Friday, May 2, 2014

Harum Melati Tidak Dibawa Angin



                Namaku Putri, siswi IPS yang tidak bisa dibilang cemerlang tapi jika dibilang goblog sepertinya terlalu berlebihan. Setidaknya nilai merah di raporku tidak ada lima biji. Aku tidak bisa dikatakan cantik. Bisa dibilang aku kalah cantik jika dibandingkan Indra. Rambut terurai sampai kerah sedikit kumal karena susah air. Mata setengah ngantuk. Benar seperti wanita IPS kebanyakan. Aku tidak bisa dibilang cantik. Aku tidak bisa dibilang pintar. Apalagi dibilang calon duta besar. Itu Putri yang lainya. Bleh. Sudahkah aku menyebutkan bahwa diriku juga agaknya sedikit bermasalah dengan moral ? Ah sudahlah.
                Janganlah kalian bosan. Ini lagi lagi cerita cinta. Cinta segitiga di lingkaran sahabat. Cukup klise ? Ah, mungkin iya. Tapi bagaimana lagi, aku tidak ingin yang mengetahui perasaanku hanya angin dan tuhan.

                Aku adalah anggota geng terkemuka di bumi pertiwi yang bernama TBC. Entah apa kepanjanganya tapi sebut saja itu. Namanya juga anak IPS, jadi kami kiranya tidak terlalu tahu apa itu Tuberculosis. Ada kata Tuber di Tuberculosis. Di otak kami Tuber itu semacam terjemahan kata Turbo dari bahasa yang kini suku penggunanya sudah entah raib ditelan bumi. Turbo berarti cepat. Cepat berarti motor besar. Motor besar berarti hebat. Begitu.
                Sebagai wanita yang lahir tertua di antara wanita geng lainya, agaknya telah membuatku merasa memiliki mereka sebagai adik sendiri. Apalagi Sari. Walau lebih tinggi dariku tapi tidak ada cerminan dia jauh lebih tua dari aku. Mukanya tidak bisa dibilang imut tapi memang terlucu jika kalian bandingkan dengan member lainya yang, ya tuhan, tidak terperi gaharnya. Suaranya seperti kaleng kerupuk diseret tapi memang ini adalah trademark miliknya. Suara jenakanya memang ampuh memecah suasana. Apalagi pipinya yang maha tembem. Ah, punya Indra bukan apa apanya. Pencair suasana nomor wahid.
                Primordialismeku di geng ini benar terwujud adanya. Walau kata masyarkat Etnosentrisme membunuhmu tapi mereka tahu apa ? Kawan, janganlah kalian terlalu percaya kalimat poster. Aku mendapatkan kasih sayang sebuah keluarga di dalamnya. Aku memiliki adik adik yang cerewet dan sangat menyayangiku. Kakak kakak kang mas yang jenaka dan asyik bukan main walau kiranya sedikit tak punya etika. Dan di atas semua itu di sini aku bertemu dengan, ah seperti kata pujangga, bunga pengisi taman bunga. Liliaceae ku. Bunga bunga tulip yang menguncup uncup malu di dalam taman hatiku. Yang termanis dan tersayang, Rama.
                Rama si mata teduh. Rama si pelengkung senyum. Rama si hitam manis. Rama si jambul tampan. Ah, Rama Rama dan Rama. Manis sekali wajahnya. Kawan, kuberitahu, jikalau kalian berkesempatan bertemu denganya walau hanya sekelibat saja, ucapkan selamat tinggal kepada cinta untuk pacar anda. Dia adalah bintang dan bulanku. Entah apakah dia menganggapku matahari atau apa. Aku terlalu malu. Tapi kurasa kami saling tahu rasa walau tanpa kata. Kurasa. Walau hubungan kita hanya sebatas lirak lirik dan ngobrol ngobrol kecil asyik, itu sudah cukup indah untukku. Ah, di dalam mimpi aku sudah dipinang olehnya dan memiliki anak 3. Dan jika mendengarnya bermain gitar, uuuuhhhhh. Fingerstylableh punya Indra bagaikan suara babi diare sakaratul maut. Meledak ledak jantungku. Kembang kempis dadaku. Terkencing kencing diriku menahan rasa cinta  yang sampai kini hanya tersangkut di tenggorokan.
                Dia adalah pangeran kuda putih geng kami. Tidak jarang kami para member perempuan memainkan peran para wanita wanita setengah baya yang tidak tahu diri, memujanya dan berharap akan menjadikan kami selir selirnya, menggantikan para suami kami yang sudah tewas dulu dulu.
                “Ih, itu pangeran.” Begitulah cekikan awal yang tidak jarang terdengar.
                “Aih, manis kali itu bujang.” Sari adalah accompliceku dalam drama ini. Partner in crime bahasa gahulnya.
                “Rama~” seperti cabe cabe di ibukota kami menyapanya.
                Ah, andai saja ia benar tahu rasaku. Tapi agaknya aku cukup beruntung karena Sari juga multifungsi menjadi tameng jikalau nanti, suatu hari nanti, teman teman bejatku menjodoh jodoh menye menyekanku dengan Rama. Walau itu memang ide semua drama ini tapi agaknya aku tidak cukup tega. Tidak cukup nyali tepatnya. Bisa bisa meledak kepala dan mati bahagia aku.
                Walaupun Mus dan Ales adalah contoh nyata bahwa hubungan roman dalam gengku itu ada, tapi kiranya aku, ah aku, aku takut betul. Walau di otakku kami sudah punya 3 anak dan hidup dengan dana pensiun di mahligai rumah tangga yang indah dan sehat jasmani dan rohani, tapi untuk bilang cinta saja ulu hatiku ngilu, perutku kram, bernafas saja susah. Ah, cinta memang luar biasa.
*******

