Sunday, July 22, 2018

Kancil Kancilan dan Gajah Perak


Kancil Kancilan dan Gajah Perak
Oleh Dwipa Embul

Pampam memang selalu begitu. Walau badanya gempal, ia punya paling banyak energi. Mungkin itu merupakan akibat dari jajanan jajajan yang tidak sehat dan bersaus oranye. Sering sekali ia menculik dua atau tiga kawanya untuk kabur dari kelas mengaji sore. Kabur dari mengaji itu sudah kejahatan yang sah sah saja dihukum disirami air dingin oleh Ustadz Amin sampai bingung. Membolos kelas mengaji lalu mencuri buah mangga punya Mbah Wiryo di RW 2? Bisa bisa jika tertangkap basah kami dimasukan ke dalam bedug masjid lalu dipukul keras keras hingga setelah keluar dari bedug kami berjalan seperti ayam kena asam urat. 

 
            Namun kali ini sialnya aku berhasil dicuci otak oleh Pampam. Provokasi terhadap harga diri saya sukses besar jika kebanggaan saya sebagai petualang sudah disangkut pautkan.
            “Kancil Kancilan si lincah takut, ya?” Pampam menantang. “Kami akan menjadi penjinak Gajah Perak!”
            Rayi, si kecil yang selalu menjadi anak buah Pampam, ikut mengompori “Malu warga desa memberimu julukan Kancil. Kancil asli saja berani menginjak kepala buaya!”
            Ingin ku tempeleng kepala Rayi namun Ustad Amin selalu bernasihat untuk mengasihi orang orang berpenyakitan moral. Pampam dan begundal begundal pengikutnya contohnya.
            Yang membuatku muntab dan akhirnya khilaf terseret ke dunia jahat yang didalangi Pampam adalah kalimat Jangkung: “Sudah sudah! Jangan kompori si Indra lagi!” Ia melerai si kecil Rayi. “Onta Kancilan lebih memilih mengaji daripada mengikuti ekspedisi merah kita!” Menurut mereka, siapa yang mereka panggil Onta Kancilan?!
            Saya sekarang mafhum kenapa tempo hari Bu Kuswanti pernah berpesan bahwa penyesalan selalu datang terakhir. Ya, karena memang penyesalan memang selalu datang terakhir, bung!
            Berdasarkan insting pelandukku, kira kira sudah ada 2 jam dari ba’da sholat Ashar. Berarti kira kira sudah satu setengah jam kita naik gunung meninggalkan masjid sembari melupakan tanggung jawab seorang pelajar TPA. Sudah hampir 100 menit, tidak ada tanda tanda dari rombongan Gajah Perak yang dijanjikan di awal ekspekdisi merah.
            “Serius, Ndra!” Pampam mulai terengal engal. Susah naik gunung dengan badan gempal. Namun ini Pampam. Kaca tidak dapat memantulkan wajah dindingnya sehingga ia tidak pernah mawas diri dan hal itu berakibat ia menjadi sok memiliki ide untuk menyelidiki mitos Gajah Perak. “Kata Mas Sumanto begitu! Kemarin ketika ku jajan mie ayam ia bercerita bahwa di atas Air Terjun Grenjengan pernah ada Gajah Perak yang akan menampakan dirinya setiap bulan purnama.” Begitu justifikasi ide gilanya. “Ini kan tanggal 15. Pasti ada!” Kapasitas berpikir Pampam hanya memperkeruh suasana.
             Mas Sumanto adalah penjaga taman baca desa. Berdasarkan analisis saya, Pampam adalah individu yang tidak bisa membedakan antara fiksi dan non fiksi. Jelas jelas Mas Sumanto menceritakan Gajah Perak dalam konteks dongeng fiktif! Namun, ku bukan di posisi untuk boleh marah apalagi mengumpat. Pasalnya, aku juga cukup dungu untuk mengikuti ekspedisi merah ini sekaligus terpancing amarahnya hanya karena perkara julukan Kancil Kancilan dirubah menjadi Onta Kancilan.
            “Sekarang aku tidak peduli nasib kalian. Ku ingin pulang. Sebelum maghrib aku harus sampai rumah!” aku menggetak 3 bromocorah kecil itu, berbalik badan lalu ternganga: di gunung tidak ada lampu dan langit sudah menunjukan waktu akan menuju waktu maghrib.
            Rayi undur diri dari rombongan ekspedisi “Pam, aku juga ikut pulang. Aku ingin lihat Waktu Indonesia Bercanda saja di rumah.”
            Jangkung salah tingkah “Ah, iya, Pam. Aku juga ingin lihat Saint Seiya saja.” Sedikit Jangkung tahu, Saint Seiya sudah tidak tayang di TV Indonesia.
            “Aduh kalian bagaimana sih!” Pampam mengelak. “Ya sudah ekspedisi dibatalkan!”
