Sunday, March 15, 2015

Biarkan Aku Memelukmu Sekali Lagi

            Wanita yang lebih cantikku hanya Ibukku. Tentu. Aku sering dipanggil sebagai bedangik wanita karena tidak jarang aku difitnah tidak sengaja memberi harapan palsu kepada manusa manusia pathetic yang mengira sopan santun sebagai sebuah harapan dengan wajahku yang mungkin lebih cantik dari pacar pacar kalian. Aku cantik dan tidak perlu pengakuan lagi.
            Kukira sebenarnya cinta tidak sesakit itu. Sampai aku mengenalnya. Nya yang entah keluar dari perut bumi mana. Nya yang tiba tiba datang membawaku liburan sesaat ke dufan dalam angan, mengajakku berputar manis naik Karousel, mengayunkan perasaanku seperti Kora Kora lalu meninggalkanku ketika aku di puncak Tornado. Hilang seperti dilontarkan Rollercoaster. Pergi jauh tinggi meninggalkanku yang masih menangis sendirian di puncak wahana.
            Sungguh lucu Tuhan bercanda. Aku sedang bosan bosanya tiduran, kelon dengan gitar. Lalu sepermili detik sebelum aku lelap tidur siang, ada SMS tanpa nama kontak tidak sopan bertanya, “Masih kenal aku, nggak?” Prologue pun terjadi.


