Wednesday, September 23, 2015

Cerita Pojok UGM: Mata yang Rendah Hati

            Jogja, atau setidaknya UGM tempatku menjadi mahasiswa, adalah embodiment dari apa yang mereka bilang bahwa Indonesia adalah negara yang plural. Kawan, sulit untuk tidak terkesan rasis, manusia tetaplah manusia apapun yang mengantarkan kemanusiaan itu. Mengkambing hitamkan toleransi, kemanusiaan seakan menjadi lebih dari satu kemanusiaan. Namun, kemanusiaan mana yang benar benar memiliki nilai kemanusiaan secara fundamental sampai ke akar akanya yang, bisa jadi, tidak ditulis di Magna Charta?

            Adalah dia yang membuatku menanyakan itu. Mempertanyakan rencana, tidak berlebihan jika kita sebut candaan, Tuhan. Menjadi seorang yang bolehlah kalian bilang mengkafirkan diri – menanyakan rencana Tuhan yang kata pemuka pemuka agama: tertata.
            Ia lebih seperti istri untukku. Lebih dari pacar yang suka manja manja lucu di pundak dan pangkuan pacar – bahkan ranjang jika mereka salah didikan. Walau tidak ada kontrak yang dicari oleh anak anak SMP yang baru kemarin sore mimpi basah – status pacaran, hubungan tanpa status kami bisa saja membuat kelinci musim kawin gagal punya keturunan. Apalah arti ganjal bio Instagram dan Twitter jika kopi tidak pernah terasa lebih nikmat tanpa dia? Kawan, bukan tidak ada kontrak. Namun, mustahil ada kontrak.
            Bedangik gendut yang suka membacotkan propaganda anti cinta beda agama di pojok kelas itu memang tidak berlebihan. Namun, bukankah Tuhan menyentuh hambanya dengan cara yang berbeda? Tuhan mengetahui apa yang hambanya tidak ketahui.
            Harta bisa dicari – cinta beda strata ekonomi bisa dibayar lunas. Ratusan, ribuan atau bahkan jutaan orang, maaf kata, murtad dan mualaf setiap harinya karena cinta beda agama. Namun, kawan, sekali kau terlahir sebagai pribumi dari rahim Ibu yang tidak berdosa, kau akan dikubur dengan dosa dosa dan pahala pahala, dari entah agama apa kalian dilabeli, di dalam liang lahat masing masing sebagai pribumi juga.
            Di suatu Sabtu yang dipeluk malam tidak hore itu, aku melihat jernihnya cinta di dalam gelas kopi hitam. Angin mendesis mengiringi pengamen biola yang ada di pojok warung kopi – bermain sangat halus dan syahdu namun tidak bisa bermain di orchestra karena buta partitur. Bukankah Gusti Allah memang membuat hidup sepahit dan semanis ini?
            Lalu, di antara sedapnya alunan biola pengamen, terdengar lembut suara wanita yang ingin rasa anak anakku kelak mendengarnya dari karya surga yang bisa mereka panggil Ibu,
            “Selamat malam, Indra.” Chun Li dengan sepasang mata yang selalu rendah hati menyapa malam mingguku yang pahit dan manis.
            Ye wu shang hao, wo ai de ren - selamat malam juga, kekasih.


Indra.

No comments:

Post a Comment