Friday, April 8, 2016

Marni


            Warung mamah selalu penuh kepul asap rokok. Walau pengap dan sengak karena tidak jarang para begajul yang nongkrong di situ pipis sembarangan di samping warung, mamah pantang menyerah buka warung. Walau kadang tetek mamah dicolek oleh para bangsat, mamah tetap dengan senyum terpaksa mempiutangkan bayaran nasi telur dan rokok barang satu dua linting per ekor anjing. Mamah adalah pemilik warung super strong.
            Papah adalah orang yang hanya bisa kulihat dari foto. Sejak aku belum lahir, kata tetangga ia pergi merantau ke Sumatra. Ia berpesan bahwa di Jawa terlalu galak untuk kaum proletar macam kami. Kabar burungnya, Papah sudah kawin lagi di sana.
            Saya sendiri adalah anak yang lumayan pintar kata tetangga. Untuk seorang anak yang harus mengabdi diri pada warung untuk bisa makan nasi sayur tiap hari dan sesekali suwiran ayam seminggu sekali, ranking 15 dari 29 anak adalah hasil yang memuaskan. Mamah selalu membanggakan aku bisa mengalahkan anak Pak RT yang berangkat sekolah – walau masih SMP – naik motor ninja warna biru, dan setiap pulang sekolah harus ikut bimbel dan setiap Sabtu sore les piano.


            Walau umurku dan mamah hanya berjarak 15 tahun, mamah sudah mulai sakit sakitan. Yang membuatku semakin tidak nyaman sekolah dan ingin segera cari uang sendiri adalah kebiasaan mamah setiap sholat Maghrib berjamaah beliau selalu mewelingku bahwa jangan cepat cepat ingin kawin. Mamah bilang untuk golongan proletar macam kami, masih banyak lelaki yang lebih suka maksiat daripada makaryo. Mamah menginginkan aku untuk bekerja di kantor yang karyawan karyawanya mengenakan seragam. PNS kalau bisa agar dapat pension. Anggapnya, orang orang yang berseragam punya wibawa. Aku padahal tidak pernah pacaran. Memang, aku punya rasa untuk kapten tim basket sekolah namun apa daya wajahku yang hitam methel kalah menawan dibanding dengan nona cantik keturunan Tiong Hoa juara olimpiade sains nasional. Pasti bukan aku yang keluar di mimpi basah si kapten.
            Pada suatu malam bakda Isa’, mamah terkulai lemas. Biasanya rumah 3x4 ini dipenuhi suara ngaji mamah hingga jam 8 malam. Namun kali ini, Mamah hanya terkulai lemas. Badanya lebih panas dari aspal siang hari.
            “Mamah sehat? Mamah ingin Panadol? Marni punya uang hadiah lomba baca puisi kemarin. Marni beli panadol di warung Koh Dan Cuk, ya?”
            Mamah langsung menarik tanganku, “Sini dek, Mamah ingin mewejang lagi.” Lalu hidung meler Mamah tersendu sendu.
            Kali ini aku rela saja diwejang mamah. Wajah mamah kali ini sedang resah resahnya. Semakin cantik wajah resah mamah, semakin menggebu rasaku ingin segera lulus SMP, lalu SMA, lalu masuk STAN, lalu kerja di Jakarta atau Semarang – berseragam! Lalu aku dirangkul erat. Badan gendut dan bau keringat mamah menyeruak lapuk kasur tetapi entah kenapa aku mencium bau yang benar benar membuatku ingin menangis. Mamah seakan tidak ingin melepasku lagi.
            “Maghrib ini mamah batuk berdarah lagi.” Suara batuk mamah semakin terdengar seperti merobek tenggorokanya. Aku mulai membik membik. Aku memegangi erat daster bunga bunga mamah. Wajahku menyembunyikan tangisnya di bawah ketiak sengak mamah. “Dek, kalo besok mamah tidak bisa jaga warung, dek Marni jaga sendirian, ya? Nanti pasti Bu RT membantu kamu.” Semakin menjadi jadi tangisku. Terdengar aku menyerot ingusku bolak balik. “Sekarang kamu tutupin pintu terus siapin buat sekolah besok ya, dek. Mamah ingin tidur.”
            Lalu mamah tertidur langsung pulas. Badanya 2 kali lebih panas dari 10 menit lalu. Aku langsung keluar melakukan apapun yang anak SMP umur 13 tahun bisa lakukan - cari bantuan Pak Satpam, menggedor pintu rumah Koh Dan Cuk, mengetukki kentongan sekerasnya, teriak teriak di tengah kampung. Hujan tiba tiba turun, gemuruh bledeg mencoba menutupi teriakku. Peduli apa, aku tetap teriak sampai suaraku tidak kuat keluar lagi. Akhirnya, Pak RT dan Bu RT mengunjungi rumah kecil kumuh kami dengan mobil Panther hijau tahun 1997.
            Badan panas mamah menjadi dingin di Puskesmas. Tepat tengah malam. Bu RT memelukku erat – namun air matakku sudah tidak ada lagi untuk dikeluarkan.

Bersambung.

Indra.

3 comments: