Friday, September 4, 2020

Dinding Hijau Indekos Sarjana Muda

Dikirim ke Lomba Cerpen Ruang Kreasi.
Kalah. 


 Pagi itu Indra bangun dengan gagah. Dadanya dibusungkan. Matanya memancarkan aura yang menantang pemandangnya untuk menggali ilmu lebih dalam. Itulah yang dialami peneliti ketika tulisannya lolos untuk publikasi di jurnal yang mentereng. Terindeks skopus! Kawan, skopus adalah sekumpulan jurnal yang disembah para akademisi.  Skopus adalah klub elit dengan anggota jurnal-jurnal yang super prestis layaknya geng mafia. Dalam masyarakat akademisi, strata sosial ditegakkan berdasarkan seberapa banyak tulisan yang dimuat di jurnal terindeks skopus. Sejauh apapun studi pasca sarjana seorang dosen jika ia tidak pernah namanya disebut di artikel ilmiah yang diterbitkan jurnal skopus, mereka akan datang ke kampus mereka mengajar dengan pandangan ke bawah penuh rasa malu dan cemas. Sebaliknya, seorang bau kencur yang baru kemarin sore mendapatkan gelar sarjana jika mendapati tulisannya diterima, akan berlagak seperti Indra. 

 

Baru 21 tahun, belum dewasa, belum mengendarai mobil ke kampus, baru berstatus sebagai asisten di fakultasnya, baru saja mendapatkan gelar sarjana, bahkan belum berupah di atas satu juta rupiah per bulan, tulisannya sudah diterima di jurnal skopus yang akan terbit tahun depan. Bukan main rasa bangga Indra. Bahkan dalam kepalanya dia memaki dosen-dosen tua yang selama ini menyalahgunakan status profesi dosen mereka untuk jualan sebagai konsultan hingga lupa berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan bahkan melalaikan Tri Dharma Perguruan Tinggi. 

Berdandan mengenakan batik lengan pendek, kacamata murah, celana kain dan sepatu yang tidak pernah terdengar mereknya, Indra berangkat ke kampus. Dosen yang menjadi atasan Indra memanggil. Beliau baru saja pulang dari luar kota. Entah dari kota mana lagi. Indra berangkat ke kampus lupa sarapan seperti manusia-manusia urban sibuk pada umumnya. Tidak ada sinyal lapar di kepala Indra. Yang ada hanya perasaan bangga dan siap dipuji dan diberi ucapan selamat oleh Pak Ahmad.

Di kampus, Indra berjalan seperti superstar. Auranya sangat terasa. Mahasiswa-mahasiswa adik tingkatnya memanggil Indra seperti penggemar artis korea menunggu idolanya di bandara.

 “Wah gagah banget, Pak Dosen” gurau salah satu mahasiwa.

“Masih calon, hahaha.” Indra menjawab sembari terkekeh.

Indra terperanjat. Ia melihat Wawan. Kawannya sedang duduk cemas di meja di bawah pohon. Indra kagetkan Wawan dengan bertanya, “Ngapain, bos?”

“Lhoh, Ndra?” Wawan terkejut. “Kok masih di kampus?”

Indra ikut duduk menemani Wawan. “Asisten dosen, bos.” Indra menaruh tas beratnya. “Kamu sendiri?”

“Menunggu tes campus-hiring.” jawab Wawan dengan cemas. “Dirimu tidak mendaftar?” cemasnya bercampur dengan rasa ingin tahu.

“TIdak, bos. Aku ingin jadi dosen.” jawab Indra dengan mantap.

“Kerjaan satu kardus, gaji satu sen?” gurau Wawan. Mereka tertawa.

“Indonesia butuh orang yang berjiwa peneliti, Wan.” tiba-tiba Indra serius. “Aku merasa Indonesia memanggilku untuk mengabdi menjadi peneliti, Wan.”

Wawan menganggukkan kepala penuh persetujuan. “Bener, Ndra. Dirimu kan mahasiswa yang paling suka membaca-”

“Sarjana.” Indra mengoreksi. Mereka terkekeh.

“Iya juga.” Wawan menunjukkan raut wajah bingung. “Jiwa peneliti apa sih, Ndra?”

