Sunday, June 16, 2019

Gadis Manis Buah Mangga dan Bekas Luka di Bawah Jaket Lengan Panjang


            Ada harum manis, seperti pemen, pada dirinya. Aroma permen mangga manis menemani kerling mata yang enak dipandang – yang tidak kalah manis tentunya! Kulit kuning bak daging buah mangga golek. Pipi menggemaskan seperti gempal buah mangga apel. Cantiknya bukan main-main! Selama ini saya tidak sadar ia secantik ini hingga sampai saat ini.
            “Pernahkah kau berpikir bagaimana rasanya menjadi sawi?” celoteh dari bibir mungilnya selalu lucu untuk didengar namun hanya sedikit yang benar-benar mengerti maksud di belakang pertanyaan yang sering membuat saya terjaga setiap tengah malam.
            “Ndra?” ia mendapati saya melamun.
            “Hmmm?” menggumam adalah reaksi natural manusia kebingungan.
            Ia marah, “berapa kali lagi dirimu melamun? Pulang saja, po?” Ia mengancam.
            “Saya selalu melihat bahwa hubungan romantis manusia dengan sayuran adalah hal yang menarik. Seringkali saya membayangkan saya bercinta dengan wortel. Atau kecambah. Ku tak yakin.”
            “Benar!” ia menyetujui dan disetujui. “Jadi apa sebutannya? Vegetasiophile? Vegetasiseksual? Tidak enak didengar. Apa yang enak dengan sufix -seksual? OH! Sayurseksual?” Ia terbahak. Saya terbahak agak lebih kencang. Menutupi perasaan yang meletup-letup muncul sejak sekian waktu setiap malam memikirkan dirinya.
            Ada jeda yang panjang. Hanya ada suara nyamuk dan motor lewat di depan teras. Saya menikmati lengang yang panjang. Setiap detik lewat tidak ada berhentinya jantung saya berdegup lebih kencang dari standar orang sehat.
            Ia mengejutkan diriku, tangan hangatnya tiba-tiba memegang tangan saya yang sudah dari tadi melewati batas mejanya. “Ndra?”
            Saya kaget. Ia sedikit kaget melihat saya sangat kaget. “Apa?”
            “Apa-nya apa?” ia mencoba menyembunyikan penasarannya. “Dingin tidak sih?”
            Apa yang ingin ia sampaikan?
            Tangannya memegangi tangan orang gempalku. “Dingin, Ndra.”
            “Tidak salah.” Saya menyembunyikan hasrat ingin salah tingkah.
            Saya lengah, tangannya memasuki jaket lengan saya. “Mampir bentar, kakak! Adek dingin!” Namun terlihat di wajahnya ada pertanyaan besar. Ia merasakan ada bekas luka. Seperti luka gores. Lumayan panjang. “Ndra?”
             Aku langsung menarik jaket. “Apa?”
            “Ndra?” ia bertanya lagi. Tidak jelas bertanya apa. Padahal jelas saya tahu apa yang ingin ditanyakan.
            Aku merasa tidak nyaman. Ada rasa takut. “Pulang saja, yuk?” aku menyerah.
            “Oke.” Ia menjawab. Menghargai privasi saya. Saya menjadi merasa bersalah.
            Di malam Jogja yang agak lebih dingin dari biasanya, ia tidak banyak bicara seperti biasanya. Membuat saya berpikir keras, apakah ada yang salah? Tentu ada yang salah! Perjalanan malam itu adalah perjalanan paling panjang sependek 20 tahun saya hidup. Waktu berjalan lebih lama di pikiran saya dengan ia diam.
             Di depan teras kosan, ia bertanya lagi. “Ndra?”
            Saya tidak kuat melihat wajahnya.
            “Helmnya dibuka, Ndra. Sini mampir duduk-duduk di ruang tamu dulu. Laki-laki boleh masuk sampai situ, kok.”
            Saya duduk di kursi karyu. Ia duduk di sebrang meja.
            “Ndra?” oh betapa saya benci sekali dipanggil itu saat ini.
            Ia menunggu. Saya hanya melihat sekitar. Tidak berani menatap mata manisnya.
            “Ya, sudah, jika dirimu tidak mau jujur.” Ia bergegas berdiri, hendak menghantarkanku pulang. Mulut saya masih saja beku.
            Di depan gerbang, jalanan sudah sepi. Jam 10 malam barang kali.
            “Aku menyileti tangan beberapa minggu lalu.” Mulut saya berkata pelan. Namun ia tetap saja kaget bukan main.
            Air wajahnya berubah. Ia tiba-tiba terlihat seperti seorang ibu yang cemas. Kapan terakhir kali saya melihat Ibu? “Kenapa kamu tidak cerita?” ia bertanya. Perasaan khawatir sangat terpancar dari cara ia menarik kain jaketku agar memperlihatkan lukaku.
            Aku hanya melihat lantai. Tidak berani melihat wajahnya lagi.
            Tangannya mengangkat kepalaku, memaksa melihatnya. “Jangan begitu, lagi, ok?”
             “Dwik?” aku memanggil.
            “Iya?”
            Aku mendekatinya dan mendekapnya. Aku merasakan ada harapan hidup muncul lagi dari dada saya yang kerap dingin akhir-akhir ini.
            “Saya sudah ke psikiater. Saya minum beberapa butir merlopam.” Suaranya pecah.
            “Ndra.” Suaranya sangat membuat saya tenang. Ia mengelus punggung saya. Air mata saya jatuh.
            “Saya ingin pulang. Tapi saya rasa saya sudah tidak ada rumah.”
            “Tangiskan saja, Ndra.” Ia berbisik. “Agar lega.”
            “Tapi, tapi,” aku mulai menyerut ingus. Aku sangat rapuh di depan wanita yang akhirnya membuat saya ingat bagaimana indahnya jatuh cinta. “Akhir-akhir ini diriku tidak lagi memikirkan bunuh diri. Sekarang setiap pagi, saya akhirnya sholat Shubuh lagi dan setelah salam aku memikirkan - malam ini pakai baju apa ya? Aduh pakai parfum apa ya? Pergi makan ke mana ya? Saya merasa saya pulang, Dwi. Saya di rumah.”
            “Sst, sst. Sudah sudah” ia menenangkan. “Kamu hari ini capek, kan, setelah motoran mencari wawancara, berapa lagi jarak pulang-pergi ke Kecamatan Turi? Kamu capek, Ndra.” Ia menepukki punggungku lembut hingga tangisanku mereda.
            Aku menarik tubuh. Dua tangan mungilnya saya pegang. Suara pecahku aku coba utuhkan. “Dwi, berlebihan kah jika diriku minta dirimu untuk menemani diriku agak lebih lama lagi?”
Ia terkejut. Tiba-tiba wajahnya memerah, seperti mangga gedong gincu. Ia balas memeluk saya. Sangat erat. Tidak mungkin ia tidak merasakan gemuruh detak jantung saya. Kepalanya ia angkat agar mata kita bertemu. Ia tersenyum, melihati raut muka saya yang terlewat bahagia dan terharu. Tidak perlu kata untuk menjawab pertanyaan saya. Sudah cukup, saya sudah tahu jawabannya.
            Saya tidak ingin waktu berjalan. Sepertinya, hidup yang sempat hampir saya akhiri, layak untuk saya hidupi agak sedikit lebih lama lagi.

Indra.