Wednesday, November 4, 2015

Terlalu Jatuh Cinta Untuk Berpikir Jernih

            “Walau hanya fiksi dan omong kosong, Bandung Bondowoso tidak berpikir dua kali untuk syirik, meminta bantuan laskar jin, untuk membangun megahnya hampir seribu candi di Prambanan sana untuk kekasih yang belum tentu ia berhasil kawini.” Elakku.
            Pakde menepuk jidatnya sampai merah. “Kau tidak akan menyetubuhi saxophone-mu, le. Bagaimana bisa otak yang sebegitu sintingnya yang ada di dalam batok kepalamu itu bisa mengantarkanmu masuk Universitas Gadjah Mada.”

Wednesday, September 23, 2015

Cerita Pojok UGM: Mata yang Rendah Hati

            Jogja, atau setidaknya UGM tempatku menjadi mahasiswa, adalah embodiment dari apa yang mereka bilang bahwa Indonesia adalah negara yang plural. Kawan, sulit untuk tidak terkesan rasis, manusia tetaplah manusia apapun yang mengantarkan kemanusiaan itu. Mengkambing hitamkan toleransi, kemanusiaan seakan menjadi lebih dari satu kemanusiaan. Namun, kemanusiaan mana yang benar benar memiliki nilai kemanusiaan secara fundamental sampai ke akar akanya yang, bisa jadi, tidak ditulis di Magna Charta?

Saturday, August 29, 2015

Cerita Pojok UGM - Lembar Baru

            Aku dicaci rindu. Tidak sejauh itu, namun memang jauh. Bukan karena jarak yang membuat jauh, namun sikapmu padanya. Nya yang ia, lelaki yang sedang tampan tampanya memelukmu ketika kau sedang lebih cantik daripada biasanya karena aku rindu.
            Ada apa dengan kita? Engkau bilang engkau tidak sepergi itu. Jauh sekali dirimu di sana, hujan datang namun tidak satupun puisi lahir untukku. Kau cemburu karena aku direbut jarak. Namun, kekasih, jika kita berbicara agama lagi, betapa aku lebih cemburu terhadap Tuhanmu yang benar benar kau cintai itu?

Thursday, July 9, 2015

SBMPTN, Terimakasih

            Sore tidak pernah semencekam ini. Malam minggu pun tiada apa apanya. Adikku sedang nikmat nikmatnya tidur – aku juga ingin tidur saja. Ibuku tiada tenang. Menuang teh ke gelas saja blepotan. Ayahku, aku yakin, di Jakarta sana sedang tratapen meratapi nasib anaknya yang pertama. Aku, lebih mengerikan dari semua di atas – menulis cerpen.

Thursday, July 2, 2015

Cuplikan Proses Putus Hubungan 2015

            Seorang yang, setidaknya menurutnya, paling menderita batiniah sebumi pertiwi sedang gundah gulana perkara pacarnya yang kesekian itu tidak sengaja mengantar seorang wanita, yang katanya sepupunya, ke mini market. Usut punya usut, entah relevan atau tidak, seorang yang ini sedang mengalami PMS. Cemberut seperti pantat bayi.

Wednesday, June 17, 2015

Edisi Ramadhan - Demi Waktu


Demi waktu……
            Tempo dulu, Indra kecil sedang semangat semangatnya menyusuri jalanan kampong dengan sepeda wimcycle keluaran tahun 2000. Walau gempal, ia lincah menghindari tai tai ayam yang bertebaran. Kepik kepik merah kuning masih betah bertebangan di sepoi sepoi udara sore ba’da Ashar. Bapak bapak yang tidak betah di rumah bertemu istri, masih dengan seragam seragam kantor masing masing, kongka kongko di warung kopi, main catur dan ngobrol cerdas tentang politik. Kucing kucing yang krisis identitas sedang kawin dengan gaya anjing di belakang semak semak. Anak anak kecil penuh bedak berbondong bondong ke Masjid kampong. Indra kecil sungguh bersemangat, walau ia tidak diantar oleh orang tua seperti anak anak lainya, ia semangat sekali untuk masuk les mengaji pertama kali, walau terbilang umurnya agak telat belajar mengaji.