            Ia adalah dia. Dia yang adalah seorang sahabat untuk yang terduga kekasih yang pernah menjadi sahabatku. Datang tanpa membawa angin dan kiranya tidak membawa motivasi yang jelas pun karena aku sudah agaknya lupa siapa namanya. Yang terduga kekasih tidak terlalu penting namanya.
            “Masih. Ada mau apa?” Kujawab dingin pesan. Sengaja.
            Lengang. Panjang. Lalu HP bergetar lagi.
            Bangsat, benar kata internet internet. Cara mendekati seseorang adalah mendekati hobinya. Aku adalah Rangga dan dia adalah Cinta hanya saja berbeda kelamin. “Udah liat film Cerita Pojok Kelas?”
            “Kamu juga baca novelnya?” Ya ampun, tidak semua laki laki suka membaca. Ia sudah mendapatkan rasa ingin tahuku. Benar saja kenapa wanita lebih memillih lelaki badboy. Lelaki badboy lebih misterius untuk ditelusuri, bukan macam self proclaimed good boy macam Indra yang hanya bisa menyumpahi selera kaum wanita. Cinta memang berjalan sesuka udelnya.
            “Aku nggak ada temen nonton filmnya nih.”
*******
            Kulihat lelaki dengan caping memboncengku di atas sepeda jengkinya. Aku tidak sadar aku sendiri sudah dengan pakaian berjarik, membawa selirang pisang dan kepala senden di baju putihnya yang bau keringat. Sebuah kesempurnaan bahagia orang jaman bahuela. Aku nikmati efek dari hallusinogen cinta sesaat ini. Lalu mbak mbak bioskop dan dia membangunkanku dari efek narkoba.
            Ia menyemil sisa popcorn di elevator. “Filmnya bagus banget. Aku tadi sampai nangis tahu kalau cintanya Aldho hanya bisa sah di mata hukum, bukan di mata tuhan.”
            “Eh,” Aku ngehe, tidak tahu jalan cerita, aku tiba tiba terlalu nyaman, otakku tidak berfungsi optimal. “Iya iya.”
            Aku masih deg degan. Tidak tahu dengan tubuhku. “Anu, cepat pulang, yuk?”
            “Sun dulu lah. Ahak ahak ahak”
            Lalu kutampar mesra pipinya. Aku mabuk.
            Begitulah bagaimana cinta datang. Entah bagaimana dia pergi.
********
            Hari begitu cepat. Sepulang sekolah aku masih di kelas, melihati layar handphone yang tidak kunjung bergetar.
            “Kamu nggak pulang, Cin?” Kunti, seorang sahabat menangkap basah aku sedang melihati daun yang jatuh dari jendela kelas.
            “Ah, anu, belum say.”
            “Kamu OK? Entah kenapa satu minggu ini kamu selalu ‘tersesat’.”
            Bagaimana ia tahu, aku membatin. Atau, benarkah aku tersesat dalam duniaku sendiri? Mungkinkah aku terlalu lama sendiri dan kedatanganya tiba tiba membuatku semakin gila sendiri? “Masa sih?”
            “Gegara si dia ya? Aku diem diem ngecek HPmu tadi. Sengaja. Nggak merasa bersalah sedikitpun.”
            “BANGSAT YA!” Aku memukul keras mata Kunthi hingga kacamatanya pecah.
            Kunthi masih terkekeh dengan hidungnya yang sudah membiru haru karena memar. “Cek deh twitternya. Pacar orang kok kamu deketin.”
            Mendengar itu, aku terkencing kencing. Lalu tiba tiba aku menangis tanpa sebab. Aku lupa aku masih bersama Kunti. Aku lari dari kelas, langsung cari angkot, pulang.
            Kunti mencoba mengejar namun apa daya karena kaca matanya rusak ia salah naik angkot mengejarku.
*******
            Aku melihati timeline twitter. Benar saja. Dia memang mempunyai kekasih lain. Atau lebih tepatnya dia memang memiliki kekasih. Kata siapa aku kekasihnya? Sedikit buram. Mata sembab memang susah untuk melihat jernih.
            Kekasih, kenapa?
            Kenapa repot repot kau ajak aku mencari aku yang sudah lama tak bersamaku?
            Kenapa kau repot repot kau ajak aku melihat film roman?
            Kenapa, kekasih?
            Aku merenung. Hari mulai gelap. Aku tidak bisa menangis di kamar, bisa bisa orang rumah tahu bahwa aku, wanita yang kuat ini telah hancur lebur kokohnya. Hanya perkara bangsat yang entah dari mana datang membiusku dengan cinta semanis aspartame, lalu meninggalkanku ketika perasaanku kena kanker.
            Sungai lengang. Aku masih menunggu. Menunggu Bulan terbit di siang hari.
            Aku menangis dan sungai membawa air mata. Aku menangis dan malam menutupi mata. Aku menangis dan angin membisukan isak.
            Karma, kawan, karma. Begitulah. Aku sering kali membuat orang lain jatuh cinta kepadaku. Tak sengaja membuat orang lain jatuh cinta. Namun apa daya, cinta datang lebih terlambat dari datang bulan. Beginilah, aku memang egois. Tidak mungkin lelaki sesempurna dia tidak ada yang memiliki. Dia adalah lelaki yang patut diperjuangkan. Tidak mungkin lelaki sesempurna dia mencari wanita. Yang ada dia diperjuangkan wanita lain mati matian. Dan, kawan, aku kalah start.
            Aku lebih cantik darinya.
            Aku lebih pintar darinya.
            Aku adalah sosok superior dibandingnya.
            Namun, jika cinta mengenal logika, Einstein seharusnya memiliki istri lebih banyak dari WS Rendra.
            Cinta tidak butuh otak.
            Aku selalu membanggakan aku yang dulu.
            Aku selalu merendahkan lelaki lelaki menyedihkan yang kerap kali memberiku coklat ketika valentine datang.
            Aku selalu mencibir kaum adam yang tidak tahu diri itu.
            Aku selalu menghina mereka mereka yang tidak sengaja aku remukan hatinya. Yang tidak sengaja membuat mereka jatuh ke dalam jurang yang sama dalamnya denganku sekarang.
            Namun kenapa? Kenapa sekarang? Di malam ketika aku menjadi wanita yang kukira menjadi wanita paling beruntung.
            Nonton film hanyalah hobi. Mungkin saja pacarnya memang tidak terlalu suka nonton film. Aku saja yang terlalu PD. Wanita yang lebih berhak diajak dolan ketimbang pacarnya? Omong kosong. Ada jutaan alasan kenapa aku kalah dari dirinya. Aku KO. Sudah dipingsan di ring. Dikencingi pula. Kalah telak.
            Aku sudah merasa menang hanya karena nonton film bersama. Kenyataanya, aku diskakmat. Mereka jangan jangan sudah bertunangan. Mereka sudah merencanakan nama bayi. Mereka sudah mencari tempat bulan madu. Sedangkan aku baru berduaan dalam waktu 120 menit. Bangga? BULLSHIT.
            Aku menangis semakin dalam.
            Aku menangis hingga waktu terasa menguburku dalam dalam.
            HPku berdering.
            “Selamat ulang tahun?”
            Jam sudah lewat tengah malam.
            Aku menangis lagi. Kenapa kau masih saja peduli? Kenapa kau masih ingat ulang tahunku?
            Lalu, kudengar samar, ada suara biola dari sungai yang diselimuti hitamnya malam, bermain lantunan “Selamat Ulang Tahun” kepadaku.
            Aku masih tidak tahu bagaimana cinta bekerja.



Indra.

1 comment: