Saturday, April 19, 2014

Kelas Para Protagonis


                Akhir Juni tempo hari aku mendapati diriku membaca kelas baruku : XI S2. Dan betapa remuk redam seluruh harapanku terhadap karir sekolahku ketika melihat teman teman kelasku. Tuhan, mereka adalah anak anak yang kelebihan energy. Bahkan ada di antara mereka murid murid yang bisa dibilang harus mendapat perhatian khusus dari guru, entah itu secara moral atau penyakit batiniah. Dan hatiku semakin pecah mengingat aku adalah anak yang kualitas nilainya segarda dengan mereka. Maka siapalah diriku ini untuk protes ?
                Senin berikutnya aku berat hati melangkahkan kakiku ke dalam kelas paling pojok gedung induk yang kondisinya sungguh berdebu. Kelasku begitu menyedihkan lokasinya. Jauh di lorong dilupakan fasilitasnya oleh piha sekolah. Aku kurang lebih masih belum bisa menerima kenyataan dingin ini. Beberapa wajah sudah kukenal. Ada yang komrad musik keroncong. Ada seseorang yang berasal dari kelas X yang sama. Ada atlit atlit beladiri. Blablablablablablabla kembali ke paragraph satu tentang deskripsi yang kurang lebih begitu.

 
                Dan betapa tidak bijaknya sekolah memberi kelasku yang tidak bisa dibilang normal ini wali kelas yang bisa diukur masih sangat muda. Kiranya harusnya kelasku ini diberi wali kelas yang sangat tua yang kira kira bentakanya bisa mengendalikan keributan kami -yang mengalahkan keributan 1998. Pak Mario adalah wali kelas paling muda dari seantero sekolah. Aku ragu betul tidak aja aja. Kembali ke pertanyaan retoris “siapalah aku ini ?”.
                Kelasku kiranya tidak bisa digambarkan dengan satu paragraph. Kuusahakan karena kalian pasti benar benar ingin tahu betapa hancurnya komposisi kelasku. Tidak terlalu hancur sih, aku terlalu hiperbolis.
                Kami adalah kelas yang disusun dari kaum kaum yang bisa dibilang komplit. Kelas kami memiliki banyak pemegang aji di ekstrakulikuler, di antaranya : ketua klub bahasa Inggris, tangan kanan pecinta alam, tangan kanan kegiatan paskibra,tangan kanan rokat rokris, ketua PMR dan, ya ampun, ketua OSIS. Atlit pembawa nama kota kami ke ajang provinsi bahkan ada 2 atau 3. Ada dua anggota keroncong sekolah, pemain gitar yang sekarang murtad instrument menjadi biola dan pemain gitar kecil cak. Mulai bagian ini kurasa akan agak sedikit memburuk, pertama ada mereka mereka yang doyan sekali tidur di kelas. Ada juga yang memiliki kelain neurolis yang ditangani tanpa kaedah para ahli pandaedogik sehingga jiwanya kurang lebih agak goyah. Jangan lupakan mereka yang suka mengikuti mangkir mangkir pada jam jam yang gurunya membosankan minta ampun. Tidak, semembosankanya guru yang mengajar aku tidak cukup jantan untuk pergi dari kelas. Apakah aku sudah bilang aku adalah laki laki termuda? Atau yang paling parah paguyuban insan yang suka buang gas sesuka udel. Kami adalah contoh asli bahwa masyarakat lebih suka mencari cari keburukan suatu individu karena kelas kami selalu dicap biang kerok padahal dalam hal menyumbang prestasi kelas kami adalah donatur aktif. Ah, masyarakat. Kami adalah pencerminan gap gap yang ada.
                Kenakalan kami mungkin tidak seekstrem yang sering digambarkan di sinetron sinetron yang jauh lebih amoral dari kami. Selain kegiatan harian yang sudah sudah ada di belahan bumi lain macam sekedar mencontek, membawa hape ketika ujian umum, tidur dalam kelas, colut dan membolos pada hari hari pulang pagi, kelas kami kiranya jauh di atas rata rata kenakalanya dari rata rata seluruh IPS di Indonesia.Kenakalan kami jika kutulis mungkin akan sangat tebal. Mungkin jika dibukukan saking tebalnya bisa dipakai sebagai kitab aliran sesat baru.
