Friday, September 4, 2020

Pengalaman Tes TPA OTO Bappenas CPNS 2019

 Persoalannya begini, kawan, saya itu sudah terbiasa tumbuh besar disebut oleh guru-guru yang pernah mengajar dan orang-orang terdekat di sekitar saya bahwa saya adalah orang pintar, spesial, bisa menjadi apa saja yang saya inginkan, jenius yang lahir setiap 100 tahun sekali, dan sebutan nyentrik lainnya yang khas untuk murid langganan juara kelas – padahal sebenarnya saya juara kelas tidak pernah lebih dari 3 kali. Walau tidak seekstrim orang tua Lafran Fairuz yang tidak mau mengambil raport anaknya jika tidak juara 1, orang tua saya sering naïf, terlalu percaya bahwa anak pertamanya itu gifted. Padahal baru dua minggu saya kuliah di UGM, saya sadar bahwa sangat mungkin saya hanya rata-rata dan tidak berlebih jika digolongkan menengah ke bawah, statistik berkata. Saya tumbuh besar tidak siap gagal. Kegagalan selalu adalah keberhasilan yang tertunda. Tidak pernah melihat kegagalan sebagai kegagalan murni padahal sebenarnya kegagalan sangat normal terjadi di kehidupan seorang manusia. 

 

Salah satu kegagalan terbesar saya yang tidak bisa lagi diperhalus dengan eufimisme “yang penting dapat pengalaman” datang pada saya berusia 20 tahun. Singkat cerita, pada umur 21 tahun saya lahir kembali, terseok-seok terjun bebas ke dalam pasar tenaga kerja tanpa bekal sertifikat-sertifikat yang menarik seperti yang dimiliki teman-teman saya yang tidak pernah bermimpi menjadi dosen. Saya sempat menyumpah serapahi sistem yang menjadi sarang para bramocorah namun yang ada saya hanya diludahi balik dengan tiga kali lipat air liur yang saya lontarkan. Tidak bisa waktu diputar kembali, maka, per November 2019, saya adalah sarjana ekonomi yang kebetulan lulus dengan pujian di atas kertas namun tidak di atas kaki sendiri.

Sempat dua minggu setelah akhirnya ibu dan ayah dengan belas kasihan mengirimi saya uang lagi untuk makan di Jogja, saya mencari-cari lowongan pekerjaan di tempat yang paling tidak terpikirkan di kepalaku sebelumnya. Menjadi akuntan di suatu pabrik pakan ayam di daerah antah berantah yang mungkin tidak memiliki NPWP dengan tawaran gaji sebesar ‘nego’ terdengar sangat menggiurkan pada saat itu. Saya pernah bertepuk tangan seperti kesetanan ketika ada direct message pada profil LinkedIn saya menawarkan tawaran yang sangat wah untuk orang seperti saya namun perlu 10 menit untuk saya sadar bahwa tawaran tersebut adalah pesan dari bot.

Sesekali saya membuka folder penelitian yang saya tinggalkan di luar kesadaran saya dan tersenyum sendiri lagi membaca artikel-artikel dari jurnal-jurnal ndakik-ndakik yang menarik itu dan setiap kali saya sampai pada lembar daftar pustaka saya menangis lagi dan baru berhenti menangis ketika saya lapar. Rutinitas menyedihkan itu sedikit berubah setelah saya mendengar kabar CPNS 2019 dibuka. Tentu tidak sedikit masyarakat FEB UGM yang mengagungkan Kemenkeu sebagai hilir jika alumninya ingin berkarir sebagai PNS. Namun, saya, entah bagaimana, tidak tergiur ke kementrian yang terkenal sangat sulit untuk dimasuki dan bergaji tinggi itu. Saya melakukan penelitian intens tentang posisi apa yang saya inginkan, bisa dimasuki dengan gelar saya, dan bersinggungan dengan penelitian-penelitian yang satu setengah tahun terakhir melibatkanku. Dengan tekad bulat, malam itu juga saya mendaftarkan diri untuk mengisi formasi Lulusan Terbaik; Ahli Pertama; Perencana; Direktorat Pemantauan, Evaluasi dan Pengendalian Pembangunan Sektoral; Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional – atau lebih populer dikenal dengan singkatannya: Bappenas.  