            Ustadz Amin, guru mengaji yang air mukanya seadem Kak Seto TVRI, menanyai Indra kecil, “Dek Indra sudah juz berapa?”
            Indra tanpa rasa malu menjawab, “Belum bisa mengaji, pak!”
            Ustadz Amin termenung. Tentu, walau tempat les mengaji itu dipenuhi bocah bocah cengengesan tapi kebanyakan mereka yang sudah kelas 2 SD paling tidak sudah baca Al Quran lancar.
            Ustadz Amin membimbing privat Indra dengan pelan pelan, bersama gerombolan Iqra’ 1 – anak anak TK yang masih menangis jika disalahkan perkara membedakan huruf Ta’, Sa’ dan Na. Ustadz Amin kaget dengan kecepatan Indra kecil dalam belajar mengenal huruf hijaiyah. Baru setengah jam, Indra sudah sampai huruf Ghain. Lancar. Mulus seperti pantat bayi.
            Namun, di tengah kekaguman Ustadz Amin, ia jadi lebih kaget karena Indra bertanya,
            “Ustadz, saya boleh tanya?”
            “Ada apa, anakku?”
            “Tapi janji, saya jangan ditampar.”
            Ustadz terkekeh, “Tak mungkinlah. Adek pikir ini tempat apa?”
            “Ustadz, kenapa Al Quran susah susah ditulis dengan bahasa Arab? Maksudku, aku belajar kitab lain dan tidak usah repot repot belajar cara membaca huruf hijaiyah karena sudah ada bahasa Indonesianya.” Indra menutup buku Iqra’, “Apakah belajar di TPA benar benar mengajarkan anak anak Al Quran, ustadz? Mana bisa aku belajar artinya. Mereka yang berumur SMP apakah juga hanya membaca huruf arabnya?”
            Ustadz tersenyum. Jarang sekali ia bertemu anak didik yang banyak tanya. Anak anak didiknya selama ini hanya sekedar bisa mengaji, manut tanpa banyak interupsi. Anak didiknya yang baru ini sudah berani mendebat topik yang cukup berat. Ia mengelus kepala cepak Indra dengan rasa iba. “Dek Indra jago bahasa Inggris?”
            “Lumayan, ustadz.”
            “Bahasa Indonesianya house itu apa?”
            “Rumah, pak ustadz.”
            Ustadz Amin tersenyum melihat kemampuan linguistik anak kelas 4 SD ini, “Kalau bahasa Indonesianya home itu apa?”
            Indra berpikir sejenak, “Juga rumah, pak ustadz.”
            “Katanya rumah tadi house….”
            Indra memutar otak. Mata setengah ngantuknya semakin sipit.
            Ustadz terkekeh, “Begitulah bahasa, dek Indra. Home memang bisa diartikan rumah, tapi jika dek Indra belajar bahasa Inggris lebih dalam, home itu artinya secara kasar tempat tinggal. Namun, di sekolah dek Indra diajarkan home itu rumah.”
            Indra memicingkan mata meremnya, “Lalu, apa hubunganya dengan pertanyaanku tadi, pak?”
            “Itu tadi bahasa Inggris dasar. Bagaimana jika kitab suci diperlakukan seperti itu? Ketahuilah nak Indra, bahasa ini sejatinya tidak bisa diartikan secara penuh, hanya diartikan dengan makna yang paling dekat.”
            “Jadi, kita harus belajar bahasa Arab agar bisa mempelajari Al Quran dengan bahasa aslinya? Untuk menjaga keaslian bahasanya?”
            Ustadz tersenyum lebar, “Cerdas sekali!”
            Indra lalu menjawil Ustadz Amin, “Pak Ustadz, sehabis TPA saya boleh diajari cara shalat?”
********
           
