Wednesday, August 10, 2022

Menjadi Auditor Big 4 Agar Dewasa Sebelum Kembali Sakit Pikir Lalu Mengabdi

              Tidak akan ada yang percaya jika kalian naik mesin waktu untuk kembali ke tahun 2017 dan bilang pada khalayak FEB UGM bahwa Dwipa Indra Atmaja akan menjadi auditor apalagi di Big 4. Singkat cerita, saya tidak lolos dengan sangat mengenaskan di CPNS itu. Pertanda apa itu? Pertanda saya harus mencari kerja seadanya, sebisanya. September itu juga saya langsung cari kerja. Seperti garis nasib mahasiswa akuntansi yang pasaran, Desember tahun itu juga saya diterima sebagai auditor di Ernst and Young di bagian asurans.

 

               Saya tidak tahu kolega kerja yang lain bagaimana namun tidak kurang dari 20 kali diriku menjelaskan bahwa saya bukan penjual asuransi kesehatan. Asurans adalah padanan kata dari kata assurance. Jaminan. Produk asuransi yang dijual oleh perusahaan asuransi memberi nasabahnya jaminan. Terhadap apa? Terhadap risiko – tergantung produk asuransi apa. Asuransi kesehatan berarti menjual jaminan terhadap risiko yang mengancam kesehatan anda. Aktuaria akan mengkaji, misal saya, laki-laki obese morbid tingkat dua dengan riwayat keluarga memiliki penyakit apa saja dan gaya hidup super sedenter kira-kira akan terkena penyakit terminal umur berapa dan mati umur berapa. Kajiannya akan diturunkan menjadi besaran iuran yang harus saya bayar tiap bulannya. Selagi masih membayar iuran tersebut, jika saya kesandung nasib yang ditanggung asuransi kesehatan yang saya miliki, maka biaya yang muncul atas kesandung itu akan dicover oleh perusahaan asuransi tersebut. Saya tidak terlibat dalam praktik jual jaminan yang itu.

Saya terlibat dalam menjual jaminan terhadap laporan keuangan. Jaminan terhadap apa? Terhadap risiko salah saji. Akuntan memiliki luaran laporan keuangan yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang relevan dan berterima umum. Penikmat produknya tentu akan merasa kethar kethir bertanya-tanya ketika membaca laporan keuangan tulisan mereka. Mereka akan bertanya-tanya “tru kah?”  Apa iya akuntan-akuntan ini menyajikan informasi seperti apa yang sebenarnya terjadi?

Akuntansi menurut saya adalah bahasa. Perlu pemahaman terhadap tata bahasa, sistem bahasa, dan bahkan kultur kelompok yang menggunakan bahasanya – karena bahasa merupakan produk budaya – sebelum dapat terjadi komunikasi yang lancar. Akuntan adalah pujangga yang menulis karya seni dengan Bahasa Akuntansi. Siapa yang membaca karya itu akan mendapatkan sebuah pernyataan. “Oh, PT A pada tahun ini telah mendapatkan keuntungan sebesar x. Oh, si PT A mendapatkan sebagian besar pendapatannya dari jualan y.” Untuk pembaca yang relevan, mebaca karya seni ini seperti halnya menikmati puisi atau membaca surat cinta dari seorang kekasih. Pembaca pun secara inheren akan cemas. Apakah benar pernyataan mereka ini jujur? Jangan-jangan dia bohong? Di sosyeti yang menafikkan ajaran untuk saling berprasangka baik dan saling jujur ini lah kami para auditor mendapat sesuap nasi. Auditor adalah subjek yang melakukan audit. Audit dalam arti sempit adalah proses pencarian bukti. Bukti apa yang kita cari? Bukti bahwa apa yang tertulis di laporan keuangan itu benar adanya. Kenapa kami mencari bukti? Untuk menjamin pembaca bahwa surat cinta yang mereka baca itu wajar. Wajar? Benar, wajar, bukan ‘benar’. Wajar, sesuai dengan sintaks akuntansi yang berlaku. Sehingga laporan keuangan akan menjadi andal. Kenapa tidak benar? Karena sejatinya Bahasa Akuntansi itu Bahasa yang penuh dengan perkiraan, estimasi, bualan, dan bullshit. “Kami mengakui pendapatan kami tahun ini 200 juta. Namun semua terutang, kami tidak menerima kas.” Tugas auditor pada pernyataan tersebut adalah mencari tahu apakah memang wajar jika penulis mengaku bahwa mereka mendapatkan 200 juta sebagai pendapatan sebagaimana definisi pendapatan yang disepakati oleh ikatan Akuntan di negara tersebut dan disajikan dengan aturan-aturan cara mengakui pendapatan yang disepakati bersama pula. Jika akuntan adalah penyair, pembaca laporan keuangan adalah penikmat seni; dan auditor adalah mas-mas senja rambut gondrong rokok garpit kopi kapal api yang bersikeras membuat rubrik intrepetasi seni di koran Jawa Pos Minggu pagi (dekat tulisan Sudjiwo Tejo) dan berusaha sekuat tenaga terlihat ndakik di mata penikmat seni sebagai orang yang paling tahu seni – dan biasanya, karena gaya hidupnya, mereka mati muda.

