Wednesday, April 23, 2014

Musim Dingin


                Memang mereka berbeda agama. Bukan hanya Aldho dan Bunga yang memiliki cinta yang berakhir tragis. Tapi memang cinta milik Aldho dan Bunga adalah yang paling tragis. Tapi bukan hanya mereka yang berakhir dengan tangis.
                Roy dan Winda bertemu di musim panas di bulan Juli. Bukan, kami hidup di Indonesia, kami tidak menganut empat musim, musim panas adalah metaphora. Kenapa musim panas ? Mereka mengenal perbedaan anutan sejak awal, tetapi masa bodohlah. Sungguh optimis bagai musim panas.
                Kiranya ini tidak begitu tragis. Ini hanyalah kisah klasik friendzone. Kehancuran sepasang sahabat pria wanita karena si wanita terlalu lelah menunggu yang berakhir si wanita punya pacar sendiri bleh bleh bleh. Atau mungkin begitulah garis besarnya. Tangis sudah menguap sebelum mengalir lembut di pipi mereka sehingga memang tidak ada air mata jatuh. Secara teknik betul. Tetapi luka tidak mengembang bersama tangis.

                Kisah ini berawal di musim panas bulan Juli. Memasuki bulan ke dua tahun ajaran baru memang saat yang pas tebar pesona. Tidak jarang interseksi ada di dalam lokal, kelas sendiri.
Roy agaknya laki laki tertampan di kelas. Bukanya rasis tapi jika kalian disuruh memilih antara ras Jawa Tengah-an yang maha kumal dan pesing dan kotor dan hitam dan bau dan pesing dan kotor dan dan dan duuarrrr, dengan Cina-Arab dengan ukuran hidung seperti terkena kanker tetapi sehat walafiat, alis mata yang tebal maha sexy, air wajah bawaan periang dan apakah aku sudah menyebut dirinya cukup berada dalam hal materialistik ? Dan ya ampun, dia adalah atlit taekwondo, kira kira kalian pilih yang mana ? Jangan dijawab, ini hanya membuatku semakin minder.
Winda jauh dari cantik. Tapi apaboleh buat, yang bisa melihat itu mata, bukan cinta. Dan jangan suruh aku melanjutkan mendeskripsikan dia. Bisa bisa blog ini dibubarkan adanya karena penulisnya digugat di meja hijau karena pencemaran nama baik. Kiranya pencemeran nama baik dan pemaparan fakta di abad 21 ini susah dibedakan.
                Musim panas Juli berangsur cukup lama. Roy dan Winda duduk bersebelahan, memprioritaskan tukar menukar diri mereka dalam hal tugas dan PR sehingga mereka agaknya dikucilkan kelas,  bulan madu ke kantin bersama, suap suapan, tugas ini itu satu kelompok, tralalala trililili dan bunga bunga daffodil di taman bunga indah indah indah lainya.
                Walau Roy dan Winda membuat para pasangan angsa agaknya iri, ada satu hal yang jarang atau tidak pernah lebih tepatnya kami saksikan. Mereka tidak pernah berboncengan. Roy selalu pulang tepat waktu. Kami bahkan tidak pernah melihat Roy menaiki sepeda apa, motor apa, mobil apa atau barangkali kuda apa. Dan heyyyyy, Winda seringkali gonta ganti, dari motor ini, itu, ini itu, (apa aku sudah bilang laki laki yang mengantarkanya juga berbeda ?) dan yang paling surprise adalah Yamaha Fixion.
                “Itu hanya kakakku”, bohong Winda. Dengan semua silogisme pernyataan ini, bisa kita tarik bahwa orang tua Winda memiliki fertilitas setingkat kelinci jika kalau kita sebut doyan pesta pora terlalu tidak etis atau mungkin mulut Winda sebenarnya bukan mulut tapi dubur banteng.
                Roy mungkin sedikit tidak peka karena jika dibilang bodoh dan buta bakal menyinggung dirinya. Masa bodoh gosip ini itu. Roy adalah milik Winda. Winda adalah milik Roy. Kira kira begitu di otak Roy. Tapi mungkin dia sedikit terbentur di kepalanya sehingga dia lupa bahwa Roy dan Winda hanyalah sebatas teman.
                Kami semua tidak tahu. Kami tidak tahu kapan matahari akan terbit dari barat. Kami tidak tahu siapa yang suka diam diam kentut di kelas. Kami tidak tahu siapa yang mencuri handphone Indra waktu pembangunan gedung induk. Tapi ketidak tahuan kami yang paling utama adalah kita tidak tahu rasa sebenarnya milik Winda terhadap Roy. Seringkali Roy hanya melengus dengan hidung gigantiknya. “Boleh saja kalian fitnah dewi ku ini tetek bengek bau sampah tapi kalian tidak tahu romansa kita berdua” mungkin begitu maksud Hidungnya.
                Tapi kawan, yang abadi hanyalah kuasa Tuhan. Ketika memasuki bulan yang berakhir –ber, rasa skeptis Roy makin menggelinjang liar. Dan keparatnya Winda seperti masa bodoh dengan laki laki cina-arab itu. Ini adalah masa pecah (baca : break). Ini mungkin adalah hibernasi atau mati suri. Terlalu cepat jika dikatakan sakaratul maut. Apalagi musim dingin.
*******
                Ah, tanggal 31 Desember. Sudah pasti aku hanya kongko kongko di Rumah, bermain biola, menangisi dia yang pergi tanpa sempat kuberitahu rasaku sehingga aku mati sendirian dalam keadaan belum pernah menyatakan cinta pertama yang begitu berkobarnya bahkan hingga saat ini. STOPPPPP :’(((((( Ulangi.