Mungkin pada lain waktu saya akan jabarkan kenapa saya ingin menjadi bagian kementrian ini. Mungkin jika saya benar diterima per pengumuman akhir Oktober kelak. Mohon doanya. Untuk info, saya bernazar untuk tidak mendaftar di lowongan pekerjaan lain sebelum saya benar-benar ditolak CPNS Bappenas. Saya seperti merasa jijik pada diri saya jika saya fishing pekerjaan, bisa jadi saya mengambil rejeki orang yang lebih membutuhkan, dan terasa seperti lelaki yang sudah memiliki pacar di kampung halaman, lalu merantau, lalu menjalin hubungan tanpa status dengan wanita lain di perantauannya. Seberapa besar komitmen saya terhadap nazar ini? Dijadwalkan SKB CPNS 2019 selesai per Maret/April. Covid-19 terjadi. Pada cerpen ini ditulis, saya masih menjadi pengangguran terpelajar yang sering saya cibir di mata pelajaran ekonomi pada saat saya masih SMP.

Banyak kolega menghardik dan menyebut saya tolol. Sangat mungkin mereka benar. Mereka bilang pasar tenaga kerja tidak peduli idealisme komoditasnya. Terserah mau saling menikam atau saling meracuni, mereka yang mendapatkan pekerjaan adalah mereka yang mampu. Mencari pekerjaan seperti halnya terlibat di suatu rantai makanan – dan saya adalah herbivora pada rantai makanan ini. Lebih tepatnya, herbivora yang sedang berpuasa. Demi bangsa dan negara. Kalian bertanya-tanya kenapa saya bertahan hanya karena prinsip tolol ‘jangan mengambil rejeki orang lain’ padahal belum tentu juga saya diterima di rangkaian CPNS ini? Sudah saya bilang, sangat besar kemungkinan prediksi teman-teman saya benar bahwa saya tolol.

SKB CPNS diundur dari Maret hingga September. Surat resign saya efektif per Januari. 2020 adalah tahun yang jahat dan tidak sedikit teman-teman saya relapse depresinya karena masih nekat bermain instagram dengan teman-temannya yang sudah mendapatkan pekerjaan-pekerjaan dengan gaji yang sudah melebihi kuota PTKP. Beruntung saya kuat. Setidaknya, begitu yang saya yakini – saya berbohong jika saya bilang saya tidak lebih bahagia dari saya pada pertengahan 2019.

Eits, sebelum saya bercerita tentang pengalaman SKB saya, mari dengarkan penjelasan singkat saya tentang alur CPNS. Para calon mendaftarkan diri ke formasi dan instansi yang diinginkannya. Lalu disaring mereka yang syarat administrasinya terpenuhi. Mereka yang tersaring, akan diadu di tes Seleksi Kompetensi Dasar. Tes SKD diadakan dalam kurun waktu yang relatif serentak karena apapun formasi dan instansinya, rangkaiannya sama, yaitu tes semata. Tes selanjutnya adalah tes Seleksi Kompetensi Bidang. Tes SKB di-custom oleh masing-masing instansi. Kabar burung mengatakan ada yang hanya ada tes seperti tes SKD lagi. Teman saya yang mendaftarkan diri di Kemenkeu mengatakan rangkaian tes Kemenkeu terdiri dari  tes kompetensi teknis, psikotes, tes pluralisme, tes kebuagaran dan kesehatan, dan wawancara. Bappenas menyajikan Tes Potensi Akademik yang akan menggunakan TPA OTO Bappenas. Mereka yang mencapai nilai minimum akan dipanggil untuk psikotes dan wawancara. Yang akan mengikuti SKB adalah mereka yang berhasil meraih peringkat 3x formasi yang ditawarkan di tes SKD. Misal, jika ada 3 slot pada suatu formasi, akan diambil 9 besar peraih nilai SKD. Formasi yang saya daftar? 1 slot saja. Tidak lebih, tidak kurang. Maka diambil 3 besar. Kebetulan saya peringkat satu di tes SKD. Margin hasil tes saya dengan peringkat di bawah saya sebesar 12 poin. Jarak antara nilai peringkat dua dan tiga sebesar 1 poin. Apakah saya tenang? Tentu tidak. Optimisme berlebih itu buruk, kawan. Sebelum saya mendapatkan NIP, saya belum tenang.

Saya mencari info berdasarkan rumor dan tips yang diberi teman-teman saya. Kata mereka, tes TPA Bappenas itu jauh berbeda dari TPA lainnya. Benar saja, TPA OTO Bappenas adalah jenis TPA yang dipakai oleh berbagai instansi lain dalam perihal pendaftaran pendidikan Pascasarjana, kenaikan jabatan, beasiswa, dan lain-lain. Seingat saya, terakhir kali saya mengikuti TPA adalah jaman saya masuk SMP untuk keperluan masuk program akselerasi – dengan kata lain 10 tahun lalu.

