Thursday, May 25, 2017

Belajar Memasak



            “Soal PPKN ini ingin mengajarkan apa, bu guru?” Indra muntab karena jawabanya disalahkan.
            “Mas Indra, tugas rumahan anak laki laki lebih tepatnya memperbaiki sepeda bersama ayah – maka dari itu jawaban A. Sewajarnya, memasak adalah tugas rumahan anak perempuan.”
            Indra, dengan rasa tidak menerima yang menggebu gebu, memberontak, “Mungkin benar di masyarakat patriarkis. Tapi tidak semua keluarga begitu, bu guru. Apakah dengan ini ibu guru bermaksud mencap keluarga saya sebagai keluarga disfungsional karena saya anak laki laki selalu membantu ibu memasak di rumah?”
            Ibu guru tua tidak ingin ambil pusing dan berlagak sok tuli lalu melanjutkan koreksian, “Yuk, anak anak. Lanjut soal nomor 4: Membuang sampah di-
           Indra tidak mau dengar lagi. Ketiak seragamnya sudah menguning. Pertanda hari semakin siang. Tidak ada anak keals 4 SD yang suka kelas setelah jam makan siang.
            Terdengar samar di bagian belakang kelas “Hihihi Indra dasar anak banci. Laki laki kok masak hihihi” dan omong kosong serupa namun Indra tidak mau rugi pikiran untuk mendengarnya.
******
            Setengah jalan menuju rumah, sepeda Indra terpleset – pasir bangunan keparat! Tubuh gempal Indra tidak kuasa menjaga keseimbangan alhasil menggelinding lah badan gendut itu. Para tukang yang terduga menjadi dalang pasir berserakan tak tahu aturan di jalanan desa itu malah terbahak. Namun, Indra tidak fokus terhadap tertawa para tukang yang asyik merokok itu. Rantai sepeda Indra lepas. Pusinglah Indra.
            “Aduh ini gimana. Bengkel masih jauh.” Keluh Indra. Seragam Indra semakin menguning karena keringat dan debu dan panas.
            Indra duduk bersila meratapi apa kesalahanya - mungkin karena ia membentak ibu guru tadi siang - serambi melumuri tanganya dengan oli. Tidak. Tidak membuat perubahan terhadap rantai itu.
            Lalu teman teman laki laki Indra terlihat dari jauh. Memang hanya Indra yang biasanya tidak ikut sepak bola setelah pulang sekolah.
            “Weh, itu si banci kok duduk!” Teriak teman 1.
            “Rantainya putus, kali?” Teman 2 menyahut.
            Mereka mendatangi Indra dengan wajah penuh belas kasihan. Indra tetap merengut.
            “Ciye anak suka memasak nggak bisa memperbaiki rantai sepeda lepas, ya?” Teman 3 membenahi rantai Indra. Indra tetap merengut.
            Setelah selesai Indra langsung merebut sepeda reyotnya dan langsung dikayuh secepatnya meninggalkan teman temanya. Tanpa kata terima kasih karena tidak mau disebut lagi banci.
****
            “IBUUUUKKK” Indra memasuki rumah langsung ke dapur penuh rasa malu dan marah.
            “Ya ampun, le. Mbok masuk rumah ‘assalamualikum’ dulu.” Ibu sedang memasak sop. Karena aroma kaldu yang benar benar dari rebusan tulang, Indra langsung relax – lupa ingin marah. “Le, itu mbok bawang bombai, kacang panjang, wortel, kentang dicuci terus dioncek-i”
            “Ya, buk.” Sendiko dawuh. Indra paham – pasti tumis cumi cumi!
            Rumah ini selalu berwarna hijau. Hijau muda. Entah. Padahal catnya putih. Tapi di mata Indra, rumah ini ya berwarna hijau muda. Dan warna hijau muda itu yang selalu menemani Indra melakukan pekerjaan rumah. Indra diasuh menjalankan tetek bengek rumah tangga. Kamu itu anak mbarep, kata Ibu. Harus bisa apa apa sendiri. Indra sebenarnya tidak melihat adanya relevansi. Tapi selagi itu menghadirkan tumis cumi cumi di meja, Indra manut manut saja.
            Setelah mencuci sayuran yang sudah dikupas, Indra duduk di pinggiran jemuran. “Bu’, kenapa anak laki laki lain ndak diajari masak sama Ibu mereka? Bahkan Ucok yang ibunya punya warung makan anaknya ndak pernah megang pisau sama sekali.”
            Ibu memanaskan beberapa tetes minyak dan menumis bawang putih, cabai, bawang merah, kecap ikan, garam dan sejumput gula ke wajan. Baunya nyemerbak. “Apa kamu ndak mau diajari masak, tho, le?”
