Saturday, September 17, 2016

Lempuyangan, I'm In Love



Biarkan aku kurus
Biarkan aku dibuat lapar rindu
Agar kelak bisa aku sembunyi di balik ilalang
Agar kelak bisa aku melihatmu mandi di ladang
            Kita sudah dewasa – sebagaimana maha di depan siswa. Kita, setidaknya aku sendiri, mengira kita dituntut, tertuntut untuk menjadi dewasa oleh waktu yang selalu jual mahal. Bangsat sekali perilaku si nona. Seenaknya membuat saya tiba tiba tua dan lulus SMA. Ulah siapa lagi yang membuat saya bahagia diterima di Universitas Gadjah Mada? Saya yakin siapapun yang melakukan itu adalah orang yang sama membuat kekasih saya menjadi jauh di sana. Jauh dari saya. Kawan, simak saja saya bercerita. Dari ruang tunggu stasiun Lempuyangan, 19.55.
 
            Sudah bulat tekad hamba. Sudah bulat sejak belum bisa naik kendaraan. Untuk sekolah ke Jogja agar bisa jadi orang besar seperti superstar di berita.
            Ada zat yang orang orang panggil Tuhan. Ada yang menyembahnya. Ada yang selalu skeptis padanya. Saya sendiri bukan domba yang hilang arah apalagi seorang pelayan Tuhan namun satu yang perlu saya tanyakan: kenapa Tuhan repot repot membangun megah cinta saya kepada seorang hawa titisan surga?
            Semakin tua umur saya setelah mimpi basah, tekad ke Jogja menjadi tidak terlalu bulat. Karena saya terpaksa maklum cita cita yang tertata tidak bisa harmonis dengan cinta.
            Di suatu tengah malam ketika saya bersujud – mencoba mengetuk rumah Tuhan dari gerbang sajadah, saya termenung untuk sia sia mencari jawaban dua paragraf di atas. Di suatu tengah malam lain ketika saya sudah tinggal sendirian di Jogja, saya malah semakin rindu kepada semua – keluarga, iman, dan dia. Lalu saya jungkir balik di kasur hingga lelah, berharap tertidur tanpa gundah dan gulana yang kerap datang.
            Rindu saya memuncak. Saya ingin pulang ke kampung di mana ada Ibu dan Bapak yang rindu anak pertamanya. Di stasiun Lempuyangan, menunggu kereta terakhir menuju rumah, saya semakin gila karena tiba tiba saya melihat sosok hawa yang selalu saya rindukan di kamar kosan sedang duduk cantik membaca buku tentang ada dan tiada, Being and Nothingness, Jean-Paul Sartre.
            “Adinda, ini saya Indra!” Begitu keras terdengar hingga orang orang risih dibuatnya.
            Lalu terang lampu tiba tiba terlihat gemerlapan dari mata saya hingga badan saya seperti dihempas menuju alam nyata. Aduh, begitu malu saya. Memanggil wanita yang tidak ada apa apanya jika dibandingkan seorang yang saya cinta.
            Saya duduk seraya mata mata orang yang juga rindu rumah melihat saya dengan gemasnya– mungkin mengira saya sedikit gila. Jam di handphone mengatakan sudah 19.55.
            Panggilan kereta membuat saya terjaga. Namun, lagi lagi saya melihat wanita dengan rambut yang terurai sama cantiknya seperti dia. Ingin kupanggil, namun ia terlanjur membuat saya kecewa dengan menoleh ke kiri – memperlihatkan bahwa dia bukan dia.
            Meninggalkan stasiun Lempuyangan, saya semakin jadi rindu dan membenci jarak.  Jendela kereta diketuk oleh hujan muda. Terjaga saya karena menikmati siksaan rasa. Rasa pahit yang tiada kunjung raib. Lelah hamba melacuri rindu gara gara nasib. Semakin deras hujan menua. Semakin hilang saya dibuat. Semakin pagi malam hari, semakin cantik nona di benak hamba. Untuk nona yang sedang sendiri di sana, apakah nona juga sama sama merasa sepi? Hamba di sini menabung hari. Pertemuan kita menjadi mahal karena nasib.
            Lalu, sesampai di Solo, kota yang membuat saya tidak berhenti jatuh cinta, kepada apapun yang duduk manis di dalamnya, remuk redam harapan saya. Mengingat yang diharap ada belum pulang dari kota rantauanya yang jauh di sana.
            Nasib.
Indra

3 comments: