Thursday, February 25, 2016

Diary Tentang Rumah yang Jauh

Untuk seseorang yang, kelak, akan menjadi mahasiswa Akuntansi UGM 2016.
***

            Dengan kondisi finansial yang begitu mengenaskan, Papa hanya bisa sekedarnya memanjakan 4 anak perempuanya. Rumah yang berisi 6 anggota keluarga dan berbagai hewan kotor macam tikus dan kecoa ini tidak berlebihan jika dikatakan kumuh. Hanya ada satu motor di rumah – Astrea dari jaman Fir’aun belum sunat. Motor yang sudah kelihatan rombeng rombeng bodinya ini dipakai Papa untuk kulakan di pasar. Seringkali motor ini dihujat karena bronjong hijau yang menempel di bagian belakang motor seringkali membuat beset mobil milik orang penting kantor pemerintah kota. Untuk komuting, ada dua sepeda yang tidak kalah rongsoknya. Sepeda yang tidak berbunyi decit decit ketika dikayuh dipakai oleh kakak nomor dua. Aku pakai yang suara besi karatanya menganggu pengguna jalan. Sering kali aku harus mengantar adikku yang paling kecil ke TK dengan sepeda itu. Mama selalu setia menunggu Papa dan kulakanya dari pasar di warung yang terbuat dari kanopi seng dan meja pipa bekas jadi tidak perlu kendaraan.

            Aku jauh dari betah di rumah. Kakak pertamaku selalu sibuk dengan kuliahnya – kami beruntung pemerintah mau memberi beasiswa bidikmisi. Kakak keduaku tidak pernah ngobrol denganku – aku juga tidak mau berbicara dengan orang yang memiliki napas berbau alkohol. Pernah kakak kedua pulang ke rumah dengan keadaan mabuk lalu Papa menghajar habis habisan anaknya yang lulusan SMA yang tidak jelas mau jadi apa ke depanya. Adikku hanya bisa mewek. Kadang aku jengkel karena Papa dan Mama masih sempat kepikiran punya anak lagi. Pernah aku ditampar karena menanyakan itu. Orang tua lebih tahu.
            Kondisi yang begitu mengenaskan ini selalu membuatku semangat belajar. Aku ingin keluar dari rumah ini dan hidup sendiri di Jogja. Pemerintah ingin memberi beasiswa bidikmisi untuk orang orang sepertiku – jangankan sepertiku, orang kaya saja ada yang memiskinkan diri untuk bidikmisi. Aku juga bisa nyambi jaga toko atau apalah untuk menyambung hidupku di Jogja kelak. Terlebih lagi, ada seorang kakak kelas idolaku yang sekarang juga sekolah di Jogja. UGM pula.
********
                Tahun ini, isi rumah benar benar berubah. Kakak pertamaku sudah diterima kerja jadi wanita kantor di Semarang. Kakak kedua hamil di luar nikah. Adikku sudah bisa naik sepeda. Aku diterima di Fakultas Ekonomi di UGM. Mama sepertinya sangat berat melepas anak perawannya untuk jauh – padahal Jogja Solo hanya berjarak 60 Km. Papa lebih pusing memikirkan kakak kedua.
            Di hari Senin yang mendung itu, di kelas T-101, kelas yang sangat dingin karena AC membuat suhu kelas menjadi 16 derajat celcius, aku melihat papan putih. Aku langsung duduk paling depan. Bajuku adalah yang paling kumal dan tidak fashionista tapi peduli apa aku. Aku duduk di kursi impian ribuan remaja Indonesia. Papan putih di depan kelas seakan menjadi symbol bahwa masa depanku benar benar kutulis mulai saat ini. Belum lagi Kakak yang aku idolakan berada di satu kampus denganku. Semua itu cukup membuatku kuat mental untuk mencari penghidupan sendiri – walau sesekali Ibuku mengiri amplop dengan isi 150 ribu Rupiah ke kontrakanku yang sederhana namun nyaman. Semua alasan ini membuatku nyaman nyaman saja berada di kampus yang mayoritas anak anaknya dituntut oleh kelompok sosial masing masing untuk tampil cantik.
            Dosen gempal dengan raut wajah yang seakan menantang mahasiswa mahasiwa baru di dalam kelas ini untuk melanjutkan S2 atau S3 ke luar negeri mengucapkan selamat pagi. Kuliah perdana dimulai. Aku tidak pernah lebih nyaman dari ini.
            Aku pulang.

Ttd.

Seseorang yang sedang sibuk sibuknya belajar SBMPTN 2016


Indra.

No comments:

Post a Comment