Wednesday, June 13, 2018

Nur Lasini

            Saya tidak ingin cepat cepat menstruasi. Saya rasa baru kemarin sore baru lulus Taman Kanak Kanak. Namun semakin besar saya, saya semakin resah. Saya takut ketika tidur malam malam setelah mewarnai pohon kelapa di pantai di buku gambar saya menjadi semakin tinggi dan semakin dewasa. Era kanak kanak saya dikoyak waktu setiap saya berkedip. 



            Setelah sholat isya’ tepat waktu, Mama Pur selalu membolehkan TV di rumah dipakai hingga jam 8 malam. Susah menikmati TV dengan santai bersama sekian banyak anak yang tidak berhenti cengengesan dan bau keringat bahkan setelah mandi. Apalagi Atmaja. Aduh, lelaki gendut itu selalu bau apalagi setelah TPA. Pasalnya ia setelah mengaji malah berlari lari dengan Aziz bukan siap siap Shalat Maghrib. Anak lelaki memang selalu banyak tingkah dan bau!
            Setiap jam melihat TV saya biasanya membaca komik Monika atau Donal Bebek koleksi Mama Pur. Beberapa lembar dicorat coret Dek Rizal. Beberapa juga ada yang dirobek Dek Aisyah. Tapi tak apa. Saya masih bisa terkekeh melihat epos Monika menjahili balik Alien jahat yang ingin membuat jahil di muka bumi. Perkara ada cerita yang tidak tuntas karena lembaran tidak lengkap cincailah saya bisa karang sendiri.
            Namun untuk malam yang agak lebih hore dari biasa itu, ketika anak anak laki laki sholat taraweh – lebih tepatnya main mercon, Mama Pur memegang kuasa TV. Ia melihat acara Talk Show yang dipimpin oleh lelaki pesulap. Saya juga bingung bagaimana pesulap bisa menjadi host acara talk show tapi itu hal trivial.
            Ada seorang wanita cantik di layar TV. Cantiknya tidak dapat ditutupi kerudung abu abunya. Lipstiknya berwarna anggur yang malu. Pasalnya wanita ini baru saja menulis buku tentang penantianya yang sepanjang 11 tahun baru dikaruniai anaknya yang bernama Sarahza. Saya anak TK jadi tidak tahu apa apa tentang penantian anak. Apalagi anak anak panti. Anak anak panti tidak ada yang punya orang tua, duh. Jangankan menantikan anak. Di dalam pikiran anak anak kelebihan energi itu cuma ada formulasi cara agar bisa kabur dari sholat tarawih 20 rokaatnya Ustad Amin.
            Saya terlahir sebagai wanita. Seperti wanita normal selalu terlahir sebagai perasa. Bahkan mulai sejak dini. Mama Pur menyimak dengan khusyuk mbak mbak yang bernama Hanum itu. Aku ikut melihat dengan Mbak Aminah. Mama Pur diam diam mulai mengeluarkan air mata. Mungkin ada sangkut pautnya dengan karirnya sebagai pengasuh.
            Saya tidak menangis di depan TV. Entah kenapa tidak berani aku menangis di depan orang lain. Setelah gosok gigi, di ruangan sempit berisi 4 anak perempuan yang sama sama belum dewasa itu, aku melihati langit langit yang ungu karena uraian lampu dari dapur panti. Saya sudah besar. Sudah SD. Kalau berangkat sekolah tidak usah diantar Mbak Aminah. Namun tanpa penjelasan logis saya mengingat kata kata penantian anak yang membuat Mama Pur menangis tadi. Saya juga ikut menangis. Tapi sudah menjadi prinsip saya bahwa tidaklah boleh anak besar menangis apalagi di depan orang. Saya tahan sekuat mungkin agar tidak menangis. Namun apa daya, masih keluar suara sesenggukan. Suara anak yatim piatu. Lalu Dek Aisyah terbangun.
            “Mbak Nur kenapa kok nangis?"
            Saya mengambil napas sekaligus ingus yang sangat banyak.
            “Ndak, kok, Dek.”
            Saya hanya seorang anak yatim piatu. Entah siapa orang tua saya. Saya tidak pernah bertemu. Tapi kata Mama Pur saya dititipkan ibu kandung saya sendiri. Namun rasanya hidup di panti membuat saya terlanjur begini. Saya tidak bisa paham dengan saya yang tidak jelas maunya apa ini. Yang jelas saya hanyalah Nur Lasini, bukan Sarahza.

No comments:

Post a Comment