Tuesday, May 13, 2014

Murid Sosial dan Sains 3 Harakat



Belum berjarak 24 jam sejak aku dicemooh sebaai remeh temeh siswa IPS. Tapi kawan, Tuhan itu Maha asyik. Tuhan telah menata konstelasi rencanya dalam blue print yang sakralnya tak tanggung tanggung. Semua organ dalam tubuhku meledak ketika kudapati diriku mewakili kotaku untuk maju ke tingkat provinsi, dalam ajang olimpiade ssssssssaainnsss. Bukan, bukan sains, tapi sssssssssainnsss. S dibaca 3 harakat.

                Motivasi hidup adalah hal yang essential di abad modern ini. Bahkan tidak seidikit pula orang orang yang menjadi motivator untuk menghidupi keluarga mereka. Mereka yang menjadi motivator adalah orang orang tua yang penuh dengan optimisme jika tidak bisa dibilang sebagai tua bangka oportunis.
                Kawan, tidak perlu ibuku mengiming ngimingiku laptop baru untuk membuat diriku yang malas tak terkira ini mau belajar. Kurang lebihnya tidak masuk jurusan IPA bukanlah hal yang cukup mecambuk jiwaku. Mau bagaimana lagi, sejak kecil aku selalu diajarkan nrimo ing pandum. Menerima apa adanya. Walau sering kutemui juga orang yang selalu menerima apa adanya adalah orang orang yang susah makan dan tidak pernah tidur nyenyak karena dikejar hutang sana sini.
                Sebenci bencinya aku terhadap kawan kawanku, itu semua terhitung aku gelut dengan Niko dan Diva karena perkara ngureg ngureg silit, kawan, primordialisme itu tetap ada. Mungkin primordialisme itu sekarang sudah ranum menjadi etnosentrisme atau kemungkinan lebih buruknya lagi sekarang sudah beranak pinak menjadi keluarga besar chauvinisme. Ah kawan, bukan cuma dokter yang pake cincong ilmiah, sosiolog juga punya diksi maha sexy untuk diucap. Tanpa banyak cakap, seperti alasan tawuran tawuran di jalanan ibu kota, motivasiku simple : sakit hati.
                Ini semua berawal dari stigma anak anak jurusan IPA yang sesuka udel mereka bisa murtad jurusan masuk ke fakultas IPS macam ekonomi. Kawan, pernahkah kalian melihat anak anak IPS kuliah kedokteran ? Karena aku ini adalah orang yang mensekiankan penggunaan otak, tanpa banyak cincong aku mendaftar pendaftaran peserta olimpiade sssssssssaaiinnsss. Jika aku mendaftar tim fisika, matematika, biologi, kimia yang notabene adalah IPA murni aku akan mati sebelum memegang bedil, maka aku mendaftar babagan IPA terapan : astronomi dan komputer.
                Ketika hari pendaftaran astronomi, ketika aku melihati soalnya, mencret mencret hebat diriku. Kawan, nolnya banyak sekali. Akutansi pun tidak pernah angka angkanya tembus satu milyar. Keringat dingin mengguyur tubuh gembrotku. Aku benar seperti babi menunggu penjagalnya. Pak Mun yang kebetulan guru fisika semasa kelas X, datang menjawil pundakku. Penjagalnya datang. Aku disekak mat oleh soal. Aku kalah. Aku runtuh dihunus ini itu bahasa IPA. Aku mundur perlahan. Terkulai lemas.
                Di hari selanjutnya, kawan, motivasi itu benar hebat efeknya. Aku belajar sampai ambeien semalaman suntuk. Olimpiade komputer itu bukan hal dasar macam mengetika bleh bleh bleh. Olimpiade komputer itu berisi pemrograman pascal, matematika diskrit dan hal hitungan lainya. Motivasi membakar keputus asaanku. Peduli setan. Orang yang kalah sebelum bertanding itu sampah. Diriku mengerjakan soal seleksi seperti halnya mengerjakan tes IQ. Susah susah gampang nggateli. Walau tidak sekali aku diremehkan anak IPA itu, aku tetap saja ngudel, keras kepala mengerjakan soal. Toh, makin tersinggung, makin semangat diriku.
                Senin itu, ya ampun, aku diterima menjadi tim olimpiade sekolah yang terdiri dari 6 murid. Aku seperti eminem yang berkulit putih di kalangan orang orang berkulit hitam-IPS sendiri. Tidak,tidak minder, makin kurang ajar malah diriku. Toh, nyatanya aku bisa sampai titik ini, kenapa harus malu ? Stereotype itu aneh seaneh anehnya aneh. Aku akan maju olimpiade sssssssssaaiinnsss pertengahan bulan depan. Demi nama anak IPS.