                Hari itu adalah ulang tahun Punta. Kawan, Punta adalah perempuan seni harga mati. Ia mengidap obsesi kompulsif terhadap dangdut dan campursari. Karena tidak ada ekskul dua musik tersebut, maka ekstrakuliler keroncong pun jadilah. Semua akan dilakoninya asal itu semua berbuah ia boleh berbisik teratur ria di depan khalayak umum. Jadi, tidaklah suatu hal yang membuat kita kaget jika di hari sweet seventeenya Punta menggelar dangdut-all-night-long di rumahnya. Semua kelas 11 diiundang ! Benar gila obsesinya.
                “Jangan kebanyakan banyak motor cah. Itu panggung di kampung. Tahu dirilah kalian” begitulah Punta bersabda.
                Kami mendengar larangan banyak motor itu membuat kami memutar otak. Tolong jangan sangkut pautkan dengan “statement anak IPS tidak punya otak”, itu hanya mitos. Kami mensortir unit motor yang akan dipakai. Kami terpaksa berboncengan.
                 Alam lah yang menjadi saksinya. Aku seakan mati bahagia karena tersetrum. Aku, entah bagaimana prosesnya masa bodohlah itu, terjatah semotor dengan Rama. Jika kalian bilang paragraf ini kurang spesial untukku, begini kawan, aku menyimpan rasa semua indahnya hidup untuk dituliskan ketika aku diboncengkan Rama. Kuulangi sekali lagi, AKU DIBONCENGKAN RAMA. <<<<< BACAAAAAA
                Ketika malam tiba, aku kenakan segala macam tetek bengek yang tercantik dan termahal yang kupunya. Sepatu converses ori yang kubeli susah payah dengan puasa berbulan bulan tidak jajan. Celana jean merek berada yang pasti kalian kalian belum pernah dengar jadi sengaja aku tidak tuliskan di sini. Juga hasil puasa. Kaos nyetil cantik warna kuning untuk mengimbangi imutnya jean akuh. Ah, seperti artis ibu kota saja aku.
                Di base camp geng kami, ah aku munafik sekali dalam hal fashion. Walau aku tidak merokok tapi setelan nyetil ngejreng bukanlah aku sekali. Di dalam hati aku mengutuki diriku sendiri. Ah, ingin sekali aku pulang kerumah. Aku terkencing kencing cemas karena aku yang selalu mengenakan jaket denim serba jantan ini tiba tiba menjadi imposer Nike Ardilla.
                Tidak terlalu lama aku mengutuki kemunafikanku. Rama, ah, boleh mereka mereka bilang norak, dia seperti pangeran celtic dari dunia yang tidak pernah ada hanya saja ia menunggang motor bukan kuda putih. Aku grogi. Bagi mereka yang mengalami stres jangka panjang karena memendam cinta dan jarak solusinya hanya sebatas menaiki sadle motor tentu menjadi alasan yang cukup valid kenapa sekarang dadaku gegap gempita.
                Aku, setempo perjalanan, menyandarkan kepalaku di jaket Rama. Jauh dari kata wangi tapi peduli apa. Aku sedari tadi salah tingkah. Kawan, Cinta itu benar hebat pengaruhnya. Aku tidak peduli pada dinginya angin malam. Di belakangnya, hangatnya jauh lebih hangat dari matahari. Apakah aku terlalu hiperbolis ? Kawan, aku tidak terlalu memperhatikan sekelilingku. Aku terlalu kalut dalam taman eden. Aku dan Rama menunggangi kuda putih maha gagah, menyusuri tenang dan indahnya padang bulan. Melayang layang mengajak terbang para ilalang. Tanpa kata kata. Teman temanku, silahkan saja kalian pergi duluan. Tinggalkan kami berdua sendirian. Tinggalkan saja. Biarkanlah aku hanyut dalam kasmaran.

No comments:

Post a Comment