Ernst and Young atau EY adalah nama franchise jasa professional – tidak sekadar KAP semata. Seperti Indomaret dan McD, Kantor Akuntan Publik juga bisa beli hak pakai nama untuk jualan jasanya. Dalam perihal per-KAP-an, EY adalah satu dari empat titan bendera KAP terbesar di dunia. Seperti grup-grup penjahat di anime kesayangan kalian, empat titan ini juga memiliki titel bersama, yaitu Big 4. Menurut saya pribadi rasanya kok seperti sebutan yang dicetuskan oleh anak kelas 5 SD. Namun tidak apa-apa, kalau kata auditor-auditor yang kerja di situ “substance over form”. Padahal sih curiga saya mereka menggunakan titel semembosankan Big 4 karena nama Elite 4 sudah dipakai franchise Pokemon dan nama 4 Emperors sudah dipakai franchise One Piece.

Beruntungnya saya, mereka cukup murah hati untuk memperbolehkan saya mampir barang menjadi tenaga cepat sekali pakai. Benar saja, masa probation seharusnya berakhir di April, saya diberi ekstensi 1 bulan, membuat saya sedikit senang hingga berhalusinasi ‘wah permanen nih saya’, lalu tiba-tiba tanpa ada aba-aba pada tanggal 14 Mei saya mendapat email yang menyatakan tenure saya habis – yak saya dipecat lah kurang lebih – dan per tanggal 31 Mei saya diarahkan untuk mengembalikan laptop dan kawan-kawannya. Namun, jujur, saya tidak sesedih itu. Saya jauh lebih sedih saat saya menerima gaji 13 juta. Tidak bohong, ada nyeri di jiwa saya ketika mendapatkan gaji dengan nominal sebesar itu. Menurut saya yang kampungan dan tidak benar-benar pernah mendapatkan exposure terkait dunia kerja dengan gaji besar, nominal sebesar itu adalah nominal yang besar. Saya saat gajian tidak menangis bahagia namun saya menangis getir mengingat realita bahwa saya dulu pernah pontang panting mengurus ban motor bocor naik turun bukit lintas kabupaten mencoba membuat penelitian tentang pemerintah daerah demi niat baik nan naif memperluas cakrawala ilmu pengetahuan digaji sekecil 500 ribu per bulan dibanding saya yang pada saat itu kerjaanya sekadar mengecek kuitansi Indomaret buram yang terkena putung rokok dan keringat ketiak supir truk bisa mendapat 13 juta.

 Jika dulu saya memiliki kecemasan apakah saya benar-benar memiliki self worth, akhirnya terjawab ‘oh ternyata saya juga bisa tha dapat gaji dua digit’. Saya ingat dulu saya terganga ketika viral di Twitter ada anak UI yang menuntut gaji fresh graduate harus lebih dari 8 juta. Gaji pokok saya waktu itu sebenarnya hanya 7.5 juta. Namun, seperti Pak Bahri Suwono dan Ibu Mawarni menjual jiwanya kepada iblis, kita auditor menjual lifespan kita ke siapapun yang diuntungkan dan mau membayar untuk mendapatkan gaji berlipat ganda dari gaji pokok kami. Masalahnya, walau rasanya sangat lega menikmati perasaan bisa berdiri di atas kaki saya sendiri, mendapatkan gaji sebesar ini rasanya di lubuk hati ini tidak senikmat yang saya kira; dengan pekerjaan seperti ini, dengan gaya hidup seperti ini, dengan apa yang saya berikan untuk peradaban manusia ini.

