Friday, May 9, 2014

Waktu Berbangga dan Waktu Malu



                “LA Bunuh Diri Gegara Tidak Bisa Mengerjakan Soal UN”, Hatiku teriris. Pahit lidahku. Mengecap ngerinya tindak perilaku kita kita ini hanya karena tidak bisa mengerjakan UN. Satu hal beranak pinak, siapakah yang harus kita salahkan ?
                 *******

 
                Kawan tentu ingat akhir akhir ini banyak kakak kakak kelas 12 yang dibuat geger gegara Pakde Nuh mengublek soal UN seenak udelnya dengan soal soal standar internasional. Kata Menteri, ini semua agar anak anak tidak manja. Kata anak IPA, ini tidak adil. Kata anak IPS, *ngehe*. Kata anggota dewan, ini bukan urusan saya. Kata dia, NAH ITU MAKSUD SAYA. Kataku, siapalah aku ini.....
                Di sini saya, anak IPS yang sepele ini, akan mencoba berunek dan silahkan renungkan ini. Ini adalah renungan anak IPS yang kalian bilang ‘nggak pinter’ karena jika saya tulis ‘goblog’ mungkin nanti kesanya masyarakat menjadi menganak tirikan anak IPS. Padahal, mungkin, iya. Ah sudahlah. Kami berbeda, kami tahu, kami terima itu semua dengan mawas diri. Tidak usah nglegani kita. Kami juga belajar sosiologi bab stratifikasi sosial, fellas.
                Jika kalian kalian ketika di juruskan di jurang kelas sosial yang entah dari mana asalnya ini, apakah kalian yang masuk kelas hitungan merasa hebat ? Maaf kawan, bukanya saya mengolok kalian, tapi apa dasar anda ?
                Pernah suatu hari ketika saya memasuki jurusan IPS membaca tweet yang isinya kurang lebih seperti ini, “Udah masuk IPS tapi masiiiiih saja nggak terima kalo berdosa sama orang tua”. Pahit kawan, pahit. Brotowali. Mau kalian buka di kitab manapun, tidak ayat yang menjelaskan masuk ke kelas IPS itu sebuah blasphemi. Bukankah sebuah ironi bahwa sebenarnya kalangan yang sering menantang kuasa tuhan adalah mereka mereka yang ‘cukup pintar’ di bidang sains ? Darwin misalnya. Apa ? Mengecewakan orang tua ? Terserah kalian sajalah.
                Tapi kawan, apakah kalian tidak merasa terbebani ? Kalian adalah panutan kami. Kami, para IPS, sering sekali dibanding bandingkan dengan kalian. Kami iri. Kalian seperti anak kelas akselerasi yang selalu disunggi sunggi pihak sekolah sedangkan kami adalah anak anak reguler yang buang air kecil saja susah karena langka air. Boleh mereka bilang IPA dan IPS itu sama saja. Tapi kami mafhum kawan. Sungguh mafhum.
                Ketika kalian menjadi panutan kami, ketika kalian remidi matematika, fisika, kimia, biologi, apakah dalam hati kalian merasa malu ? Mana koar koar kalian yang bilang “Udah masuk IPS tapi masiiiiih saja nggak terima kalo berdosa sama orang tua” ? Iya, dunia memang tidak adil kawan. Terlalu tidak sopankah aku jika aku mengatakan kalian overrated dan kami underrated ? Kalian adalah singa. Kami adalah hiu. Begitulah analoginya. Setidaknya untukku sendiri.
                UN terakhir, bukankah kalian mendapati banyak yang komplain ini itu soal bleh bleh internasional bleh bleh susah bleh bleh dyaarrr. Kalian bilang ini salahnya menteri. Tapi, apa yang bisa dibanggakan dari orang yang selalu memanfaatkan kesalahan orang lain ?
                Aku, kata mereka, pernah dikatakan sebagai seorang sosok yang IDEALIS. Tapi, kata Sinung, bener durung mesti becik. Sesuatu yang benar belum tentu baik. Pernah aku membaca kalimat itu dan tak tanggung tanggung aku emosi sendiri sampai diare hebat. Tapi kawan, aku malu kawan, tak dibuat buat aku malu. Kalian para idealis yang bilang 1 + 1 = 2 pasti belum pernah mengalami momen dimana 1 + 1 = 10000000. Kalian belum mengalaminya saja kawan, belum.
                Jika memang benar ini semua salah pemerintah, coba kalian putar, banting setir paradigma kalian tentang ini semua. Kenapa kalian tidak berpikir “Aku tidak cukup belajar, ya sudah, aku mawas diri aku pasrah UN.”. Idealis ? Sudahkah kalian cukup layak menjadi panutan kami para IPS ? Apa, menjadi panutan kami bukan pilihan kalian ? Terus, menurut kalian, apakah dunia ini pernah adil ? Di belahan bumi Indonesia lain, ada paling tidak seorang murid yang bisa mengerjakan soal soal internasional tersebut. “IH INDRA SOK NGEJUDGE BANGET SIH. GUA YA GUA, DOI YA DOI”. Kapan Indonesia maju kalau masyarakatnya merasa dijudge ketika dikritik uneg uneg ? :’((
                Jika di belahan bumi lain ada yang bisa mengerjakan soal internasional tersebut, kenapa kalian tidak bisa ? Apa ? Kalian bilang gampang sekali aku ini menulis motivasi ini itu ? Kawan, sudah aku bilang, aku ini mantan sosok idealis. Terserah saja, ini 100% opini dari yang anak yang sepele. Kalau begitu, mana tweet “Udah masuk IPS tapi masiiiiih saja nggak terima kalo berdosa sama orang tua” tadi ? Mana ? Sudahkah ditelan bumi ? Kenapa kalian tidak mawas diri dan berpikir “Aku belum cukup belajar mengerjakan soal ini” ? Ayah pernah bersabda kawan, hidup kedepanya itu tidak sesempit 5-6 lembar kisi kisi UN.
                Tweet “Udah masuk IPS tapi masiiiiih saja nggak terima kalo berdosa sama orang tua” adalah algojo yang siap membunuh orang tua asuhnya sendiri. Ketika anak yang kalian cemooh ini sudah berprestasi sana sini atau bahkan parahnya mengikuti olimpiade sains dan kalian masih sibuk remidi... Ah sudahlah. Sepertinya aku sudah cukup membuat masalah. Kawan, ini semua hanyalah opini. Siapalah aku ini. Siapalah aku ini....

                Janganlah berbangga ketika kalian masuk jurusan IPA. Berbanggalah ketika kalian lulus dari jurusan IPA, dengan nilai yang baik.
                Janganlah malu ketika kalian masuk jurusan IPS. Malulah ketika kalian lulus dari jurusan IPS, dengan nilai yang masih juga, maaf kata, jelek.

Indra.

No comments:

Post a Comment