Indra langsung membenahi posisi duduknya. “Jadi gini, bos.” Ia memasuki mode mengajarnya. “Sarjana-sarjana di Indonesia itu sudah banyak sekali yang sarjana hasil industrialisasi. Maksudnya apa, berapa banyak sih jurusan di Indonesia yang mengajarkan mata kuliah filsafat keilmuan? Tanya maba lewat, apakah mereka paham ontologi? Epistemologi? Aksiologi? Mahasiswa bangkotan yang mendalami metodologi-pun juga hanya berjumlah hitungan jari. Aku kasih tahu, Wan, sebaiknya mata kuliah metodologi penelitian itu diganti nama menjadi cara menulis skripsi kuantitatif regresi sederhana saja! Kamu tahu yang lebih membuat hatiku tergerus, Wan? Pihak kampus tidak peduli bahkan menteri sekalipun lebih tertarik memenuhi kuota kebutuhan lulusan S1 oleh pasar tenaga kerja!” Indra semakin menjadi-jadi. Semangat dan idealisme Indra sangat dirasakan Wawan walau hanya sedikit informasi yang didapatkan Wawan karena ia juga salah satu sarjana yang ikut andil dalam membentuk realita yang Indra kritik habis-habisan. Telepon genggam Indra lalu berbunyi.

“Waduh, aku lupa aku dicari Pak Ahmad, Wan.” Indra menyela ceramahnya sendiri.

“Silahkan, bos.” Wawan mempersilahkan. “Semangat menjadi dosen, Ndra. Aku dukung.” Wawan tulus mendukung Indra.

“Terimakasih, bos.” Indra beranjak dan mengenakan tas beratnya. “Semoga jika memang rejekimu tesmu ini kelak lancar, Wan.” Memang sangat positif pergaulan dua orang dewasa muda yang baru selesai remajanya ini. Wawan membalas meng-amin-i.

Fasilitas kantor untuk para kasta terendah peneliti yang diberikan fakultas adalah ruangan berantakan 3 kali 6 meter pengap dengan AC yang sudah tidak dingin. Di ruangan itu Pak Ahmad menunggu sembari bermain telepon genggamnya yang canggih dan mahal.

“Kok, agak lama, Ndra?” Beliau bertanya kepada Indra yang belum duduk.

Indra mendekati meja yang sudah penuh coretan spidol. “Tadi bertemu teman kuliah, pak.”

“Saya lihat tadi ada ujian masuk kerja di aula besar. Kamu tidak ikut, bukan?” Interogasi Pak Ahmad.

“Tidak, pak. Saya ingin jadi akademisi saja.” jawab Indra penuh keyakinan.

Pak Ahmad memerhatikan gawainya kembali. “Memang kamu orang yang sangat idealis. Kampus ini memang butuh orang-orang sepertimu! Yang berani keluar dari zona nyaman. Berani hidup berpuasa untuk kemajuan Indonesia dan harkat martabat manusia!” puji Pak Ahmad membuat Indra tersipu. “Bagaimana artikel yang kau kirim ke jurnal internasional itu? Dosen-dosen tadi memberi ucapan selamat ke pusat studi ini.” Pak Ahmad tiba-tiba bertanya.

Indra sumringah. “Diterima, bapak!”

Wajah Pak Ahmad ikut sumringah. “Ada konferensi atau langsung publikasi?” Kawan, suatu hal umum jurnal-jurnal terkenal mengadakan konferensi untuk calon-calon artikel yang akan dipublikasi demi menjaga kualitas dengan memberi masukan untuk bahan revisi saat konferensi.

“Korea Selatan, bapak!” senyum tidak bisa dibendung Indra. “Akhir November! Saat musim gugur!” Indra seperti anak kecil yang dijanjikan ke Dufan pertama kali.

“Akhir November? Sepertinya tidak ada jadwal ke luar kota.” Pak Ahmad masih fokus dengan gawainya entah apa yang dia lakukan. “Tolong buatkan paparan untuk konferensi. Buat dengan narasinya mudah dimengerti. Artikelnya tentang apa?”

Indra merasa janggal. “Tentang potret realita dikotomi aparatur negara golongan muda dan tua, Pak. Tentang bagaimana para PNS muda memiliki arketipe yang jauh berbeda dari yang tua.”

“Menarik itu. Bagaimana caramu menulis? Apakah dibantu asisten yang lain?” tanya Pak Ahmad.

