Friday, October 3, 2014

Basah.



                Itil.  Dingin dan tegang seluruh ujung bulu kakiku. Tegang terakhir yang setegang ini adalah tegang ayahku ketika aku dislundupkanya dari surga di kamar pengantin. Soal bahasa Jawa tak pernah sebasah ini. Seluruh lembar jawab berlendir lendir susah. Aku dan abon abon paningset.
                Kawan, aku benar terbuka dari kain dan bulu. Jumat ini aku basah. Dalam raga dan jiwa. Celana dan dalam celana, konotasi dan denotasi.

 
                Pun kawan kawan sudah tahu, aku adalah Jawa yang tak mengenal Puntadewa, Cina yang tak pernah bertemu naga. Sedari dulu, sejauh aku memaksa tahu, aku sudah seperti ini. Hanya mengenal cerita nenek moyang tanpa menepak kaki di negeri sana, hanya mengikuti kultur tanpa tahu unggah ungguh. Maka, jangan tanya bagaimana aku dan punyaku dalam soal Bahasa Jawa. Tak pernah 90. Pernah di atas 85, aku tak kuat menahan mukjizat, pingsan.
                UTS Bahasa Jawa, singkat cerita aku ingin BAB. Ketika aku menulis lekak lekuk huruf N, aksara Jawa tanpa tahu menahu aturan. Perutku memberontak, ingin rasa aku meronta bersumpah serapah. Apa daya guru memandang, aku hanya bisa melakoni nelangsa bersama sunyi. Sepi dalam ributnya kawan mencari bantuan contekan, mematahkan pensil pensil 2B bersama peluh yang keluar tanpa izin.
                “Indra, kamu kenapa?” Guru yang tak kukenal namanya – peduli apa aku dengan nama di saat genting ini – sok asik.
                “Anu, Pak.”  Ngeeh. “Saya, tadi pagi.” Iaaaiiihhh. ”BELUM BE A BE!” Teriaklah diriku, tak peduli teguran guru selanjutnya.
                “MAU IJIN AJA DITAHAN TAHAN.” Guru sok asik tadi membalas sok teriak.
                “SAYAAA BELUM SELESAI PAK!” Ini adalah dilema terbesar hidupku setelah memilih antara mie ayam atau bakso ketika ulang tahunku yang ke 16.
                Tanpa komando, aku memecah ketenangan. Berontak kakiku. Sepatu aku lempar entah kemana. Aku lari sekuat jantung dan badanku yang keringatan pesing. Gedebag gedebug gedung sekolah dibuatnya. Aku menuruni tangga menuju toilet seperti layang layang bermanuver memotong lawanya. Ketika aku menukik menuju toilet, semua keluar tepat pada waktunya. Seperti bom di film film action.
                Aku jongkok. Aku meneriaki bumi pertiwi. Aku memegangi ciduk. Aku patahkan ganganggnya. Hingga akhirnya peluh dan asaku hilang bersama tletek tletek hangat. Indah tak terperi. Seperti jatuh cinta pertama kali. Seperti terang bulan coklat keju bersama susu segar frambose.
                Kenikmatan tadi hilang dalam mili detik. Menyadari sedari tadi celanaku tidak aku gantung. Melihat celana pramuka super lebar hanyut bersama air kamar mandi. Kakiku lunglai. Aku pucat pasi. Saat itu juga, aku terkulai lemas.
                Lorong gedung sekolah tidak pernah sepanjang ini. Bulu kaki mulai mengejang kedinginan. Setiap aku langkahkan kaki, aku merasa hina, mengenakan celana ini. Bukan, bukan celana basah. Celana ketat, legging yang selama ini aku kenakan di balik celana celana lainya. Jangan banyak tanya.
                “Basah pak.”
                Guru sok asik tadi terkekeh menghina.
                Aku mengerjakan semuanya tanpa peduli nilai Bahasa Jawa. Tanpa peduli teriak tawa dari teman teman. Tanpa peduli sorot mata adik kelas dari segala juru mata memandang. Tak peduli. Siapa yang terkekeh, peduliku tak akan ada ganjaranya. Seperti aku peduli pertama kali. Seperti saat aku peduli untuk yang pertama dan yang terakhir. Peduliku tak selamatkanku dan basah tangisku.

Indra.
BTW THANKS BUAT IMAM PANAS BUAT INSPIRASI PARAGRAF 1NYA. AKU LALA.

No comments:

Post a Comment