Range nilai TPA ini adalah 200 hingga 800. Statistik berkata nilai 500 adalah rata-rata dari hasil para partisipan tes ini. Untuk masuk ke MM UGM, pernah dibutuhkan nilai 500 – sebelum UGM menggunakan tes PAPs-nya sendiri. Untuk masuk ke program S2 ITB, sumber mengatakan membutuhkan nilai minimal 550. Salah satu advisor saya ketika saya masih mengabdi di suatu pusat studi di FEB UGM, Bapak Arief “Maykel” mengatakan beliau mendapatkan 610.7 dan salah satu peraih tertinggi pada batchnya – dan nilai itu mengantarkannya sekolah S2 dengan beasiswa di Australia. Ayah saya sendiri, juga seorang dosen, mendapatkan nilai 625 ketika mendaftarkan dirinya pada program S3 dan beasiswa di UNJ. Saya belum mendapatkan formula perhitungannya yang jelas, namun satu premis yang saya yakini adalah untuk mendapatkan nilai 500, maka peserta harus mendapatkan ekuivalen dengan skala 0 – 100 sebesar 50. Bayangkan, hanya 50% benar untuk menjadi rata-rata! Nilai-nilai yang bertebaran di internet meyakinkan saya sepertinya ada poin yang berbeda jika menjawab dengan jawaban salah namun, saya tidak tahu persis karena tidak ada sumber kredibel yang membeberkan prosedur penilaianya. Biarkan itu menjadi rahasia saja. Sesusah itu, kah? Begitu pikirku.

Karena ayah kebetulan memiliki keperluan dengan kemenpora pada saat saya harus tes SKB, saya berangkat diantar keluarga. Di tengah-tengah korona. Tes rapid kami non-reaktif semua, untungnya. Terlebih, lebih aman perjalanan darat dengan mobil ketimbang transportasi umum seperti kereta apalagi pesawat pada masa ini. Terdapat perubahan tempat tes setelah kami memesan hotel. Namun, Bappenas berkomitmen untuk melakukan antar jemput peserta. Super sekali.

Tes tertulis dimulai pukul 8. Namun, penanggung jawab dari Bappenas meminta saya untuk siap per setengah 6 pagi. Saya sampai di lokasi tes pukul setengah 7, diantarkan armada dari Bappenas, dengan protokol yang super ketat. Sebelum masuk ke lokasi tes, saya diweling untuk menunggu di titik penjemputan setelah tes selesai. Langsung. Tidak boleh dijemput orang lain. Hanya boleh diantarkan balik Bappenas. Protokol ketat yang saya segani.

Saya registrasi untuk mendapatkan pin peserta dan melakukan rapid tes ulang – non-reaktif lagi. Setelah semua perihal administrasi selesai, saya dipersilahkan masuk ke ruang ujian yang tidak seketat SKD – boleh mengenakan sabuk, jam tangan, main hp saat sebelum tes dimulai. Saya sendiri mengurangi tekanan dan stress dengan bermain Cooking Mama di 3DS saya. Saya bolak-balik ke kamar mandi karena nervous. Beseran. 6 kali dalam kurung waktu setengah jam.

Sangat tepat waktu, pukul 8 kurang sekian menit panitia memberi sambutan dan aturan. Tanpa banyak pidato ekstra, kami dituntun mengisi lembar jawaban. Selesai mengisi lembar jawaban, kami diberi waktu untuk ke kamar kecil untuk terakhir kali karena 180 menit waktu yang diberikan untuk mengerjakan tes akan dihabiskan secara nonstop. Saya yang sudah kencing sebanyak 6 kali dalam kurun waktu satu jam terakhir tentu ke kamar kecil lagi agar menjadi 7 kali.

