Wednesday, April 4, 2018

Saya Ingin Sedih karena KKN

    Saya adalah asdos. Kata teman teman saya, jadi asdos tentu pintar. Apalagi semuda saya! Semester 6 sudah 110 sks lebih kuliahnya! Masih 19 tahun lagi! Di akuntansi yang S1 di FEB UGM, kalau bukan cina atau non muslim, jadi asdos semester 6 itu susah! (Barangkali karena paska tinggal di Jogja saya jadi jauh dengan Tuhan?) Kata mereka masa depan saya pasti cemerlangnya! Kelak lulus S1 kerja di audit firm besar selevel PWC. S2 di Amerika atau Jepang. Lalu menikahi anak politikus besar Indonesia. Hidup bahagia hingga tua dan sesekali menulis novel atau membuat film dengan istri saya kelak agar dilihat sebagai pasangan paling couple goal abad 21.

    Masalahnya, jika saya mau sedih, saya pasti akan dicibir! Susah jadi orang yang katanya masa depanya cerah seperti bathuk Mario Teguh! Adalah konsensus umum bahwa rakyat Indonesia ini sangat kompetitif. Jangankan terkait prestasi, terkait keluhan pun mereka pasti punya keluhan lebih dahsyat. Bisa jadi rakyat Indonesia secara kolektif lebih nelangsa dari anak anak kurang gizi di Afrika yang dikejar macan karena mental kami miskin tidak main main.
    Begini, bagi kalian yang level sedihnya sudah di ambang batas nyinyir-free zone; berbahagialah! Saya iri dengan kalian yang sedih karena lokasi KKN-nya tidak disetujui. Yang sudah hahahihi berlarian ke sana ke mari dan tertawa bersama sekelompok accomplices yang keberadaanya dilaknat pengurus KKN Universitas. Yang sudah berfafifu ria di proposal yang tidak main main lamanya dibuat. Atau malah sudah mandi keringat jualan barang barang bekas yang paling cuma dapat keuntungan 200 ribu seharian. (Padahalkan kalian setiap hari naik mobil?). Iri sekali kuingin menjadi calon kormanit di pulau terpencil jauh di belahan Indonesia lain yang google map tidak tahu agar saya sedih karena KKN!
    Saya kemarin pulang ke Solo. Umurnya sekarang hampir satu tahun. Matanya seperti ibunya. Mungil dan enak dipandang. Rambutnya masih brintik samar samar. Namun jelas kulihat cantiknya sama seperti ibunya. Ia hanya bersuara 'bah bah bah'. Sudah bisa merangkak. Sesekali terpleset kain bajunya sendiri kemudian tertawa sendiri pula.
    Daripada harus sedih karena harus melihat anak seperti itu tumbuh tanpa orang tua kandungnya yang entah pada minggat ke mana mending saya sedih karena KKN saja! Ibunya siapa?! Ayahnya siapa?!
    Bapaknya sudah mati kasih sayangnya sebelum dia lahir!
    Ibunya sudah mati akal sehatnya sebelum dia di kandungan!
    Saya juga sudah mati jalan pikiranya karena masih saja 7 tahun bercengkrama dengan keluarga berpenyakitan moril yang masa depanya tidak secerah aku yang asdos ini! Kapan Tuhan matikan rasaku yang tahu tahu muncul karena dua tiga helai jembut tiba tiba tumbuh ketika aku SMP? Tolong cabut saja Tuhan! Anak ini bukan tanggung jawabku! Ku ingin menjalankan nadhirku sebagai mahasiswa yang katanya akan sukses! Ku ingin menjadi sedih karena lokasi KKNku tidak disetujui UGM saja! Ku ingi-
    Ia tiba tiba mengambil mainan plastik berbentuk piramid dengan berbagai lingkaran berbagai ukuran memeluk pilarnya dari pangkuanku. Ia besuara 'bah bah' namun kali ini tidak seperti biasanya. Ia seperti ingin menunjukkan aku kebolehanya yang ia bangun ketika aku cari gelar sarjana di Jogja.
    Ia menjatuhkan semua tumpukan piramida lingkaran itu. Ia obrak abrik awut-awutan lingkaran yang sudah tidak membentuk nilai estetika itu. Lalu ia mendirikan poros piramidanya kembali. Ia mencari lingkaran paling besar. Ia masukkan ke poros itu kembali. Dengan lincahnya ia memasukkan lingkaran itu dari besar ke kecil dan tahu tahu sudah jadi lagi piramida itu ke bentuk awalnya!
    Ia bersorak sorai dengan suara 'bah bah bah' dan menunjukkan bangunan itu kepadaku. Ia sangat bangga atas karyanya tersebut seakan akan ia menantang dunia dan berkata: "bersiaplah dunia karena Indriyana sudah bisa memecahkan salah satu teka tekimu!". Ia melambai lambaikan tangan sangat bahagia. Aku juga ikut bertepuk tangan gegap gempita.

Indra.


2 comments: