonesianya house itu apa?”
            “Rumah, pak ustadz.”
            Ustadz Amin tersenyum melihat kemampuan linguistik anak kelas 4 SD ini, “Kalau bahasa Indonesianya home itu apa?”
            Indra berpikir sejenak, “Juga rumah, pak ustadz.”
            “Katanya rumah tadi house….”
            Indra memutar otak. Mata setengah ngantuknya semakin sipit.
            Ustadz terkekeh, “Begitulah bahasa, dek Indra. Home memang bisa diartikan rumah, tapi jika dek Indra belajar bahasa Inggris lebih dalam, home itu artinya secara kasar tempat tinggal. Namun, di sekolah dek Indra diajarkan home itu rumah.”
            Indra memicingkan mata meremnya, “Lalu, apa hubunganya dengan pertanyaanku tadi, pak?”
            “Itu tadi bahasa Inggris dasar. Bagaimana jika kitab suci diperlakukan seperti itu? Ketahuilah nak Indra, bahasa ini sejatinya tidak bisa diartikan secara penuh, hanya diartikan dengan makna yang paling dekat.”
            “Jadi, kita harus belajar bahasa Arab agar bisa mempelajari Al Quran dengan bahasa aslinya? Untuk menjaga keaslian bahasanya?”
            Ustadz tersenyum lebar, “Cerdas sekali!”
            Indra lalu menjawil Ustadz Amin, “Pak Ustadz, sehabis TPA saya boleh diajari cara shalat?”
********
           
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian……
            Sore itu, Indra tidak langsung pulang. Memang ia sudah ijin ingin ikut shalat Maghrib berjamaah. Indra kecil diajari oleh Ustadz Amin dasar dasar shalat. Walau belum begitu lancar dan cukup memalukan untuk anak SD, ia sudah diberi instruksi yang cukup jelas. Ikuti saja gerakan yang lain. Baca bacaan yang tadi sudah diajarkan sesuai urutan shalat. Di rakaat ke2 jangan lupa duduk tahiyat awal. Dan jangan lupa, ketika imam shalat selesai membaca Al Fatihah, jawablah dengan amin.
            “Amin? Nama bapak?”
            Ustadz sabar menjawab, “Amin itu bisa diartikan ‘semoga dikabulkan’.”
            Lalu adzan Maghrib berkumandang. Muadzin setengah baya menyeru dengan lantang, tegas namun merdu. Anak anak yang tadi masih jegegesan gojek langsung masuk rumah masing masing, seketika sepi. Kucing yang tadi kawin tidak tahu tempat hilang suaranya. Kepik kepik langsung hinggap di semak semak, khusyuk menyimak adzan. Bapak bapak yang tidak bahagia tadi langsung menyeruput habis kopi mereka dan bergegas menuju masjid kampung. Indra terkesima akan dahsyatnya adzan Maghrib. Dalam hati, Indra merasa iri terhadap mereka yang sejak kecil sudah diajarkan agama Islam.
            Benar, kawan. Sesungguhnya, manusia itu benar benar dalam kerugian. Dan Indra mafhum betapa rugi dirinya selama ini.
            Imamnya adalah Bapak Azhari, ia lebih tua dari Pak Amin. Mukanya jauh dari Kak Seto TVRI. Ia lebih seperti Pak Raden namun versi setelah kalah judi bola. Walau sama sama dari satu stasiun televisi, namun jenggot Pak Azhari sungguh memancarkan wibawa yang tidak main main gagahnya yang tidak dimiliki Kak Seto.
            Pak Azhari merapikan saf shalat. Sontak para jamaah yang sudah menggerombol di dalam masjid menjawab “Samina wa athagna”. Indra yang tidak tahu apa apa, ikut ikut saja.
            Ketika Pak Azhari bertabiraktul ikhram, bergetar seluruh raga Indra. Allahu akbar.
            Pak Azhari masuk Al Fatihah. Ketika basmallah, lantunan tegas nan merdunya mulai memenuhi ruang shalat. Indra susah payah menjaga kekhusyukan seperti yang sudah diwelingkan Pak Amir tadi. Indra mengigit bibir bawahnya.
            …..Wallad Dhaaaliin.
            Indra mencoba menggerakan bibirnya yang gegabah, namun Indra sudah terlanjur lunglai. Gema “Aaaaaamiiiiiinnnn” oleh para jamaah membuat jiwa Indra yang kotor bergetar. Indra tercengang. Sekuat tenaga yang masih ada Indra menjaga agar ia tidak rubuh, ia ingin menyelesaikan shalatnya. Terdengar samar sedu anak SD yang baru saja mengenal agama.
            Ketika salam diucapkan, Indra hanya bisa termenung. Indra langsung sujud lagi setelah bersalaman dengan Pak Amin di sebelahnya. Indra menutupi air matanya yang jatuh tidak tahu izin. Lalu, Indra kecil langsung pulang, mengambil sepeda berkaratnya, namun tidak dinaiki sepeda itu – ia tidak kuat. Pak Amin dari belakang melihatnya, tersenyum dan mendoakan semoga anak kecil yang malang itu cepat disentuh hatinya.
            Kepik kepik seakan menjadi jangkrik. Suara meong kucing kawin berubah menjadi orek orek kodok. Ada satu dua kuntilanak berkelabat. Ada pula jenglot berkeliaran. Indra menyusuri malam sendirian, anak kecil gempal dengan mata setengah ngantuk itu menuntun sepeda reyotnya.
            Walau raganya masih getir, dalam hati, Indra bersaksi tegas,
            Aku bersaksi, tiada tuhan selain Allah
            Dan aku bersaksi, Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
*********

…..kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

            ”Ampun, sudah ada iklan sirup Tarzan?” Indra yang sudah beranjak remaja terbelalak melihat layar TV. Indra menyimpul senyum, selamat datang Bulan Ramadhan.


Indra.

Thursday, June 4, 2015

Puisi Akhir Sekolah

Hilangkah?

Cinta yang kutulis dalam buku
Cinta yang kutitipkan pada kembang sepatu
Cinta yang kubisikan kepada rumput yang malu
Cinta yang melirik di setiap nyanyiku
Cinta yang menyelip di setiap aku melagu
Cinta yang gugur saat daun ikut jatuh
Cinta yang benar benar membuatku kelabu
Cinta yang selalu aku puisikan ketika aku merindu
Cinta yang sengaja diam kusimpan dalam kalbu
Adakah yang sudah kau temu?



Indra