Soal tipe pertama. 60 menit. 90 soal. Tentang bahasa. 3/4 bagian pertama berisi tentang tantangan apakah banyak kosakata yang dikuasai, sinonim, antonim, hubungan satu kata dengan kata lain, dan sebagainya. Saya cukup percaya diri.... selama 20 detik. 3 soal pertama yang saya hadapi saya sudah tidak paham apa-apa. Apa arti dari Latif? Latif siapa? Teman saya SMA? Latif anak Manajemen angkatan 2015? Setelah tes, saya tanya google, Latif artinya lembut. Saya jawab 'sederhana'. Salah satu. Apa itu Mayapada? Haduh? Saya kira Maya itu artinya semu. Saya jawab mengawang-mengawang. Siapa tahu Ma di Mayapada itu singkatan dari Mardial dan Mayapada adalah codename untuk salah satu lagu di album terbarunya yaitu Album Terbaik di Tata Surya dengan judul Mengawang-Awang. Ternyata Mayapada artinya Bumi. Salah lagi tentunya. Selanjutnya Ardi. Siapa Ardi? Sapardi? Ternyata dalam bahasa Indonesia Ardi artinya gunung. Saya jawab apa? Langit. Mengingat teman saya ada tiga yang namanya Ardi dan mereka kulitnya putih semua. Mengkantongi lagi kesalahan. Soal selanjutnya, Serebrum. Saya tahu serebrum artinya otak besar. Saya mantab menjawab itu. Namun ada perasaan getir. Satu soal pertama yang saya bisa kerjakan dengan mantab adalah kosakata jargon dari disiplin sebelah. Saya tidak ingat namun 30 soal pertama itu brutal. Ada satu soal menanyakan arti Eksepsi. Saya ragu. Saya curiga ini adalah bahasa Indonesia dari exemption. Intinya, exemption adalah pengajuan keberatan pada suatu tuntutan. Bukankah jika huruf x diserap ke bahasa Indonesia menjadi ks? Namun kenapa –sepsi? –emption tidak menjadi semsi? Eksemsi? Di kepala sesatku itu lebih masuk akal eksepsi adalah serapan kata exception. Pengecualian. Akhiran –eption terdengar lebih masuk akal menjadi sepsi. Tentu saja saya salah. Tes ini bekerja sama dengan semesta menyabotase akal sehatku. Ada satu soal yang membuat saya bersedih di bagian tentang hubungan antar kata lalu memilih jawaban yang berisi kata dengan hubungan serupa. Soalnya adalah stetoskop – detak jantung, osiloskop - ? Stetoskop adalah perangkat yang populer di telinga awam. Fungsinya untuk mengukur detak jantung. Osiloskop? Kenapa osiloskop? Osiloskop terdengar asing. Jargon. Ndakik-ndakik. Tidak umum. Tidak terdengar di sajian popculture orang saling meminjam osiloskop. Saya melihat leksem Os- di depan. Saya terpikir osteoporosois. Namun seingat saya yang berhubungan dengan tulang itu osteo. Namun ada jawaban yang menggoda yaitu kepadatan tulang. Saya googling apa itu osiloskop.

Osiloskop adalah alat ukur elektronika yang berfungsi memproyeksikan bentuk sinyal listrik agar dapat dilihat dan dipelajari

Karena cerpen ini tidak dibuat untuk keperluan lomba, akan saya tuliskan: sekejap saya melihat osiloskop adalah alat ukur sinyal listrik, saya mengumpat kontol.

Tentu ada bigbrain moment seperti “Adagio:Presto” saya jawab “Lambat:Cepat”. Adagio adalah tempo 70-80 bpm. Presto seingat saya tempo di atas 160 bpm. Pengalaman bermusik saya menyelamatkan satu soal itu. Namun, kawan, saya jadi berpikir apakah tes TPA OTO Bappenas ini adalah adaptasi dunia nyata film Slumdog Millionaire. Lebih dari 50% adalah kosa kata yang asing di telinga orang awam dan setiap epiphany dari leksem-leksem pada semua kosakata tidak mengantarkanku pada jawaban yang benar. Mungkin, di belahan kursi lain di ruangan itu, ada satu orang yang bernama Ardi Latif Mayapada, seorang juru ukur sinyal listrik lulusan SMK yang menempuh studi S1nya dengan usahanya sendiri dengan ayah yang minggat entah kemana karena beliau kena kasus kalah eksepsi pajak dan ibunya sudah sakit-sakitan sedang berjudi dengan nasib dengan mengikuti CPNS ini.

Bagian terakhir tes ini adalah tes membaca. Terdapat artikel dan soal mengenai artikel layaknya tes bahasa Indonesia pada umumnya. Namun, isinya tentang Oedipus. Saya tertawa getir. Memang berbobot. Jarang-jarang cerita Sangkuriang dijadikan soal pada ujian di sekolah-sekolah. Kali ini saya malah diberi suguhan cerita tentang the OG, karakter kecintaan psikolog aliran Freudian, tokoh yang membunuh bapaknya dan mengawini ibunya sendiri. Memang tes ini adalah roler coaster emosi. Dan itu baru 1 jam pertama!