            “Ya, mau.”
            “Nah. Ya, sudah.” Ibu mulai memasukan cumi cumi yang sudah dirajang dengan ciamik. “Le, saringan cumi cumi-nya dicuci.”
            Indra menyalakan kran. “Bu’, hari ini aku dipanggil banci sama teman teman.”
            “Terus? Kamu berantem hari ini?”
            “Ya, ndak.”
            “Terus?”
            “Ya aku cuek.”
            Ibu menyirami tumisan di wajan dengan kecap. Aromanya semakin tidak sopan. “Ya, sudah cuek saja.”
            “Tapi, besok kalau aku ndak punya pacar gimana, bu?”
            “Kamu itu masih kelas 4 SD!” suara spatula diketukkan di wajan adalah tanda Ibu mau mencicipi “Masih lama ngurus jodoh!”
            “Bu, tapi aku anak laki laki tapi ndak bisa memperbaiki rantai sepeda.”
            “Ya nanti minta Ayahmu ngajarin.”
            “Tapi kan Ayah selalu pulang malam.” Indra tanpa disuruh sudah terbiasa menyiapkan piring dan mangkok untuk menyajikan masakan Ibu.
            “Ya, besok pas liburan.” Ibu mengambil sendok makan lalu mengambilkan sesendok cumi cumi untuk aku icipi, “Kok ada yang kurang, ya?”
            Aku menyicipi. “Tak tambahi merica, ya, bu.”
            “Ya ini sekalian selesaikan. Ibu mau tidur. Badan Ibu sakit semua. Sepertinya mau menstruasi.” Ibu mengoper spatula ke Indra. Indra lanjutkan sendiri.
******
            Rasanya adzan Subuh saja belum berkumandang. Namun terdengar gelas pecah. Pasti kucing. Setidaknya itu pikir Indra. Masalanya, akhir akhir ini sering sekali gelas pecah pada dini hari. Namun, karena malas, Indra lanjut saja kembali tidur.
            Jeda 10 menit, pintu kamar Indra diketuk. Bukan kucing. Tapi Ibu. Berpakaian seperti ingin pergi. Subuh subuh.
            “Ibu’ kenapa jam segini pakai jaket jean dan kacamata hitam segala? Ada tetangga yang kemalingan, po?”
            “Le,” suara Ibu parau. “Ibu mau pergi dulu.”
            Indra masih setengah sadar, “Kemana?”
            “Ke Rumah Eyang. Di kulkas ada bahan buat kering tempe. Habis sholat subuh masak kering tempe buat sarapan adik sama ayah, ya, le.”
            Indra manggut manggut saja. Ibu langsung balik kanan keluar rumah. Keluar pagar. Tanpa ada suara motor – Ibu berarti mencari bus dini hari. Sendirian. Pagar dibiarkan ternganga tidak dikunci lagi. Aku bingung. Ingin ku kejar ibu tapi hawa dingin dan rasa malas masih menempeli tubuh. Ada apa? Setelah mengunci pagar Indra masuk ke dalam rumah. Mengambil wudhu.
***
            Baru kali ini Indra memasakkan sarapan untuk orang rumah. Dan biasanya Indra juga memasak berdua dengan Ibu. Namun, setidaknya karena sudah lama menjadi banci dapur, Indra mafhum bagaimana membuat hidangan sederhana macam kering tempe.
            Ayah keluar dari kamar dengan wajah cemberut. Jam dinding menunjukkan pukul 05.30. Di meja sudah ada tumis kering tempe khas ibu dan rice cooker berisi nasi mentik wangi yang harum. Ayah masih tidak keluar suara. Indra membangunkan adiknya yang masih TK lalu bergegas mandi. Ayah, masih diam, mengambil sepiring nasi dan mengambil lauk kering tempe khas Ibu – yang dibuat Indra.
            “Jauhhh kau pergiiiiiii meninggalkannn dirikuuuuuu—“ sesi karaoke pagi dirusak oleh ketukan pintu.
            “Le, ibu ke mana?”
            “Katanya ke rumah eyang.”
            “Naik apa?”
            “Nggak tahu. Tadi sebelum adzan subuh langsung pergi jalan kaki. Paling cari bis.”
            “Ini yang masak kering tempe siapa?”
            “Aku.”
            Jeda lama. Maka ku nyalakan lagi shower. “Di siiiiiniii akuuuu mee-“ Diketuk lagi pintu.
            “Le,” suara Ayah terpecah. Baru kali ini Indra mendengar Ayah yang biasanya keras dan dingin bersuara parau. “Hari ini ndak usah masuk sekolah dulu. Habis ini kita ke rumah eyang. Menjemput ibu.”
            Apa ada yang salah dengan kering tempe khas ibu yang Indra buat?

Indra.

1 comment: