Friday, September 4, 2020

Ayah Membuahi Ibu Mengandung Aku Memilih Diam

Dikirim ke Lomba Cerpen Ruang Kreasi.
Kalah. 


Umur remaja kita para manusia urban sudah terlampau panjang. Tidak sabar laki-laki menjadi sarjana. Tidak sabar meminta ijin orang tua melamar gadis yang tidak jarang sudah tidak gadis. Mengatasnamakan kodrat dan cinta untuk menutupi insting membuahi dan mengandung. 

 

Kiranya diriku akan lebih nyaman digunjing menyalahi kodrat ketimbang harus memikul tanggung jawab menjadi kepala keluarga. Kejadian siang ini memantapkan kepercayaanku tentang perkawinan. Pejantan Homo sapiens memang secara alamiah tidak memiliki satu pasangan kawin! Kita sebenarnya hanyalah bedes[1] yang kebetulan saja pakai baju!

Pada suatu siang yang sangat tidak hore, selayaknya sarjana yang menganggur, diriku buang umur di suatu warung kopi di tengah kota. Ditemani satu gelas es kopi susu gula aren mahal, aku menyaksikan orang berlalu-lalang dan remaja-remaja yang baru tumbuh bulu ketiak kemarin sore cekikikan sembari membahas isu-isu progresif – mulai dari menabung saham hingga hak asasi manusia transpuan. Lalu, aku mendengar suara mesin mobil yang tidak asing. Dari mobil itu keluar lelaki yang sangat tidak asing yaitu ayah. Namun, dari pintu yang bersebrangan ada wanita yang asing dan jelas itu bukan ibuku. Hatiku berkecamuk.

Mataku tidak bisa lepas dari setiap langkah mereka berdua, tangan mereka bersentuhan. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ayah menggandeng ibu ketika jalan-jalan di mall[2]. Mereka berlagak seperti remaja-remaja di warung kopi itu. Mereka duduk di seberang mejaku tepat. Ayah mempersilahkan gundik itu duduk.

“Mas, aku pesenin es kopi susu gula aren, ya.” kata wanita itu sedikit manja.

Ayah hanya membalas dengan senyum. Memang dirinya bukan lelaki yang banyak bicara. Setelah mempersilahkan wanita jalang itu duduk, dirinya berjalan menuju kasir namun saat dirinya mengangkat kepalanya yang dia lihat adalah aku, anaknya yang ia putuskan untuk buahi di suatu malam di masa lampau dalam kamar pengantin. Ayah memang bukan lelaki yang banyak bicara namun diamnya kali ini jauh lebih diam dari balasan senyumnya kepada sundal berambut merah itu tadi.

Aku segera bergegas angkat kaki. Tidak ingin membuat keributan. Tidak ingin meminta penjelasan. Yang aku inginkan hanyalah pulang cepat. Aku kenakan tas dan menghindari pandangan dengan ayah lalu berjalan dengan cepat menuju tempat parkir. Motor langsung aku hidupkan dan aku tinggalkan warung kopi berisik itu. Saat aku melesat, terlihat ayah seperti mengejarku. Sayangnya hanya pantulannya yang terlihat di kaca spionku.

Aku masuk ke rumah dengan perasaan bingung. Jam dinding menunjukkan waktu sudah sore. Ibu memasak di dapur.

Diriku duduk termenung cukup lama di anak tangga, melihati ibu memasak sembari bernyanyi lagu-lagu Reza Artamevia. Kata-kata tersendat di kerongkonganku. Rasanya pahit sekali.

Le[3], kalau menganggur mbok bantu ibu, le.” ajak ibu saat memotong daun bawang.

Kata-kata pahit terpaksa tersangkut lagi. “Ngapain, bu?”

“Ini lho, mbok ini kentang dan wortelnya dikupas.” Ibu sedikit jengkel. “Kamu laki-laki juga harus bisa memasak. Biar juga bisa bantu istri kalau sudah punya. Bayangkan istrimu nanti datang bulan hari pertama. Hari pertama dan kedua itu nyeri sekali asal kamu tahu.”

Aku bergegas ke wastafel dan mengeluarkan kentang dan wortel dari tas belanja lalu mencucinya. “Ibu dulu mau sama ayah kenapa?”

“Kok tiba-tiba tanya? Kamu sudah ngelirik cewek, po? Ya tentu karena cinta.” Jawab ibu tidak repot.

Aku tertawa seadanya. “Ya mau tahu saja.” Aku mengusap tanah yang tertempel di kentang dalam guyuran air keran “Kalau ibu mau tidak dipoligami?” aku bertanya penuh ingin tahu.

“Tidak, lah!” pertanyaanku dibalas dengan sentakan mantap dan ketukan keras pisau pada talenan. “Ilmu agama ibu tidak sedalam itu untuk mengiyakan untuk dimadu. Lagi pula ya, le, ibu yakin tidak ada wanita waras yang mau dimadu!”