Saya yang dulunya selalu membanggakan doa dari nama Indra di Dwipa Indra Atmaja sebagai orang yang kelak akan membawa ‘air’ ke orang di sekeliling saya sekarang sekadar dikenal sebagai associate lain yang menunggu dipakai oleh manajer dengan kode nama DWA - Dwipa Atmaja. Seakan nama Indra sudah mati. Saya saat itu merasa tersesat. Bahkan setelah tahu saya tidak lolos probation, bukannya mempertanyakan pilihan hidup ini, yang ada saya langsung pindah ke KAP Big 4 yang lain yaitu PwC. Padahal saya sebenarnya cukup beruntung tidak menjadi generasi roti lapis yang dituntut oleh orang tua untuk cari uang sekeras itu untuk bayar utang namun rasanya saya takut sekali menjadi pengangguran cum laude sampai-sampai sebelum saya mengembalikan laptop kantor EY, saya sudah mendapatkan offering untuk kerja di PwC, melanjutkan hidup sebagai seorang Associate DWA - Dwipa Atmaja di KAP lain.


 

Kocaknya, di tengah krisis itu, saya dihasut lagi oleh Pengumuman Rekrutmen CPNS 2021. Ingat bagaimana saya tolol tidak mau mengambil pekerjaan orang lain di CPNS sebelumnya? Dwipa yang itu sudah mati. Bahkan, jika boleh mengulang masa-masa mencari bangku kuliah, ingin rasanya diriku mengambil semua ujian masuk. Di SNMPTN saya akan mengambil jurusan-jurusan yang secara statistik memberikan peluang terbesarnya dengan peringkat saya di SMA. Tentu saja aku akan mengambil SBMPTN walaupun saya mendapatkan bangku SNMPTN. Persetan adik-adik kelas saya yang kelak akan diblacklist oleh universitas yang saya selingkuhi kursi SNMPTNnya. Wong wahana permainan memperbolehkan itu dan if I were to do that, I would play by the rules. Otak pintar mana yang mendesain sistem yang memberikan penalty kepada mereka yang tidak melakukan kesalahan? Yang bajingan adalah sistem cacatnya. Jangan salahkan orang-orang yang mampu hey kalian orang-orang yang tidak mampu. Sila kalian merengek kepada pemerintah untuk membuat sistem penerimaan kampus negeri yang memfasilitasi orang-orang yang kalah kognitif seperti kalian ini agar kursi impiannya tidak diambil oleh orang-orang yang lebih jago mengerjakan soal. Hah? Ini indikasi buruknya nilai afektif calon-calon mahasiswa yang memiliki kapabilitas kognitif tinggi? Merengek juga sana ke pemerintah siapa suruh tes penerimaan perguruan tinggi negeri di Indonesia sangat berbasis pada kognitif semata. Jangan-jangan nanti kalian juga minta anak IPA tidak boleh ambil jurusan IPS? “Tidak punya hati hey kamu orang egois mengambil semua kesempatan padahal tidak semua kau ambil kepintaran tidak ada gunanya jika kalian tidak punya hati wahai bedebah muda” adalah gaslight dari orang-orang yang tidak mampu bersaing tes kepada mereka yang memiliki kemampuan mensecure semua kesempatan. Orang-orang yang menggunakan jurus sakti guilty tripping. Orang-orang yang berhasil meracuni otak polos versi Dwipa Indra Atmaja yang sudah meninggal itu. CPNS 2021, tentu saja saya mendaftar walau saya sudah menjadi pegawai tetap di PwC. Tentu saja, di Bappenas lagi. Tidak pernah kapok saya itu. Namanya juga orang sinting.

Sepanjang masa pendaftaran CPNS 2021 jujur saya sangat jauh dari adanya persiapan. Saya adalah mas-mas kantoran nine to five (9 AM to 5 AM). Pada saat tes SKD saya bahkan hanya ijin ke senior saya untuk masuk siang. Waktu itu saya mendapatkan skor SKD 460. Yang penting lulus 3 besar. Doa saya dulu kurang spesifik. Saya ingin menjadi yang terbaik di formasi saya. Di formasi saya di CPNS lama saya memang terbaik, tapi tidak tersaring. Kali ini, saya inginnya tersaring.

Di cerita sebelumnya, TPA OTO Bappenas adalah nemesis bagi saya. Wake up call. Namun, karena SKB tahun ini diadakan pada akhir tahun, jadwal saya di PwC sudah cukup padat waktu itu. Jujur saja saya rasanya seperti lari dari masalah. Seperti orang yang benar-benar tidak ada vigor dalam hidup. Rasanya nikmat sekali untuk sembunyi di balik kenyamanan pekerjaan menumpuk seorang auditor dengan client perusahaan-perusahaan yang mengirim udara kotor dari Cilegon ke Jakarta ini.