“Tidak, Pak. Saya sendiri. Teman-teman sibuk dengan agenda lain. Jadi selama 6 bulan terakhir saya-“ semua penjelasan ilmiah dan kerja keras Indra diceritakan. Yang tidak diceritakan adalah fakta bahwa Indra sekian bulan terakhir tidak melakukan kerja paruh waktunya sebagai pelayan di warung kopi karena terlalu fokus mengerjakan paper hebat, tersebut. “Nanti saya ikut atau bapak sendiri?” Indra lancang bertanya.

Pak Ahmad cukup kaget. “Karena ini ke Korea Selatan dan mungkin memakan dana yang besar, kemungkinan hanya saya sendiri. Aturan fakultas jadi-” sisa penjelasan Pak Ahmad sudah tidak didengar Indra. Cukup itu, Indra tidak ikut. Empu artikelnya sendiri.  

“Siap, bapak.” Indra jawab secukupnya. Pak Ahmad tidak menangkap perubahan air wajah Indra. Seperti anak yang dijanjikan ke Dufan namun orang tuanya tiba-tiba ada urusan kantor. “Saya pamit, nggih.

 “Ndra! Kalau bisa malam ini ada prototipe paparannya. Saya akan mengisi pelatihan di Bogor besok pagi.” Pak Ahmad mengingatkan pesanan. Indra hanya mengangguk seperti orang Jawa yang menyapa tetangganya.

Sepanjang jalan menuju tempat parkir Indra tidak mendengar apa-apa. Hatinya terlalu hancur. Dirinya tidak mendengar apalagi membalas sapa dari siapapun. Sedih Indra berubah menjadi cemas di tempat parkir ketika mendapati motornya ternyata mengalami ban bocor. Celaka!

Indra terpaku di depan mesin ATM di samping bengkel. Ia hanya bisa mengambil uang sebesar biaya servis motor karena penyakit motor Indra tidak hanya ban bocor namun komplikasi motor tua. Senyum Indra sangat getir. Ia memukuli mesin ATM berharap ada angka yang berubah. Tidak ada yang berubah. Tidak ada upah kerja paruh waktunya.

Panasnya kota pelajar membuat Indra ingat bahwa dia belum sarapan. Upah kecil asisten peneliti dan biaya tidak terduga juga membuat Indra sadar bahwa dia tidak punya cukup uang untuk membeli makan. Lalu, Wawan tiba-tiba mengirim pesan singkat lewat telepon genggam: Ndra, masih di kampus atau tidak? Ayo makan siang! Ayam geprek biasanya!

Indra tersenyum pahit. Indra menelpon Wawan. “Wan? Aku sudah di kosan.“

“Ayo, aku jemput! Masih di kosanmu yang lama itu, kan?” Wawan menyela.

“Wan, aku sudah tidak ada duit.” suara Indra pecah. ”Tinggal dua ribu rupiah.”

“Kamu kena gendam?” Wawan kaget. “Memang seberapa kecil upah dari kampus itu?” Wawan menanyakan pertanyaan yang membuat Indra membisu. Wawan hanya mendengar Indra sesenggukan. “Demi Tuhan, Ndra! Kamu itu kalau butuh apa-apa bilang saja! Kamu sekarang siap-siap aku jemput ke kosanmu. Aku dari kampus. 10 menit sampai. ” Wawan membentak, mengingatkan Indra.

“Terima kasih, Wan. Aku tunggu, ya. Maturnuwun.” jawab Indra menutup telepon dengan lirih tidak bisa berbicara banyak.  

Indra berbaring di kasur memeluk perutnya. Yang tersisa hanyalah idealisme dan suara perut keroncongan. Tidak ada nasi. Apalagi lauk. Menunggu Wawan, air matanya terjatuh. Bukan karena kelaparan, namun karena baru kali itu Indra bimbang dan tersadar bahwa idealisme tidak bisa dipakai untuk membeli nasi. Tidak ada yang mendengar tangisannya, kecuali dinding kosan sempit berwarna hijau.

Identitas Penulis

Nama Lengkap              : Dwipa Indra Atmaja

ID Instagram                  : @DwipaEmbul

Nomor Whatsapp        : 081225602115

Email                                : dwipaindraatmaja@gmail.com

Alamat Peserta             : Jalan Tejomoyo no 20, Kec. Serengan, Kota Surakarta

 

No comments:

Post a Comment