Saya selesai 90 soal 1 jam pertama dengan sisa waktu sekitar 2 menit – dengan banyak kesalahan tentunya terimakasih osiloskop. Tes kedua adalah matematika. Langsung keluar soal fungsi. Saya kira cukup menyenangkan. Walau saya anak IPS, sewaktu saya sekolah dulu, matematika saya tidak pernah mengecewakan – kecuali trigonometri. 5 soal pertama saya kerjakan dengan tenang. Soal keenam, cilukba, bilangan resiprokal. Jujurlah pada saya, siapa kalian yang ingat apa itu bilangan resiprokal? Walau hanya dua soal, membaca bilangan resiprokal membuat dengkul saya lemas. Lalu setelah itu muncul soal-soal seperti deretan-deretan, ada pecahan-pecahan. Basic stuff dari SMP dan SMA awal, lah. 75% saya kerjakan dengan mantab barangkali. Hingga nomor 75 pada tes ini. Tiba-tiba waktu tersisa 53 detik. Pengawas mengatakan sisa waktu tinggal satu menit. Ternyata. Ada. 15. Soal. Dengan. Tajuk. Bagian 4. Belum. Saya. Jamah. Sama. Sekali. Saya langsung buka dengan isi hati berkecamuk berantakan, soal pertama sangat mudah. Saya jawab 20. Mantab. Namun apa daya, waktu habis. Ada 14 soal yang bahkan saya tidak lihat apa isinya. Saya gelapkan jawaban terakhir yang bisa saya kerjakan. Membuka ke bagian tes terakhir. Tidak yakin.

60 menit di bagian kedua saya mengerjakan mungkin efektif 70 soal matematika. Bayangkan, itu sudah rate lebih dari 1 soal dalam 1 menit plus menghitamkan kertas jawaban. Bagian terakhir juga 60 menit, namun hanya berisi 70 soal.

Soal 1 saya langsung skip. Kubus-kubus psychedelic dengan kualitas print yang tidak jelas dalam sekejap mata mana garis rapat mana warna hitam? No, thanks. Next. 15 soal barang kali berisi kubus-kubus trippy. Pandang ruang saya tidak bisa berfungsi dengan baik. Saya terlampau pening. Lalu muncul soal soal logika. Tidak ada yang silogisme tentunya. Jenis soal ini super asing. Saya bertanya-tanya: memang bisa jenis soal seperti ini tidak ada premis yang dianggap postulat? Mana bisa saya membedakan kesimpulan salah berbeda dengan premis mayor salah? Memang betul persepsi saya sejak semester 1 kuliah. Saya adalah bagian dari rata-rata, jika tidak menengah ke bawah. Jenis soal selanjutnya adalah soal cerita bersyarat mirip soal yang sering saya lahap ketika saya dulu jadi bagian tim OSN Komputer. “A hanya bisa jika B C blablabla, mana scenario berikut yang masuk akal?” Sayangnya hanya 5 soal. Penutup, muncul lagi kubus-kubus trippy. Hanya ada 10 soal barang kali yang berisi pattern gambar. Itu pun diriku hanya bisa mengerjakan dengan yakin hanya 4 soal. Kubus-kubus trippy di bagian awal sudah cukup memusingkan, di bagian akhir, 10 kubus terakhir, mereka beranak pinak menjadi 3 kubus. Penggemar film seperti Inception, Paprika, pasti akan menyukai jenis soal logika TPA OTO Bappenas. Lalu, pengawas mengatakan, tinggal 1 menit. Saya pasrah. Spray and Pray. Seperti prajurit yang sudah memasrahkan dirinya ke Tuhan dan Pemerintah di medan perang dengan magazine terakhir di dalam bedilnya, saya tembaki semua jawaban kosong tanpa melihat soal. 20 soal barangkali? Mungkin lebih. 25? Tidak berlebihan saya bilang paling tidak 25 soal saya isi ngawur. 25 soal ngawur itu belum termasuk soal-soal osiloskop yang jelas salah. Waktu di depan menunjukkan detik ke 0, tanpa basa basi penjaga langsung menarik lembar jawabku. Ada satu peserta wanita yang bertempat duduk 3 meja di belakangku yang belum bisa mengisi jawaban kosong ditarik lembar jawabnya meronta minta diberi waktu ekstra namun tidak diberi ampun. Waktu habis ya habis. Setelah tes saya kira dia menangis karena suaranya seperti orang menunduk yang menangis.