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian……
            Sore itu, Indra tidak langsung pulang. Memang ia sudah ijin ingin ikut shalat Maghrib berjamaah. Indra kecil diajari oleh Ustadz Amin dasar dasar shalat. Walau belum begitu lancar dan cukup memalukan untuk anak SD, ia sudah diberi instruksi yang cukup jelas. Ikuti saja gerakan yang lain. Baca bacaan yang tadi sudah diajarkan sesuai urutan shalat. Di rakaat ke2 jangan lupa duduk tahiyat awal. Dan jangan lupa, ketika imam shalat selesai membaca Al Fatihah, jawablah dengan amin.
            “Amin? Nama bapak?”
            Ustadz sabar menjawab, “Amin itu bisa diartikan ‘semoga dikabulkan’.”
            Lalu adzan Maghrib berkumandang. Muadzin setengah baya menyeru dengan lantang, tegas namun merdu. Anak anak yang tadi masih jegegesan gojek langsung masuk rumah masing masing, seketika sepi. Kucing yang tadi kawin tidak tahu tempat hilang suaranya. Kepik kepik langsung hinggap di semak semak, khusyuk menyimak adzan. Bapak bapak yang tidak bahagia tadi langsung menyeruput habis kopi mereka dan bergegas menuju masjid kampung. Indra terkesima akan dahsyatnya adzan Maghrib. Dalam hati, Indra merasa iri terhadap mereka yang sejak kecil sudah diajarkan agama Islam.
            Benar, kawan. Sesungguhnya, manusia itu benar benar dalam kerugian. Dan Indra mafhum betapa rugi dirinya selama ini.
            Imamnya adalah Bapak Azhari, ia lebih tua dari Pak Amin. Mukanya jauh dari Kak Seto TVRI. Ia lebih seperti Pak Raden namun versi setelah kalah judi bola. Walau sama sama dari satu stasiun televisi, namun jenggot Pak Azhari sungguh memancarkan wibawa yang tidak main main gagahnya yang tidak dimiliki Kak Seto.
            Pak Azhari merapikan saf shalat. Sontak para jamaah yang sudah menggerombol di dalam masjid menjawab “Samina wa athagna”. Indra yang tidak tahu apa apa, ikut ikut saja.
            Ketika Pak Azhari bertabiraktul ikhram, bergetar seluruh raga Indra. Allahu akbar.
            Pak Azhari masuk Al Fatihah. Ketika basmallah, lantunan tegas nan merdunya mulai memenuhi ruang shalat. Indra susah payah menjaga kekhusyukan seperti yang sudah diwelingkan Pak Amir tadi. Indra mengigit bibir bawahnya.
            …..Wallad Dhaaaliin.
            Indra mencoba menggerakan bibirnya yang gegabah, namun Indra sudah terlanjur lunglai. Gema “Aaaaaamiiiiiinnnn” oleh para jamaah membuat jiwa Indra yang kotor bergetar. Indra tercengang. Sekuat tenaga yang masih ada Indra menjaga agar ia tidak rubuh, ia ingin menyelesaikan shalatnya. Terdengar samar sedu anak SD yang baru saja mengenal agama.
            Ketika salam diucapkan, Indra hanya bisa termenung. Indra langsung sujud lagi setelah bersalaman dengan Pak Amin di sebelahnya. Indra menutupi air matanya yang jatuh tidak tahu izin. Lalu, Indra kecil langsung pulang, mengambil sepeda berkaratnya, namun tidak dinaiki sepeda itu – ia tidak kuat. Pak Amin dari belakang melihatnya, tersenyum dan mendoakan semoga anak kecil yang malang itu cepat disentuh hatinya.
            Kepik kepik seakan menjadi jangkrik. Suara meong kucing kawin berubah menjadi orek orek kodok. Ada satu dua kuntilanak berkelabat. Ada pula jenglot berkeliaran. Indra menyusuri malam sendirian, anak kecil gempal dengan mata setengah ngantuk itu menuntun sepeda reyotnya.
            Walau raganya masih getir, dalam hati, Indra bersaksi tegas,
            Aku bersaksi, tiada tuhan selain Allah
            Dan aku bersaksi, Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
*********

