Saturday, October 11, 2014

Soliloquy Lelaki Romantis



                Siang ini hangat. Tak basah seperti Jumat. Matahari terik, tapi hangat. Aku masih berpeluhkan asam garam. Aku menuju sungai lethek jauh di sana, menyuapi Rahwanaku agar tak muntab. Bersama harmonika dan biola. Kekasih kekasihku. Metafora kekasihku. Di sana, aku mak bendunduk dibedil peluru suci jauh dari kayangan. Aku terbang melayang melewati lumut lumut dinding sungai. Menyibak jemuran jemuran sprei rumah warga. Melangkahi layangan yang sedang berseteru. Hingga akhirnya aku kembali ke bibir sungai tadi, melesat loncat dari dasar kali. Sendirian. Telanjang dari lainya. Hanya sendiri, bersama aku, harmonika dan biola. Tak sadar kekasihku yang dulu pernah aku cintai dan mungkin saja sekarang masih, juga telanjang duduk di sampingku. Aku menangis.
                “Sudah?” Aih, suaranya tak pernah bosan kudengar.
                “Apanya?” Jujur aku juga lupa apanya.

Friday, October 3, 2014

Basah.



                Itil.  Dingin dan tegang seluruh ujung bulu kakiku. Tegang terakhir yang setegang ini adalah tegang ayahku ketika aku dislundupkanya dari surga di kamar pengantin. Soal bahasa Jawa tak pernah sebasah ini. Seluruh lembar jawab berlendir lendir susah. Aku dan abon abon paningset.
                Kawan, aku benar terbuka dari kain dan bulu. Jumat ini aku basah. Dalam raga dan jiwa. Celana dan dalam celana, konotasi dan denotasi.