Saya sadar, betapa alam bawah sadar saya menopang stamina saya. Walau sudah sarapan roti setelah salat Shubuh, sekejap lembar jawab saya diambil petugas, saya langsung mual dan pusing. Setelah saya memasukkan perangkat-perangkat saya ke dalam tas, saya ke kamar mandi untuk mencuci kepala saya yang panas. Saya mual ingin muntah namun di toilet tidak bisa keluar muntah. Yang ada di tenggorokan terasa seperti cairan dengan rasa pahit namun tidak ada cairan yang keluar dari mulut.

Saya keluar dari kamar mandi mencari panitia yang menjemputku tadi dan langsung diantar ke hotel saya menginap. Saya duduk termenung di dalam mobil jemputan, mencoba menata kesadaran yang sudah berantakan sembari menahan mual yang tiba-tiba menerjang. 250 soal selama 3 jam. 3 jam itu 180 menit. Jangankan 3 jam, 4 jam itu pun hanya setara 240 menit. Bayangkan! Bahkan, pembagian waktu tidak terbagi secara rata! 1 jam pertama untuk 90 soal kemampuan berbahasa, 1 jam kedua untuk 90 soal numerik, 1 jam terakhir untuk 70 soal logika. Untuk mendapatkan nilai bulat sempurna 800 poin dibutuhkan kemampuan manusia yang bisa mengerjakan satu soal kurang dari 45 detik sudah termasuk waktu untuk menghitami kertas jawaban. Tidak ada manusia non-cenayang yang bisa mengerjakannya dengan sempurna! Barangkali mereka yang mendapatkan nilai di tes ini dengan nilai di atas 650 adalah keturunan Bandung Bondowoso dan sudah berafiliasi dengan bala tentara jin pembangun 1000 candi dalam satu malam; dan tentu saja mereka termasuk dalam golongan orang-orang musyrik!

              Saya mencoba menganalisa, kira-kira, bisakah saya mencapai nilai 565 agar bisa lanjut CPNS? Bagaimana kabar lawan saya? Bagaimana TPA kalian? Ada sifat jahatku menginginkan ‘mbok kalian tidak datang tesnya’, namun juga saya melihat diri saya di dalam saingan saya - yang bahkan saya tidak kenal. Mungkin mereka juga adalah orang-orang yang cita-citanya bertemu jalan buntu dan sekarang mengadu peruntungan di CPNS. Siapapun yang menang dalam sayembara formasi yang hanya berisi satu slot ini, akan ada pihak yang sedih karena tidak diterima. Namun, kata teman-teman, mencari kerja adalah berkompetisi dalam rantai makanan. Sekejinya perkataan itu di telinga dan lubuk hati saya, kiranya memang begitu adanya. Saya menutup mata sepanjang perjalanan pulang, berharap pada yang maha, “Tolong, yang ini untuk saya. Saya akan berikan yang terbaik untuk Indonesia.”

 

Indra.

 

Mari kita lihat. Satu atau dua minggu lagi, apakah akan ada kabar baik sosial media saya?

Mohon doanya, kawan. Mohon doanya, sungguh.

9 comments:

  1. Bangga banget sama Dwipa!!! Cerpennya canggih bintang 5. Entah diterima enggak statement ini, tapi no matter what, teruslah berikan yang terbaik untuk Indonesia. Nangis baca part ini. Sukses Dwipa!!!

    ReplyDelete
  2. Proud of you bro, I wish you my sincerest goodluck!

    Godspeed!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thx for the sincerest goodluck, random netizen, I need that 🙏👌

      Delete
  3. Saya bangga bisa jadi NPC di setiap story anda :).
    No matter what the outcome is, a good story is always come with it.

    ReplyDelete
  4. Saya nyasar di blog ini buat nyari pengalaman tes tpa bappenas wkwk.
    Lucu banget sih mas, kata2 nya seru wkwk
    Goodluck mas

    ReplyDelete
  5. Saya merasakan hal yang sama Mas. Mungkin satu sesi sama Mas e. haha

    ReplyDelete
  6. Baru baca cerita ini...karena galau menunggu hasil tes TPA CPNS bappenas...masuk passing grade ga ya...hiks

    ReplyDelete