…..kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

            ”Ampun, sudah ada iklan sirup Tarzan?” Indra yang sudah beranjak remaja terbelalak melihat layar TV. Indra menyimpul senyum, selamat datang Bulan Ramadhan.


Indra.

Thursday, June 4, 2015

Puisi Akhir Sekolah

Hilangkah?

Cinta yang kutulis dalam buku
Cinta yang kutitipkan pada kembang sepatu
Cinta yang kubisikan kepada rumput yang malu
Cinta yang melirik di setiap nyanyiku
Cinta yang menyelip di setiap aku melagu
Cinta yang gugur saat daun ikut jatuh
Cinta yang benar benar membuatku kelabu
Cinta yang selalu aku puisikan ketika aku merindu
Cinta yang sengaja diam kusimpan dalam kalbu
Adakah yang sudah kau temu?



Indra

Saturday, May 30, 2015

Aku yang Sombong

            Rasanya baru kemarin aku dimarahi habis habisan oleh Ibuku karena aku, anak yang lulusan kelas akselerasi, entah bagaimana asal usulnya, mendapat juara 25 dari 30 anak di kelas di kelas SMAnya ini. Mungkin karena tidak semua anak akselerasi pintar. Mungkin karena aku sudah mulai bosan dengan belajar. Atau mungkin juga karena mimpi basah.
            Rasanya baru tadi pagi, premis aku juara 25 ujug ujug menegang seperti pengantin baru menjadi juara 2 kelas. Mungkin karena aku masuk kelas IPS, kelas yang terduga sebagian minoritas masyarakat hinakan jika anaknya masuk ke kelas tersebut kelak. Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan mimpi basah. Mungkin karena anu.

Sunday, March 15, 2015

Biarkan Aku Memelukmu Sekali Lagi

            Wanita yang lebih cantikku hanya Ibukku. Tentu. Aku sering dipanggil sebagai bedangik wanita karena tidak jarang aku difitnah tidak sengaja memberi harapan palsu kepada manusa manusia pathetic yang mengira sopan santun sebagai sebuah harapan dengan wajahku yang mungkin lebih cantik dari pacar pacar kalian. Aku cantik dan tidak perlu pengakuan lagi.
            Kukira sebenarnya cinta tidak sesakit itu. Sampai aku mengenalnya. Nya yang entah keluar dari perut bumi mana. Nya yang tiba tiba datang membawaku liburan sesaat ke dufan dalam angan, mengajakku berputar manis naik Karousel, mengayunkan perasaanku seperti Kora Kora lalu meninggalkanku ketika aku di puncak Tornado. Hilang seperti dilontarkan Rollercoaster. Pergi jauh tinggi meninggalkanku yang masih menangis sendirian di puncak wahana.
            Sungguh lucu Tuhan bercanda. Aku sedang bosan bosanya tiduran, kelon dengan gitar. Lalu sepermili detik sebelum aku lelap tidur siang, ada SMS tanpa nama kontak tidak sopan bertanya, “Masih kenal aku, nggak?” Prologue pun terjadi.