*******
                 Malam sebelum lomba aku bergidik sendirian. Tidak ada narkoba yang bisa menenangkanku. Tidak ada tembakau yang bisa meringankanku. Aku mual. Ayanku rasanya ingin meledak, mati tepar dalam keadaan mulut berbusa. Aku, anak IPS yang sepele ini, akan maju olimpiade sssssssssaaiinnsss. Aku grogi. Aku anak IPS, IPS dua lagi, yang jauh dari kata pintar, apalagi ilmu sains, harus maju membela sekolah dalam ajang yang gengsinya tidak tanggung tanggung tingginya. Separuh hati aku menyesali kengeyelanku dan ke-terlalu-optimisan-ku. Separuh hati aku kecewa terhadap aku yang separuh hati. Aku galau. Aku tersesat. Semua alam terasa semakin gelap dan kelam. Aku lemas sepanjang malam, dihantui oleh tawa kuntilanak, tuyul berkeluyuran, jenglot pecicilan, pemrograman C++, Java, pascal, bahas HTML dan matematika diskrit. Aku semakin tersesat. Tersesat sehilang hilangnya raga dan jiwa.
*******
                gimana le, tidur malam nyenyak ?”, Guru pembimbing berbasa basi. Sepertinya kantung mataku kurang berteriak “NGANTUK CUK”.
                “Nyenyak pak”, aku berbohong.
                Semakin panjang pengarahan pak guru, semakin gelap mataku ditutup kantuk. Seingatku aku sudah mendapati diriku duduk di ruang olimpiade, merasa asing. Aku benci atmosphere anak anak sombong ini. Melihat matanya saja seakan diajari teorema teorema segitiga tetek bengek. Model rambut mereka mencibir aku yang buruk rupa ini. Pawakan tubuh mereka keliatan sekali mereka mereka ini menerapkan kaedah 4 sehat 5 sempurna. Rasa jengkel meletup letup.
                Ketika seorang penjaga yang bawaan mukanya garang – sepertinya mantan pembunuh tapi entahlah – menyuguhi aku dengan racun yang harus keteguk (baca : soal olimpiade), aku mencoba sedikit dingin. Kuintip sedikit soal nomor 1, separuh jiwaku mati. Aku merinding. Aku mati di titik klimaks tantangan. Aku malu. Orang yang lebih busuk dari orang yang tidak bisa mengerjekan sesuatu adalah orang yang sok sokan bisa sesuatu. Aku takut membuka soal nomor 2. Bisa bisa aku mati karena setahuku separuh itu setengah, dan setengah tambah setengah itu satu. Aku bukan kucing.
                Aku hanya mengerjakan 8 soal yang kiranya sebatas otak IPS. Aku menangisi diriku yang hina dan sok ini. Aku tertidur dalam ngeri ngeri soal sssssssssaaiinnsss. Aku mawas diri kenapa aku tidak bisa masuk IPA tempo hari dulu.
                “Mas, bangun.”, aku dibangunkan bapak bapak brewokan tadi.
                Sontak aku gelagapan, “Ah, ah iya pak.”. Lalu sok sokan memegang ballpoint tanda agar dibilang pintar. Ah, hina sekali aku ini.
                Dilihat bet XI S2 di pundakku. Aku menggerakan tangan tanda risih. Bah, matanya tetap saja melihati betku.
                “Mas, IPS ya ?.” walau terdengar sopan, matanya mencibir. Ingin sekali aku colok matanya.
                “... iya, pak.”
                Bapak bapak tadi pergi dari membangunkanku dengan menyimpul senyum rasa menang. Optimis anak didiknya maju ke tingkat provinsi bisa dilihat dari air mukanya. Jengkel betul aku.
                Kawan, yang kalian butuhkan hanyalah motivasi untuk memaksimalkan potensi diri. Aku ingat kenapa aku nekat masuk ke tim olimpiade sssssssssaaiinnsss : sakit hati dan rasa ingin membawa nama IPS dari jurang cemooh. Maka, terbakarlah emosiku. Emosi tadi menuangkan rahasia ilahi dalam otakku yang kurang lebihnya kopong ini. Pemograman bertingkat if-or-while-damn seperti mengerjakan tambah kurang saja. Aku membara. Ketika pseudo-pascal yang njelimet dan beranak pinak cabang proses programnya aku coba kunyah kembali, ada energi misterius yang membuatku mengerjakan soal soal ini seperti halnya menjawab soal ulangan harian biasa. Walau aku tersinggung, bapak bapak tadi adalah patriot IPS, terima kasih pak, tanpamu tidak akan ada energi misterius yang meledak di dalam kalbuku. Aku keluar dari ruang olimpiade dengan sedikit busa di mulutku dan mengerjakan 35 dari 60 soal. Lebih baik dari mati tanpa mencoba.
*******
               
Bacalah paragraf pertama.

Indra.

No comments:

Post a Comment