                Tentu setelah membaca deskripsi yang kurang lebih seperti ini yang agaknya aku sedikit lebih lebihkan kalian harusnya tahu goncangan kultur yang aku alami waktu aku pertama memasuki kelas. Tentu aku tidak bohong, aku tidak mendaftar menjadi anggota dewan. Pada hari pertama saja aku sudah disuguhi meja tepat di depan meja guru dan aku duduk sendirian. Tentu kami mengalami penyakit moral di mana duduk di kursi meja di depan meja guru, akan berdampak terhadap kenyamanan yang akan berkurang sekian persen.
                Kurang lebih aku masih tidak bisa menerima kenyataan ini selama tiga minggu. Tentu, siapa yang akan betah setiap hari payudaranya dicubit sampai merah atau bahkan celananya dibakar dengan korek api sampai benar benar bolong gosong terbakar atau parahnya dihujat guru seantero sekolah. Iya, tiga minggu.
                Pada minggu ke tiga, jika tidak salah hari Jumat. Aku mengetahui apa yang dimiliki anak IPS dan, kebanyakan, anak IPA tidak. Aku menjadi tahu kenapa tuhan memasukanku di sini. Di kelas yang kelakuanya maha rusak ini, aku mempelajari apa yang selama ini tidak diajari kurikulum kurikulum. Jikalau aku masuk ke dalam jurusan IPA mungkin aku akan tetap menjadi individu yang egois dan tidak bisa adaptasi, sehingga aku akan tetap memelihara semua sikap idealis dan pragmatisku. Pada Jumat itu, komrad kelas kami yang mengalami gangguan neurolis kumat dan semua kelas geger dibuatnya.
                Ia kumat, seluruh isi perutnya keluar, seluruh meja digunakan sebagai pelampiasan, aku dibuat merinding karena aku tahu dia tidak sedang kesurupan. Jikalau dia kesurupan mungkin aku bisa membantu tapi tidak ada roh nakal yang mengusik kelas. Maka betapa ngerinya bahwa kekalutan kelas ditimbulkan roh yang tidak tenang tetapi masih hidup.
Dan semua padangan dan hipotesis dan seluruh suudzonku tentang kelas ini pecah. Mereka bukanlah anak yang plain nakal. Mereka adalah anak yang memliki solidaritas tinggi dan kreatif hanya saja sekolah memang bukan tempat untuk mereka sehingga di mata masyarakat mereka hanyalah pemuda yang menyiakan masa mudanya. Ketua kelas kami langsung memegang kepalanya yang menggeram geram seperti meminta sesaji. Pucuk si tukang tidur langsung menyingkirkan semua meja yang sekiranya akan fatal jika kekalutan ini berlanjut lebih lama. Nicko si brewokan tanpa komando langsung mencengkeram badanya yang menggelinjang. Siswa siswi lainya mencari guru guru yang sekiranya ahli spritiual dan wali kelasku yang akhirnya datang terlambat. Aku dan beberapa siswa sisanya hanya bisa menyingkirkan semua tas yang sekiranya jika dibiarkan di tempat akan berbau tengik gara gara muntah. Pada waktu itu aku rasakan harmoni yang belum pernah aku rasakan seriwayat hidup hidupku. Maka, ah Tuhan, terimakasih kau tidak membuat nilaiku cukup tinggi agar aku bisa belajar sesuatu yang tidak bisa didapat dari sekedar menghitung dan mencatat dan menghapal dan blablablablabla yang selama ini aku prioritaskan.
                Aku merasa berdosa selama ini tidak mensyukuri kelas ini. Rencana tuhan memang maha sempurna.
************

                Nama nama kelas dan singkatan singkatan kelas yang sedikit alay memang sekarang adalah fenomena yang sudah menjamur di masyarakat. Kelas kami pada umur satu bulan belum memilikinya. Kami berunding. Dan aku juga mencoba sedikit nakal dalam hal ini karena aku tidak ingin terbayang terus rasa kecewa tidak bisa masuk IPA. Aku masukan segala imajinasi dan kiranya hal hal yang sedikit nakal yang otak ini bisa hasilkan. Aku senang aku sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan. Aku tidak bisa terus terusan menjadi singa jika sekarang sudah di lautan bersama ikan ikan lainya.
                Dan inilah awal dari lahirnya kelas para protagonis SMA ini. Setting cerita cerita yang bukan sudah sudah. Kami para komrad IPS. Kami berbeda.

…..Tetek Soda
…..Teman Teman Kompak Sosial Dua

Indra.

No comments:

Post a Comment