Saturday, February 7, 2015

Sepatu Valentine


                Aku bukan umat yang merayakan Malam Minggu, jadi malam ini aku putuskan untuk mbelayang ke minimarket dekat Desa Kecil Sekali. Dengan kantong beraroma bawang, kuberanikan diri memasuki imperium koleksi barang dagang dengan pendingin ruangan yang maha agung.
                Ranjang belanja sudah berisi kudapan agar aku makin gendut. Karena aku manusia yang ingin banyak tahu, aku melanglang minimarket ke daerah makanan kaum kaum stakhanovis, ke rak bagian coklat. Sejenak aku merinding setelah mendapati di rak coklat ada bayi tanpa busana sesuka udelnya gantung diri. Oh ternyata cupid, oh ternyata sudah masuk bulan Februari, oh ternyata Valentine lagi. Bangsat.
                Aku masih beku dalam kejut. Sesaat kemudian aku disadarkan oleh pukulan keras di pundak lalu aku berontak dan teriak sejadinya, “BUKAN AKU PEMBUNUH BAYINYA.”
                Gatot terbahak, pembawaanya yang tinggi dan tampan membuat mbak mbak staff minimarket terpesona lalu lunglai dan lemas ketika gigi putih gatot bersinar bak bulan purnama Apogee di awal bulan Maret. 

Friday, January 23, 2015

Bob, si Pengedar Ganja



            Tengah malam ketika pelacur pelacur dikejar yang berwenang mengejar, ketika jangkrik jangkrik, denotasi dan konotasi, berkeliaran di lingkungan pengap Desa Kecil Sekali, kulihat manusia hitam, bukan kulitnya tapi pakaianya, dikejar manusia manusia muntab berobor obor tanganya dan berapi api matanya. Aku tak peduli, aku tetap saja menyeruput kopi di bawah tenda wedangan. Rehab dari hidup.
            Ada manusia pembawa karung yang mungkin berisi sampah, lari terbirit birit mencari tempat sembunyi. Apa daya Desa Kecil Sekali adalah desa yang tidak akan bisa dipetakan tata letaknya bahkan oleh Colombus sekalipun. Akhir cerita, lelaki pembawa karung tadi, sebut saja Bob, tertangkap dengan basah kuyup karena kubangan air di jalanan Desa Kecil Sekali tidak jauh berbeda dengan palung marina. Namun, puji tuhan, dalam hati Bob, karung tadi selamat dari percikan air.
            Naas, warga sudah datang dengan nafsu amarah mereka. Khas manusia manusia Indonesia yang suka menjadi vigilante, atau bahasa awamnya, hakim swadana. Barisan depan tampak seperti orc orc gahar dalam buku J.R.R Tolkien, dengan garpu jerami khas tahun 1700an. Di belakangnya ada manusia slinger dari film medieval tahun 1800an, membawa batu batu siap lempar, membuat kepala nyeri hanya dengan melihatnya. Di barisan paling belakang ada gerombolan manusia bak penyihir dan api yang menyala nyala di tanganya, hanya saja ini obor.
            Bob sudah keluar dari palung desa, namun apadaya, badan sudah menggigil dingin dan otot tak kuasa menggerakan badan. Lalu salah satu manusia raksasa tadi menginjak perut Bob.
            “Bangsat! Apa apaan kau? Ganja? Wajahmu seperti wajah bajingan tak pernah ibadah!”
            “Asu buntung! Mau kau rusak lagi moral bangsa yang sudah rusak ini?”
            “Kontol kobong! Bajingan! Anjeng! Soal drill sosiologi! Tai anjing!”
            Dan makian terus berlanjut hingga wajah Bob tidak bisa dianggap wajah manusia. Mengerikan bukan main.
            Ketika perkusi badan si pengedar ganja dan kaki warga sedang bergemuruh liar, salah satu obor warga membakar karung kering tadi di luar sepengetahuan mereka. Tumpukan cannabis membara merah. Asap putih meledak dalam sunyi. Menyeruak jalanan desa yang becek. Orang orang terkencing kencing meninggalkan mayat pengedar ganja tadi sendirian di tengah kobaran daun ganja satu karung. Maka, malam di Desa Kecil Sekali itu, berlalu sangat happy. Termasuk aku yang teler dalam tenda wedangan. Menghirup berlinting linting kebahagiaan gratis.