Thursday, July 1, 2021

Temptation of Thanatos (Bahasa Indonesia)

 

Rayuan Kematian

Judul Asli: タナトスの誘惑

(Tanatosu no yūwaku)

Temptation of Thanatos

Penulis asli: Hoshino Mayo

Ditulis ulang oleh: Dwipa Indra Atmaja

 

            Berdering kencang suara notifikasi pesan masuk di handphoneku. Setengah sadar aku meraih handphone membaca pesan dari pacarku. Bukan selamat pagi. Aku pamit. Begitu isinya. Aku menghela nafas. Paham betul artinya. Masalahnya ini bukan yang pertama kali. Ini sudah yang keempat.

            Aku bergegas menyiapkan diri. Ujung mataku melihat jam – sudah jam 6 kurang. Tentu saja aku lagi-lagi tidak sholat Shubuh. Ada yang berceramah boleh saja langsung bergegas jika telat bangun. Namun peduli apa aku?

 

            Bangunan tua penuh dinding dengan cat hijau yang sudah mulai rontok. Bau mayat tikus dan alkohol memenuhi lorong sempit indekos campur. Tidak ada yang baru. Setiap pagi begini terus. Termasuk perjalananku ke kantor di gedung yang sangat sombong tinggi bangunannya. Kerja 75 jam seminggu. The grind in your 20s. Menghirup bau pesing dan polusi ibu kota sebelum menghirup freon bocor AC kantor.

            Dalam sekejap mata lagi-lagi aku membuang dan memperpendek umur demi gaji pokok yang sebenarnya tidak seberapa itu. Aku bergegas ke indekos pacarku. Berdesak-desakkan di bis yang penuh uap keringat. Aku sedikit tergesa-gesa karena hanya dia yang menjadi alasan aku bertahan di sini. Peduli setan aku dengan bapakku yang entah minggat ke mana atau ibukku yang entah kawin lagi dengan siapa itu.

            Sungguh sulit mencintai orang yang memiliki tendensi bunuh diri. Ia satu kosan dengan mantan teman kantorku yang sekarang entah di mana keberadaannya. Aku pertama kali bertemu dengannya di rooftop indekosnya setelah aku merokok di kamar yang pengap milik mantan temanku itu. Saat itu ia hanya berjarak sejengkal menuju jatuh. Begitulah kami bertemu. Menjadi rumah untuk orang yang sama merasakan pedihnya hidup memberiku alasan untuk bertahan hidup sedikit lebih lama lagi.

Setiap kali ia kumat, paginya ia pasti pamit padaku. Bagiku, itu adalah kode untukku. Teriakan minta tolong. Setiap kali ia pamit, malamnya ia akan berdiri di tempat yang sama. Seperti menungguku untuk datang dari pulang kerja. Sering sekali aku takut bagaimana jika ia suatu hari tidak menungguku dan langsung melompat? Namun benar saja, lagi-lagi di tempat yang sama ia berdiri, menatap ke kekosongan. Menungguku sekali lagi. Aku selalu mengartikannya pesan pamitnya sebagai ‘tolong selamatkan aku sekali lagi’. Aku mendekatinya, berdiri di sebelahnya lalu memecah sepinya malam.

“Kenapa lagi?”

Ia tetap melihat ke depan, mengacuhkan aku.

Mbok jangan.”

Aku menggapai tangannya. Dingin. Angin malam itu kalah dingin.

“Lepaskan saja.” Ia menampik tanganku. Mengusir.

Yang aku lihat memang ia memandang ruang kosong, namun setiap kali aku melirik raut wajahnya saat melihat kekosongan tersebut jujur saja aku cemburu. Wajahnya seperti orang yang kasmaran pertama kali. Tidak sama seperti saat menatapku. Saat menatapku matanya hanya dipenuhi kesedihan dan tidak pernah kering dari air mata. Berbanding terbalik dengan saat ia menatap ke kekosongan. Seakan ia sedang digoda lelaki yang tampan. Yang jauh lebih tampan dibanding aku. Yang jauh lebih mapan dibanding aku. Yang jauh lebih wangi dibanding aku. Yang jauh lebih jelas silsilah keluarganya dibanding aku. Ini bukan yang pertama kali dan kali ini aku naik pitam dan muak.

“Jangan lihat ke depan, lihat ke aku saja!” aku membentak sembari meremas pergelangan tangan mungilnya.

“Aduh, sakit!” ia kesakitan. Aku terperanjat.

“Maaf.” minta maafku dengan lirih.

“Kekosongan di depan kita tidak mungkin menyakitiku seperti ini!” ia dengan suara lirihnya menyentakku.

“Kenapa, to?” Aku bingung, jauh di dalam lubuk hatiku aku tahu jelas kami saling mencintai, namun tidak pernah ia menatapku dengan tulus. Ia hanya menjawab pertanyaanku dengan diam dan pandangan ke bawah. Terdengar pelan namun jelas suara sesesenggukan.

“Aku nggak mau begini terus.” Ia terisak.

Aku juga nggak mau begini terus!

“Aku capek banget.” Tangisnya semakin menjadi.

Aku juga capek banget!

“Aku mau mati saja biar selesai semua!”

Aku tidak bisa membendung emosiku, aku ikut menatap ke bawah, sekali lagi dengan nada suara membentak aku kelepasan “Aku juga mau mati saja biar selesai semua!”.

Ia tidak membalas. Tangisannya berhenti. Aku mendangak. Ia melihatku. Tulus. Untuk pertama kalinya. Wajahnya jauh sangat cantik ketika tersenyum. Kali ini senyum itu dipersembahkan untukku. Matanya walau masih sembab dari menangis sangat cantik terlihat jelas sedang merayuku. Lesung pipinya menggodaku. Tangan lembutnya membasuh air mataku yang keluar tanpa izin. Lalu ia meraih tanganku. Tangannya masih basah karena air mataku namun kali ini aku bisa merasakan betul hangatnya. Aku merasakan desir darahnya di jemarinya. Untuk pertama kalinya aku merasakan kehangatan yang begitu tulus. Setelah merasakan kehangatan itu aku mafhum sekali.

Kami berpegangan tangan. Ia merasakan raguku namun ia langsung menenangkanku dengan menguatkan genggamannya. Tenang, tidak seperti yang lain, aku tidak akan melepaskanmu sayangku. Tidak usah takut. Ragu di dadaku langsung sirna. Aku mengangguk. Dia balas mengangguk.

Lalu, kami berlari, berlomba menuju akhir gelapnya malam.

 

Indra. 

 

Cerita pendek ini diadaptasi dalam lagu karya YOASOBI berjudul 夜に駆ける "Racing into the Night"  

Link


No comments:

Post a Comment