Wednesday, January 31, 2018

Kapan Ayah Ibu Balik Rumah?



*Postingan berikut ini mengandung bahaya laten memecah toleransi di Indonesia dan tidak berlebihan jika disebut penistaan agama. Kaum sumbu pendek mundur saja.*

            Dulu, ketika ibu mengantar saya di stasiun ketika saya masih semangat semangatnya menjadi mahasiswa baru, ibu berpesan:
            “Le, jangan lupa telepon ibu ayah kalau ada apa apa. Cerita nanti di Jogja ada apa saja. UGM isinya orang orang pintar. Selalu ingat dua hal nak, jangan jauhi Tuhan, jangan juga lupakan keluarga.”
            Setelah melanggar nasehat pertama karena saya salah gaul dengan orang orang istridraj, saya sekarang sedang sedih juga karena ibu sedang tidak di rumah. Ibu ada di rumah eyang. Ayah entah di mana. Rumah, kata adik saya, kosong. Adik sedang sibuk menjadi anak SMA. Berangkat pagi pulang tidak ingat. 

            Jika kalian cukup beruntung di-TPQ-kan waktu masih ingusan, kalian pasti diajarkan konsep asbabun nuzul. Jadi, karena saya kiranya juga menjadi kaum istidraj, saya mencoba punya pelir untuk mempertanyakan kata kata Ustadz Amir yang tempo hari ketika saya cawik belum bersih selalu saya ikuti seperti domba. Pemuka agama sekarang membawa premis premis aksioma. Tidak berlebihan jika disebut postulat, lebih menuntut dari teorema pitagoras.
            Setelah monotheisme, politeisme sudah kuno. Ndak jaman. Bukan kepercayaan yang in. Lihat orang orang yang ngacengan itu. Lihat kempol wanita saja ingin meniduri. Monoteisme kicks in. Asbabun nuzul begini begitu. Agar tidak diperkosa, wanita dikrukupi. Bim salabim, Kebutuhan manusia akan perihal transedental membantu mengkondisikan masyarakat. Boom. Budaya berkerudung. Rate pemerkosaan turun. Sosyeti di bawah bentuk pemerintahan kekhalifahan semakin maju karena ekonomi berjalan. Para pelaku ekonomi sudah tidak sibuk mabuk dan menyembah batu. Semakin besar Negara ujug ujug masuk golden age Islam. Justifikasi tindakan perang ini itu. Conquer sini situ. Meluas hingga…. Andalusia, Spanyol jika saya tidak salah baca? Mana saya paham juga sejarah seperti itu saya anak akuntansi. Lalu, sebagaimana sosiologi mendikte, shit’s goin’ downhill boissss. Giliran orang orang Barat. Setelah gereja membunuh Galileo, giliran mereka menjadi pemimpin balapan. Kubu sebelah sedang gemar meledakan diri.
            Kembali ke nasehat ibu. Ibu sekarang berkerudung. Tentu, ibu saya cantik. Kalian yang foundation makeupnya dicampur aloe vera gel pun kalah cantik. Begitu kepercayaan Ibu. Setelah punya anak dua dan gurat peregangan menjadi mahakarya seni kontemporer di perut ibu, ibu memutuskan untuk menjadi family woman. Sekali dua kali ikut dharma wanita atau PKK. Lalu, mulai darimana?
            Pernahkah kalian mendengar konsep pubertas kedua lelaki?
            Saya jatuh cinta umur 13 tahun. Saya sekarang hampir 20 tahun. Jika dia tidak dihamili begundal ketika saya merontokkan rambut mencari gelar Sarjana, mungkin saya masih jatuh cinta pada wanita yang sama. Mungkin sebenarnya saya juga masih bingung.
            Saat itu, saya masih bingung akan konsep Silver marriage, Golden marriage, Double Platinum, dst dst dst. karena setelah saya jembutan, saya jatuh cinta pada satu wanita yang sama. Namun, saya tidak pubertas dengan baik. Setelah facebook dan whatsapp menjamur, saya paham.
            Begini, kata Hotman Paris, 8 dari 10 lelaki kaya selingkuh. Hotman Paris menganjurkan wanita yang cintanya seperti anggur – semakin tua semakin sayang – untuk berdoa suami mereka termasuk di dua dari sepuluh laki laki tersebut. Namun, Hotman Paris adalah praktisi hukum. Mungkin tidak pandai menggunakan software SPSS. Praduga saya, 2 dari 10 lelaki itu sebenarnya peluangnya sama kecilnya dengan mendapatkan Royal Flush ketika berjudi dengan ginjal sebagai taruhanya.
            Matematika berjalan, teknologi membantu, singkat cerita, per umur kasur sudah dingin, ayah mulai melirik wanita lain. Ibu saya walau ibu terhebat juara satu di seluruh dunia tetaplah wanita. Di masyarakat yang menjunjung tinggi monogamy dan program KB, laki laki apalagi PNS cukup punya istri satu. Tapi Rasulullah bukan PNS. Lagi, pun ada aturannya, ketika saya mengaji asbabun nuzulnya, saya semakin bingung. Mungkin karena ketika saya ikut TPQ tempo hari, saya tidak ijin orang tua sehingga ilmu yang masuk tidak ridho.  Yang jelas, Rasulullah adalah lelaki. Glenn Fredly juga laki laki. Yang terkadang tak lepas dari godaan.
            Jika saya punya kekuatan seperti di acara wawancara mahluk di alam lain seperti di Trans 7, saya ingin mewawancarai istri (istri) Rasullullah. Ibu saya akan saya hadirkan agar legowo jika ayah ingin menikah lagi. Mau bagaimana lagi, jarak pernikahan itu tinggal ijin dan kelegowoan ibu saya!
            Ya tapi mau bagaimana lagi. Saya sih sudah terlanjur nyaman menjadi mayoritas. Nanti kalau saya pindah ke agama sebelah, yang monogami dan boleh makan babi (tergantung interpretasi mereka terhadap Leviticus pasal 11 ayat 7), saya kena post power syndrome, lagi? Yang jelas ketika saya shalat, saya masih baca al Fatihah full. Masih membaca ihdinas siratal mustaqim.

No comments:

Post a Comment