*******
                Ah, tanggal 31 Desember. Apa yang dilakukan kedua sejoli ketika malam tahun baru ? IYA ! Mencoba saling menghangati masing masing tubuh di tengah dinginya malam seribu bintang. Dengan motor bebek dan jaket denim menjadi kuda hitam liar di ramainya, padatnya kota. Ah, manis sekali. Manis bagai madu. Indah masa muda. Dan titik klimaksnya adalah jutaan kembang api warna warni maha cantik yang indahnya tak terperi, lalu diiringi degung bel pertanda ganti tahun. Ah, manis sekali kawan. Madu.
                Begitulah yang dirasakan Winda di pergantian tahun baru itu. Ketika ia digenggam erat dilindungi dari dinginya malam, hangat dan aman. Mencari bintang mana yang paling terang di panggung langit malam. Menjadi anak kecil dalam tubuh remaja. Saling cubit. Saling rayu. Dan diakhiri dengan kecupan manis di kening, tepat bel pergantian tahun berdengung. Satu detik yang sangat panjang sekaligus indah untuk Winda.
                Dan jika kalian cermati, di paragraf atas sama sekali aku tidak menuliskan Roy. MEMANG KARENA BUKAN ROY LELAKI YANG TEMPO ITU MEMILIKI WINDA DI HATINYA HAHAHAHAHAHAHA. Hufft. Aku kejam dalam linguistik dan sastra literature.
                Ini adalah sakaratul sesungguhnya. Winda menjauh dari Roy. Roy sudah tidak mau tahu. Kelas bingung karena revolusi ini. Tidak ada hujan, tidak ada badai, kelas IPS 2 bagai laskar anak bebek yang salah satu pletonya terlindas motor entah kemana sekarang ceceran otak dan mayitnya berada. Walau tetap ramai padat sepadat pantatku, agaknya ada sesuatu yang lebih sepi dari kuburan di sini. Roy entah duduk di mana yang penting Winda berada jauh darinya. Begitu sepi dan dingin mereka berdua.
*******
                HAH ! Kita mendapati Winda mengalami LDR kota dengan si kuda hitam malam tahun baru itu. Iya, putus dalam dua minggu. Simple. Ini adalah urusan pacar memacar paling remeh temeh yang pernah kutemui. Bahkan setidaknya adikku yang kelas 6 SD hubunganya bisa berumur sekita 2-3 bulan. Tapi 2 minggu untuk umur SMA ? Sudah kubilang, cinta pada pandangan pertama itu bukan cinta tetapi hanya nafsu belaka. Sampah. Busuk tak terkira busuknya.
*******
                Akhir Januari itu, aku, Zeni dan Intan menginterogasi Winda bagai hakim memberi keputusan mati kepada defendant di kelas. Kenapa kami ? Karena kami paling melankolis dan lowong waktunya.
                “Oh, nyesel ?”, aku beretoris.
                Winda bungkam. Tentu. Pertanyaan retoris memang tidak untuk dijawab. Jika ia jawab malah kudamprat.
                “Kalo udah punya pacar gitu sahabat dilupain.” Intan menyambung. Walau matanya setengah ngantuk tapi untuk Winda itu sudah cukup menghunus hatinya yang pecah berantakan karena putus hubungan dengan si kuda tadi.
                Dengan alay khasnya, Zeni menyambung “eH, t4Pi KAN r0y 3m4n6 cUm4 54H4b4T. 1y4 ng6ak w1n ?”. Tentu dengan gaya yang membakar sabar itu, Winda semakin muntab dan murka.
                “Lho, kok kalian gitu sih seakan aku pernah suka Roy. Aku cuma simpati sama dia.” Kami semua berak di celana mendengar pengakuan Winda yang membangungkan jin jin penunggu sekolah. Angin diam menyimak pengakuan ini. Burung burung sepi. Pohon mlinjo samping gedung tumbang. Tandon air meledak ledak. Kaca kaca pecah. Foto Bapak SBY dan Budiono berubah ekspresi. Dan Roy yang kala itu sedang main capsa di pojok kelas dengan Reyner, Dedy, Gea mendengar dengan jelas. Musim dingin tiba.
*******
                Kawan, teriris hatiku melihat kontras musim panas 7 bulan lalu dengan musim dingin yang berlangsung agaknya sampai sekarang. Walau dulu kami benci, tapi kami merindukan canda tawa mereka seperti anak TK itu. Jarang sekali atau bahkan tidak pernah lagi aku melihat Roy tertawa sampai hidungnya merah dengan Winda. Bukan, aku tidak simpati pada Winda.
                Kawan, Roy adalah komrad cinta sejati. Ia mafhum betul cintanya nyata. Ketika kami menggosipi Winda ia hanya melengos optimis. Kawan, jika kalian merasa berkorban untuk cinta kalian, cinta kalian itu bukan cinta. Roy adalah contoh nyata cinta itu tidak perlu berkorban. Atau lebih tepatnya Roy tidak merasa berkorban. Itulah arti cinta sejati yang kudapat darinya.
                Cinta sejati bukan berarti dibalas dan diberi cinta sejati. Dan kalian harus bisa membedakan saat kapan ia memberimu cinta dan saat kapan ia memberimu simpati yang sedikit lebih. Susah memang, tapi begitulah cinta berlaku atau setidaknya yang selama ini aku temui adanya. Sampai sekarang aku juga masih bingung cara kerja cinta.
                Roy telah kehilangan musim panasnya. Sekarang lengosanya dingin dan pesimis. Aku dulu tidak bisa mebayangkan hidung jenakanya itu bisa membuat bulu kudukku merinding. Alis tebalnya menantang lantang. Air mukanya dingin.
                Musim dingin sudah datang.

Indra.

No comments:

Post a Comment