Aku mengangguk. Bodohnya, semua salah lidah yang tidak bertulang, aku bertanya “Bagaimana jika ayah selingkuh, bu?”

Ibu tidak menjawab. Yang ada hanya lengang yang diisi suara air mencuci kentang dan wortel. Tidak dapat lagi kutarik ucapan ngawur yang tidak dipikir dahulu itu. Apakah ibu selama ini sudah curiga? Apakah selama ini ibu sebenarnya tahu?

Le,” ibu memecah lengang, “mungkin itu kodrat laki-laki. Kamu juga besok hati-hati kalau sudah punya istri. Ingat selalu wajah istrimu. Jaga hatinya. Umur-umur seayahmu itu memang umur-umur pubertas lagi. Kalau di agama kita diperbolehkan poligami, kalau di agama budemu itu sebelum menikah juga dapat sekolah pranikah dari gereja dan ibu yakin pasti diajarkan bagaimana menghadapi pasangan laki-laki tebar pesona lagi. Mungkin, le, memang aturan-aturan yang susah dimengerti itu diciptakan Tuhan untuk mengakomodir kodrat laki-laki yang begitu.” Ibu tidak bertanya apakah aku menyimpan sesuatu tentang tindakan brengsek ayah. Ibu berpesan kepadaku. “Kalau kelak ibu sudah tidak cantik lagi, ketika ibu makin gendut dan banyak flek hitam di wajah ibu, ketika ibu sudah menopause, ibu tidak ingin mendengar kabar ayahmu selingkuh. Kalaupun dia selingkuh, jangan sampai ibu tahu. Begini saja ibu sudah sangat bahagia.”

Bibir bawahku kugigit. Aku telan bulat-bulat kata-kata yang akan menghancurkan hati ibu. Dalam hati aku memaki diriku sendiri. Jika ibu bahagia tidak mengetahuinya, kenapa beliau harus tahu? Kenapa reaksi natural kita adalah langsung mengumbar pasangan yang selingkuh kepada pasangan yang diselingkuhi? Bahkan aku belum dengar penjelasan ayah siapa wanita rambut merah tadi. Tidak main-main rasa takutku muncul. Bagaimana jika kelak aku tumbuh seperti ayahku dan aku tidak bisa menjaga hati istri dan anakku? Akankah aku menjadi suami yang baik? Apakah ketika aku menjadi seorang ayah aku benar-benar sudah siap menjadi seorang ayah?

Seketika itu juga terdengar suara mobil ayah datang. Air muka ibu berubah riang. Ibu langsung berlari kecil membukakan pintu sembari dengan riang berseru “Ayah datang, ayah datang!”

Aku mengikuti ibu dengan perasaan campur aduk. Tidak seharusnya aku menanamkan benih perpecahan kongsi di rumah tangga mereka. Suara mobil ayah sudah masuk ke dalam halaman rumah.

Aku melihat mereka berpelukan seperti biasanya. Ayah juga tidak acuh kepadaku seperti tidak ada yang terjadi siang silam. Yang terlihat hanyalah selayaknya istri yang menyambut suaminya pulang kerja.

“Itu gerbangnya ditutup dulu.” Ibu memintaku.

Le, setelah menutup gerbang itu ayamnya goreng diambil.” Ayah menambahi.

“Ayah beli ayam goreng? Kok tidak bilang? Aku sama Indra sudah menyiapkan bahan buat masak sop. Kalau beli lauk itu mbok dikomunikasikan.” Ibu mengomel sembari mereka berdua masuk rumah.

Aku yang sedang menutup gerbang melihati raut wajah ibu. Walaupun sering mengomel kepada suami dan anaknya yang teledor, tidak hilang air wajah seorang istri dan ibu yang bahagia. Sembari menutup pagar, aku melihati jalanan dan langit sore perumahan dan mereka-reka apa yang terjadi di setiap rumah tangga yang menghuni setiap rumah. Pernikahan itu sangat tidak sederhana, pikirku.

Le, wastafelnya belum kamu matikan! Kamu itu, bayaran air itu mahal. Walau kita orang berkecukupan-“ ibu mengomel dari dalam karena aku lupa mematikan wastafel sebelum menyambut ayah.

“Iya, bu.” aku mengambil kotak ayam goreng dari dalam mobil ayah lalu bergegas masuk ke dalam rumah.

Semoga ibu kelak hingga akhir hayatnya tetap menjadi istri dan ibu yang bahagia, begitu doaku dalam hati dalam diam.


 

Identitas Penulis

Nama Lengkap              : Dwipa Indra Atmaja

ID Instagram                  : @DwipaEmbul

Nomor Whatsapp        : 081225602115

Email                                : dwipaindraatmaja@gmail.com

Alamat Peserta             : Jalan Tejomoyo no 20, Kec. Serengan, Kota Surakarta



[1] bedes: monyet (Bahasa Jawa)

[2] mall: pusat perbelanjaan (Bahasa Inggris)

[3] Le: singkatan dari tole, panggilan anak laki-laki dalam masyarakat Jawa

No comments:

Post a Comment