Hingga pada suatu sore yang abu-abu karena Jakarta memang selalu sekelabu itu, Dwipa Atmaja kembali tolol. Kembali ada percik Indra di diri Dwipa Atmaja. Ternyata SKB brutal yang sangat tidak pakai persiapan itu saya lampaui batas lulusnya sebanyak 2 poin. SKD saya bukan yang terbaik, SKB saya juga bukan yang terbaik, namun saya tersaring.

Langsung bergejolak di dalam kepala saya kenapa saya dulu rela dicundangi dunia akademisi. Ingat ketika saya goblok-gobloknya menjadi buruh fotokopi fakultas ketika teman-teman saya sudah jauh lari pergi menertawakan saya yang masih saja di kampus padahal lulus tepat waktu. Apapun itu, saya ingat saya ingin hidup untuk nyala, urip iku urup. Ingin berguna untuk orang-orang di sekitarku. Ingin menjadi orang yang mempercantik indahnya dunia, memayu hayuning bhawana. Menjadi Indra, dewa hujan, raja surga, sosok yang mengayomi. Satu hal yang menarik adalah bagaimana saat tahap LGD saya dipanggil Indra.

Di sela kesibukan masa-masanya para associate sibuk naik turun bukit batu bara yang entah didapat dari merusak bumi bagian mana atau encok menaiki tangki yang tingginya sombong sekali untuk mendapatkan bukti-bukti agar petinggi KAP dapat memberi pernyataan “ya ini praktiknya wajar”, saya ingat saya ijin kepada senior saya untuk melakukan wawancara CPNS. Di kantor client saya di suatu kantor anak perusahaan BUMN yang paling di ujung Jawa sana, saya pinjam ruang rapat mereka untuk melepaskan diri dari status auditor. Tidak lama dari wawancara, resmi pengumuman:

Salah satu senior saya adalah teman saya kuliah. (Iya, setertinggal itu karir saya, objectively speaking. Ketika teman seangkatan saya sudah senior dengan gapok dua dijit gaji saya masih segitu-segitu saja.) Ia cukup tahu bagaimana Dwipa Indra Atmaja di bangku kuliah. Dia diam-diam bercerita ke manager kami tentang kabar bahagia untuk saya ini. Sewajarnya, manager akan kebakaran jenggot jika sumber daya manusianya merotol di masa-masa peak season audit. Namun, manager saya malah yang menelpon saya duluan. Menanyakan kapan mengajukan resign kok saat itu akhir Desember belum mengajukan. Bahkan beliau bilang untuk ambil resign lebih cepat agar saya bisa menghabiskan waktu dengan keluarga dulu sebelum masuk CPNS. Saya bilang tidak apa-apa saya tambah satu bulan Januari untuk menyelesaikan sebisa saya. Tidak berlebih saya bilang saya menangis terharu. Yang ada beliau malah minta maaf karena belum sempat menjadi tutor yang terbaik karena kesibukannya sedang banyak. Benar saja beliau memang super sibuk. Sebuah green flag tempat kerja – sebuah oasis di tengah karir yang terkenal super beracun lingkungan kerjanya- dan jujur saja, I don’t mind to be his junior in another lifetime.  

Banyak waktu telah berlalu dan tidak mungkin menjadi satu post saja. Kelak saya akan bercerita potret pendek kehidupan CPNS Bappenas. Namun, seabsurd apapun pengalaman 2020 dan 2021, saya sangat bersyukur tidak langsung menjadi CPNS dan sempat merasakan menjadi auditor – dua kali merasakan peak season pula. Agar kelak ketika saya mengabdi saya tidak dihantui rasa penasaran “kira-kira bisa tidak ya saya kerja di swasta? Kata orang-orang PNS kan super tidak kompeten dan tidak akan survive di lingkungan kerja swasta.”

Jika pada tahun 2020 saya pernah menutup mata sepanjang perjalanan pulang, berharap pada yang maha, “Tolong, yang ini untuk saya. Saya akan berikan yang terbaik untuk Indonesia.” Kali ini saya diberikan kesempatannya. Kalau boleh dibilang, mungkin teman-teman banyak yang tidak setuju namun blog ini adalah personal space saya, menurut saya, teman-teman kerja saya di Bappenas ini adalah orang-orang yang sangat pintar namun cukup bodoh untuk mau menjadi PNS. Meninggalkan berbagai kesempatan mendapatkan karir yang mentereng untuk kembali mengulangi karir dengan gaji 6 juta. Atau setidaknya, itulah yang akan dipikiran Dwipa Atmaja. Dwipa Indra Atmaja akan bercerita di hari lain. CPNS Dwipa Indra Atmaja pamit dahulu, mau pulang berdesakan di KRL, naik lewat Stasiun Cikini.

 

Indra.

No comments:

Post a Comment