            Lalu mereka ikut balik badan dan menyaksikan pemandangan serba gelap yang aku lihat.
            Rayi kecil yang cengeng mulai bersembunyi di balik badanku. “Ndra. Ayo cepat pulang”
            Jangkung menambahi “Iya, Ndra. Kata orang dewasa, kalau Maghrib jin jin jahat keluar dari kerajaanya.” Benar kata Ustad Ustad: lebih baik diam jika tidak punya perkataan yang baik.
            Pampam diam saja. Malu.
“DUH GUSTIIIII” begitu umpatku, mengeluarkan amarah.
Hampir setengah jam berlalu. Jika kami naik satu setengah jam di jalan yang menanjak, maka berdasarkan perkiraan dan insting pelandukku kami butuh waktu satu jam untuk sampai di desa. Masalahnya, adzan Maghrib sudah berkumandang. Suasana makin kelam. Rayi sudah menangis tanpa disembunyikan. Jangkung dan Pampam tidak punya solusi. Suara semak semak bergoyang karena tupai juga tidak membantu mencerahkan suasana.
“Sudah jangan menangis!” aku mencoba membuat Rayi tenang. “Menangis tidak membuat kita lebih cepat sampai Desa.” Setidaknya Rayi hanya menjadi sesenggukan.
Karena pencahayaan sangat minim, aku memimpin perjalanan pulang dengan hapalan jalan sehapalku. Seratus langkah setelah adzan maghrib dikumandangkan, terdengar keras seperti batu besar longsor. Badan gendut Pampam terpeleset bebatuan. Setelah ditolong, apesnya, kaki Pampam terkilir.
Jauh di lubuk hati, di balik rasa rasa penyesalanku, aku ingin menangis. Namun, jika aku menangis, siapa yang akan memimpin biang biang kerok ini? Hanya itu yang membuatku masih teguh mendengar Rayi menangis, menyimak keluh Jangkung, membopong badan gendut Pampan, sembari harus menyelesaikan beberapa ratus langkah lagi sebelum sampai desa.
Di kejauhan aku melihat ada nyala cahaya jauh di jalanan pulang. Teman temanku sudah tidak punya daya. Aku berteriak keras, “TOLONGGG” Namun cahaya hilang.
Kelelawar mulai terbang kesana kemari menari dan tertawa. Beberapa puluh langkah lagi aku melihat ada cahaya lagi. Aku ingin menangis karena dayaku sudah tidak ada. Namun cahaya kali ini semakin besar. Semakin besar cahaya aku dengar suara gemuruh mesin. Semakin besar deru mesin dan cahaya, dayaku sedikit terisi lagi. Pampam sekarang yang berteriak: “USTAD AMIIIIIN”.
Kami membuat resah seluruh TPA. Akhirnya kami dicari dan kami ditemukan di setengah jalan menuju gunung. Di balik rasa lega, ada juga rasa malu. Aku sedikit menangis namun aku mencoba mengelap air mata agar terlihat kuat. Kami dibonceng satu motor bertiga oleh Ustad Amin dan Pak Riyanto marbot masjid. Pulanglah kami dengan banyak rasa bersalah dan rasa malu yang lebih banyak lagi.
Setelah sholat maghrib di masjid, ibu datang menjemputku. Aku sudah merasa takut akan dihukum habis habisan karena ketahuan naik gunung alih alih mengaji. Namun ibu mendekapku dan menangis: “Cah lanang, besok jangan nakal lagi, ya nak.” Rasa takutku menjadi bahan bakar tangisku. Aku malu. Lalu tahu tahu aku ikut menangis kencang. Tidak peduli lagi persepsi Pampam, Rayi dan Jangkung. Aku minta maaf habis habisan pada ibu dan berjanji tidak akan menyalah gunakan waktu untuk membolos lebih lebih berkeliaran di alam liar di sore hari.
Setelah tangisku reda aku dan ibu mohon pamit ke Ustad Amin dan Pak Riyanto.
Ketika aku naik di boncengan motor Ibu, aku mendengar ada gelegar dahsyat dari arah gunung. Bulu kudukku berdiri serentak. Aku spontan menoleh ke belakang. Motor sudah dinyalakan ibu. Sepertinya ibu dan yang lain tidak mendengarnya. Namun, ketika aku menoleh ke belakang, aku tidak bisa berbicara apa apa. Ada sosok besar. Puluhan meter barang kali tingginya. Di belakangnya ada tiga anak gajah yang mengikutinya. Warnanya putih keperakan. Setelah menyadari warnanya aku membatu. Motor ibu sudah melaju. Pandanganku tidak bisa lepas dari koloni kecil gajah perak. Gajah terbesar seperti menyapaku. Gelegar suara gajah seperti gemuruh petir berkumandang lagi. Lalu empat ekor gajah balik badan dan kembali pulang naik ke atas gunung. Semakin jauh terpisah dari motor ibu yang sudah melaju. Mulutku ternganga.

No comments:

Post a Comment