Saturday, June 2, 2018

Kursi Biru di Pameran Seni


            Kuncoro itu memang nyentrik orangnya. Rokoknya tidak pakai gabus filter. Kalau minum alkohol tidak suka aneh aneh-lawaran bening tanpa buahvita leci. Pernah tidak naik kelas empat kali. Kutebak pasti sudah tidak perjaka sejak SMP kelas tiga. Entah siapa bapak ibunya. Apalagi Tuhanya. Tahu tahu aku kenal Kuncoro dari teman sepermabukan. Tahu tahu aku makin sesat karena Kuncoro adalah sosok guru spritual untukku setelah 2 tahun kuliah di Jogja. 

            Memang Kuncoro ini seniman. Rambut gondrong. Mandi jarang. Tetapi kaya. Namun, walau kaya ia tidak keliatan terlalu memikirkan uang. Ia adalah seniman. Bukan lulusan D3. Apalagi sarjana. Di kepala Kuncoro adanya ya hanya melahirkan seni. Senantiasa tirakat agar magnum opus segera diilhamkan. Masalahnya oleh siapa?

            “Daku oleh alam dilahirkan untuk membuat sesuatu yang daku saja belum tahu apa itu, boy. Setelah karya kunci hidup itu saya buat, saya rela mati, boy!” Memang sesinting itu Kuncoro. Hidup segan mati belum mau.
Guna menjalankan rukun seniman yang Kuncoro imani, Kuncoro sedang mengadakan pameran seni. Bukan sembarangan. Pameranya di gedung 4 lantai. Masuk saja perlu bayar uang. Di dalam pameran seni itu banyak wanita cantik. Berpakaian serba semriwing. Pameran seni memang chick magnet. Saya diberi tiket gratisan oleh Kuncoro karena 19 tahun saya hidup saya hanya menggunakan bibir untuk mencium tangan guru. Belum pernah bercumbu. Kuncoro iba.
Lantai 1 sangat megah. Kuncoro mereplika banyak lukisan populer. Starry Night oleh Van Gogh dibuatnya dengan sentuhan Jogja. Ia membuat Monalisa berkerudung dan membawa bedil. Konsep terkenal Michael Angelo yang mempertemukan Adam dan Tuhan diadopsi Kuncoro untuk mempertemukan Presiden Soeharto dengan personil Daft Punk.
“Bagus bagus ya, Kun.”
“Kamu jangan gampang puas, boy. Level ini masih level paling cethek.”
“Masak, Kun?”
“Kamu liat wanita wanita itu yang sedang foto di depan lukisan Oatmeal Instant warna biru?” ia menunjuk sekelompok wanita yang sepertinya kuliah semester 4. “Mereka kalau saya ajak main, hanya selangkangku yang puas, boy. Itu duniawi.”
Kuncoro bicara seks lebih fasih dari Sartre. Aku mengangguk angguk saja. Bukan porsi saya untuk menyela. Saya pegangan tangan saja tidak pernah kok ingin mengkoreksi Kuncoro?
Lantai dua banyak karikatur karikatur yang menyimpan banyak pesan subliminal. Agak lebih kompleks dari kartun minggu pagi di Jawa Pos atau ilustrasi ilustrasi di prosa prosa Sudjiwo Tedjo. Di lantai ini ada ruangan serba biru yang penuh dengan wanita yang jauh lebih cantik dari wanita lantai satu.
“Kalau ini sepatu pantofel dicat biru ini artinya apa, Kun?”
“Oh itu representasi kehidupan PNS yang biasa biasa saja tetapi bahagia.”
“Oh. Kalau yang buku TTS warna biru itu apa, Kun?”
“Itu menggambarkan kehidupan PNS setelah pensiun tetapi bahagia.”
“Kalau galon aqua yang dicat biru itu apa, Kun?”
“Itu sarjana kemarin sore daftar CPNS, boy.”
“Kok galon, Kun?”
“Kamu belum sampai, boy, levelnya.”
Benar juga.
“Kalau kursi biru, itu, Kun?”
“Itu kursi panita, boy.”
“Oh.”
            Semakin ke atas semakin nyeleneh. Lantai tiga, medium seni yang dipakai Kuncoro semakin minimalis. Semakin girang pengunjung. Selfie semakin deras. Wanita wanita semakin aksi pose fotonya.  
           Aku liat bonsai yang ditusuk gunting.
           Aku liat rokok yang salah satu ujungnya berbentuk bibir Angelina Jolie.
           Aku liat komputer dengan kitab suci menjadi pengganti monitornya.
           “Semakin nyeni ya, Kun.”
         “Jelas. Hanya orang yang sudah pernah tinggal kelas setidaknya 3 kali yang bisa menikmati ini.”
            “Begitu ya, Kun.”
             Di jalan menuju ke lantai ke empat, Kuncoro menghadangku.
            “Begini, boy. Lantai empat ini lantai yang sangat sakral, boy. Kamera dilarang di bagian ini, boy.”
            “HPku low bat sejak lantai satu, Kun.”
            “Aku peringatkan, boy. Hanya orang yang pernah mati suri yang paham karya lantai empat. Kalau kau bingung tanggung sendiri.”
            “Kamu pernah mati, Kun?”
            “Pernah. Sudah sempat dikembalikan mayitku ke Jombang. Setelah hidup ku minggat lagi ke Jogja.”
            Lantai empat ternyata out door. Sebuah rooftop. Bahkan tidak ada panitia. Hanya ada krikil. Bukan krikil indah seperti batu permata. Hanya krikil. Hitam. Bentuknya tidak jelas namun ya krikil generik.
            “Ini karya seninya mana, Kun?”
            Kuncoro takjub bukan main. Ia menunjukkan jarinya ke krikil di tengah rooftop.
            “Itu krikil?”
          Kuncoro bersikeras menahan bendungan air mata bahagia. Kuncoro bangga bukan main dengan karya seninya yang sangat nyeni ini. Ia terlihat sangat jauh tenggalam dalam dunianya sendiri. Kebanggaan Kuncoro jauh lebih besar dari tante tante Cina yang menghadiri resital piano klasik anaknya yang sudah dileskan di Purwacaraka sejak zigot.
            “Kok tidak ada tulisan penjelasan karya seni seperti lantai lantai sebelumnya, Kun?”
            Kuncoro serambi megap megap menjawab. “Penjelasan membunuh karya seni, boy.”
            “Oh.”
            Ku melihati sekitar rooftop. Tidak ada pengunjung lain. Hanya aku, Kuncoro dan krikil dekil yang entah dari konstruksi bangunan mana krikil itu berasal. Tidak ada wanita cantik.

Indra.

No comments:

Post a Comment